bc

LAST WITNESS

book_age18+
444
FOLLOW
1.5K
READ
dark
twisted
Writing Challenge
mystery
scary
betrayal
like
intro-logo
Blurb

Dokter Gracia Lewis mengalami hal-hal aneh sepanjang hidupnya sehingga orang-orang sering menganggapnya gila. Saudarinya tewas secara tidak wajar ketika remaja, begitu pula putrinya yang masih balita. Setelah bertahun-tahun berlalu, kali ini Abigail Randle, salah satu pasiennya ditemukan mati terbunuh di dekat rawa. Anehnya, Grace menjadi saksi mata terakhir yang melihat Abigail persis sebelum wanita itu dibunuh.

Grace mencurigai Ben, mantan suaminya, sebagai tersangka pembunuhan Abigail. Isi percakapan terakhirnya dengan Abby di sebuah situs terapi online memperkuat dugaannya. Hingga suatu hari, Garce bermimpi aneh. Dia terbangun dari tidur panjang dan melihat darah menggenang dimana-mana – tapi itu bukan darahnya.

Di sisi lain, Ben membantah tuduhannya dengan menyebut Grace pemabuk yang suka berhalusinasi dan merancang semua kejadian untuk menjadikannya kambling hitam. Benarkah?

chap-preview
Free preview
Prolog
GRACE November, 2014  ... Lemari kayu itu bergerak-gerak di belakangku. Aku bisa mendengar suara bedebum yang keras ketika seseorang menendangnya dengan keras. Kedua mataku terpejam, aku berusaha untuk membukanya: satu-dua-tiga, kelopak mataku terasa berat, seakan-akan seseorang meletakkan sesuatu di atasnya. Aku mencobanya sekali lagi, kali ini aku merasakan benturan kuat di belakang punggungku. Sesuatu di belakang sana seakan mencoba menendang-nendang punggungku. Kemudian, aku terlonjak ke depan. Tendangan berikutnya semakin kuat. Aku menarik nafas, pandanganku semakin buram, samar-samar aku melihat kain biru mengintip di antara celah pintu kayu yang terkunci rapat di belakangku, kemudian sesuatu menyentakku. Aku bergerak mundur, menekan lemari kayu itu lebih kuat dan sekali lagi merasakan pukulan kuat dari dalam sana. Ben ada di dalam sana. Aku bisa membayangkan kemarahannya sedang melegak. Kurasakan bibirku bergetar, peluh membasahi dahiku, tubuhku berkeringat, wajahku memerah. Aku rasa aku sedang mabuk, tapi aku mengingat ketika laki-laki itu menyeretku ke dalam ruangan sempit berbau apak ini. Jari-jariku mencakar lantai kayu, beberapa di antaranya terluka ketika aku berusaha menghindari serangan Ben. Aku berpikir tulang-tulangku remuk akibat terjatuh dari atas tangga. Aku bisa merasakan darah di ujung bibirku juga luka memar di wajahku. Ingatanku kabur, hanya beberapa yang tersisa: segelas anggur, jendela kusam yang memperlihatkan sudut kota, deretan bangunan bertingkat, dua orang remaja yang berjalan di jalur taman, seorang wanita tua yang berdiri di depan toko kue, dan percakapanku dengan Ben. Apa isi percakapan itu? Aku tidak bisa mengingatnya dengan jelas, tapi aku menyadari Ben berdiri di sudut ruangan. Kedua mata gelapnya mengawasiku, sudut bibirnya melengkung membentuk sebuah senyuman, kemudian kami mendengar suara ketukan dari lantai bawah. Ben memintaku untuk menunggu, hal yang selanjutnya terjadi, dia menyerangku. Ben meneriakkan sebuah umpatan yang terdengar seperti: k*****t kau! Kemudian semua terjadi begitu cepat. Tubuhku tersentak ke depan, tendangan dari belakang semakin kuat. Punggungku menekan lebih kuat, dengan wajah berkeringat, aku berusaha mencari cara hingga tatapanku jatuh pada potongan kayu dari kursi yang patah. Aku bersusah payah ketika meraihnya. Sementara itu, Ben terus berusaha keluar. Jika aku menyerah, aku akan membiarkan pria itu menyakitiku – lagi. Aku menjulurkan satu kakiku ke depan untuk meraih kayu itu. Satu-dua.. usahaku gagal. Aku mencoba lebih keras, kali ini satu-dua-tiga.. Duk. Duk. Duk.. Suara pukulan semakin keras, aku nyaris terlepas. Udara di dalam sana kian menipis, aku bisa merasakan atmosfer ketegangan dalam setiap tarikan nafas. Dinding-dinding merahnya seakan menyempit, aku tercekik. Lebih jauh! Sedikit lagi.. aku nyaris menyuarakannya. Tubuhku bergetar saat aku berusaha mengingatnya. Dia sedang mengatakan sesuatu tentang bayi perempuan kami yang malang. Aku menamainya Lizzy dan aku suka memanggilnya Liz. Liz Campbell, dia akan tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik dengan sepasang mata almond, wajah bulat sempurna, hidung kecil yang mancung juga rambut lebat berwarna gelap seperti Ben. Ben memprotes ketika aku memanggilnya Liz, dia lebih suka Penny, dan kami berdebat selama berbulan-bulan karena nama itu, tapi aku tidak pernah melihatnya semarah ini. Aku tidak lagi merasa aman saat berada di dekatnya, dia membuatku takut. Kemudian aku mengingat kejadian malam itu: ketika Ben melempar tongkat golf dan memecahkan kaca di ruang tamu. Dia berteriak di depan wajahku dan mengucapkan umpatan kasar. “Kau jalang k*****t!” Wajahku memerah, aku menangis semakin kencang dan itu tidak membuatnya merasa simpati, aku hanya membuat suasana hatinya semakin kacau. Kemudian aku mengingat Anna Floyd – wanita yang tiba-tiba menyusup dalam kehidupan rumah tangga kami: jalang bermuka dua. Wanita itu tidak hanya merebut suamiku, dia juga merebut tempatku di rumah pernikahan kami dan melahirkan bayi perempuannya yang kotor. Aku tidak suka membayangkannya menempati kamarku, tidur di atas ranjang empuk yang kutempati bersama Ben selama tujuh tahun, atau menggunakan pakaian yang kutinggalkan di dalam lemariku. Aku tidak suka membayangkannya menggunakan semua riasanku, duduk di depan kaca riasku atau menggunakan jubah mandiku. Tapi aku telah melihatnya berkali-kali: Anna sedang berdiri di dapur, satu tangannya menekankan sebuah ponsel ke telinga dan ia berbicara dengan seseorang di seberang, sementara bayi perempuannya sedang duduk dengan polos di atas meja makan yang kubeli di tahun pertama perniakahnku dengan Ben. Aku menatap jari-jari gemuk bayi itu menggenggam sebuah mainan plastik, dia mengayunkan lengan kecilnya ke atas dan ke bawah berkali-kali, kedua mata besarnya tampak berbinar sedang mulutnya mengeluarkan liur. Atau di lain hari ketika aku melihat Anna berdiri di belakang jendela kamarku – kamar yang kutempati dulu, wanita itu sedang mengecat dinding kamarku, mengganti warna biru cerahnya menjadi warna merah yang lebih gelap, dia juga menghilangkan semua poster dan pajangan yang kugantung di dinding itu. Aku menggeram, tapi tidak ada yang bisa kulakukan selain beridiri di seberang, mengamatinya dan berharap suatu saat aku dapat mencekik lehernya. Ben membiarkan semua itu. Dia melakukannya hanya untuk membuat Anna merasa nyaman, tapi aku tahu kebenarannya. Aku sudah melihat monster yang bersembunyi di balik wajah tampannya. Satu – dua, jari-jari kakiku berhasil mengapai potongan kayu itu. Aku menyeretnya lebih dekat, kemudian menggunakan potongan itu untuk mengganjal kedua pintu lemari. Ben terus memukul-mukul, dia berusaha mendobrak pintunya, tapi sejauh ini usahanya tidak berhasil, atau itu hanya masalah waktu sebelum dia berhasil menghancurkan pintu lemari itu kemudian mencekikku. Aku memutuskan untuk pergi sebelum dia benar-benar melakukannya. Kutatap pintu lemari yang bergerak-gerak itu. Kini, suara bedebumnya semakin lemah. Aku mengambil kesempatan itu dan dengan cepat berlari keluar dari ruangan sempit berbau apak itu. Kakiku melangkah dengan limbung sehingga aku nyaris membentur daun pintu. Pandanganku semakin kabur, itu pasti karena dosis obat yang dicampurkan ke dalam anggur yang kuminum. Lorong gelap di bangunan tua itu kini tampak berbayang. Kedua tanganku menyusuri dinding-dinding di kedua sisinya, aku menyeret langkahku dengan cepat meninggalkan tempat gelap itu. Begitu aku mencapai tangga kayu, kakiku terpeleset dan aku jatuh dari tiga tangga teratas. Kini jari-jariku mencengkram susuran tangga dengan kuat. Samar-samar, aku bisa mendengar suara teriakan Ben dari kejauhan, suaranya semakin teredam hingga hanya terdengar seperti sebuah dengungan. “Grace, bangun! Grace!”   Grace!! Suara berisik dari buzzer yang dibunyikan berhasil membangunkanku. Aku tersentak karena kaget ketika suara gemerisik yang menyerupai suara lalat yang sedang berkerumun itu kembali terdengar. Kali ini lebih keras. Seseorang menekan buzzer berkali-kali. Tapi itu tidak hanya terjadi hari ini, aku pernah terbangun di pagi yang sama karena suara berisik itu. Kemudian aku segera tahu bahwa ada tiga – mungkin empat orang remaja yang sedang menjahiliku. Kedua mataku terasa berat, aku mengerjapkannya berkali-kali saat sinar matahari yang mengintip di balik celah jendela itu menyilaukanku. Ada empat botol anggur yang tergeletak di atas meja, itu tidak seperti biasanya. Aku hanya sanggup menghabiskan dua botol, malam ini aku pasti sangat mabuk. Apa yang terjadi semalam? Tanggal berapa sekarang? Ini sudah hari keberapa? Sembari memikirkannya, aku berusaha menyeret tubuhku dari atas kasur. Lantai kayu di bawa kakiku terasa dingin, aku baru teringat kalau aku tidak mengenakan pakaian tidurku malam ini. Aku bahkan tidak yakin apa yang kulakukan semalam. Samar-samar aku mengingat Sean, dia sedang menyaksikan film Ghost Rider di ruang depan ketika aku pulang, kemudian laki-laki itu menawarkanku anggur. Kami duduk sebentar dan berbicara. Tapi aku tidak ingat apa yang kami bicarakan. Yang kuingat, Sean pergi sebelum aku jatuh tertidur. Kemudian ada sejumlah pesan yang masuk ke mesin penjawab telepon. Beberapa di antaranya berasal dari Tess, temanku dan beberapa pesan lain dari Dani, seorang pembina di acara sosial yang kujumpai sekitar tiga bulan yang lalu. Pesan itu berisi ajakan untuk menghadiri acara perkumpulan siang ini, acaranya dimulai sekitar pukul sebelas, aku melirik alarm di meja kayu: 11.25. Mungkin lain kali. Aku menyeret langkahku menuju dapur, suara berisik buzzer masih berbunyi di ruang depan. Remaja itu tidak akan berhenti sampai aku menumpahkan seloyang kue di atas kepala mereka. Aku membuka lemari pendingin, memeriksa isinya. Ada tiga botol mineral yang tersisa, dua botol bourbon[1] yang ditinggalkan Sean, sisa makanan kaleng dan keju batangan yang tidak lagi utuh. Aku meraih sebotol bourbon kemudian bergerak menuju dapur seperti anak kecil yang baru saja mendapat maninannya. Meja dapurnya masih berantakan, Sean tidak membersihkan sisa makanannya semalam dan aku lupa mencuci peralatan makanku siang kemarin. Seekor kucing berbulu hitam baru saja melompati jendela yang terbuka, kaki kotornya menginjak meja dapur dan lidah kecilnya terjulur saat ia membersihkan sisa pasta milik Sean di atas bak pencuci piring. "Tammy!" Aku suka memanggilnya Tammy, tapi Sean lebih senang memanggilnya Tom si jalang. Laki-laki itu tidak pernah menyukai gagasan untuk memelihara seekor kucing di apartemen milik saudara perempuannya, bagaimanapun kucing itu yang menemaniku dalam masa-masa sulit. Kali ini, Tammy menjilati kuku-kuku tajamnya. Sepasang mata hijaunya kemudian mengamatiku, kucing itu menggerak-gerakkan ekornya seolah mencoba berbicara denganku. "Tammy.. turun dari sana!" Aku membuka lemari penyimpanan porselen di atas, berusaha menemukan gelas yang masih bersih. Namun setelah menghabiskan beberapa detik dan tidak juga menemukan apa yang kucari, aku menyerah untuk meminumnya langsung dari botol. Suara buzzer dari arah depan kembali terdengar. Aku menekankan mata, mengangkat botol bourbon ke bibir dan menyesap minumanku dari sana. Tammy baru saja meninggalkan bak pencuci piring, kali ini kucing itu melompat ke arah meja makan dan mengelilinginya seperti lapangan bola. "Tammy, jangan!" Ekornya yang panjang melambai ke arahku, kucing itu melompat lagi dan sebelum aku berhasil mencegahnya, ekornya menyikut vas antik milik Tess hingga vas itu berguling di atas meja dan mendarat di atas lantai persis ketika aku hendak meraihnya. Suara pecahan keramik yang jatuh di atas lantai terdengar nyaring. Aku meletakkan botol bourbon-ku secara sembarang dan pergi untuk membenahi kekacauan itu. "Sial Tammy!" Kucing itu melompat pergi dan menghilang dari arah datangnya di balik jendela. Samar-samar aku mendengar suara gemerisik bulu lebatnya ketika menyentuh tirai jendela atau ketika kakinya menginjak pecahan keramik di luar sana. Aku nyaris membayangkan kucing itu mendesis kesakitan. "Jangan bergerak kemanapun, b******k!" Suara buzzer berikutnya membuatku geram. Kali ini suara itu disusul oleh deringan telepon dari samping lemari pendingin. Aku bergerak untuk mengumpulkan pecahan keramik di atas lantai kemudian membuangnya ke dalam kantong hitam. Sebelum aku berhasil mencapainya, telepon itu kemudian beralih ke pesan suara.   Grace! Aku melihatnya.. wanita itu meninggal. Mungkin overdosis, kecelakaan, sakit, aku tidak tahu. Tapi dia mati. Polisi menemukan jasadnya. Ramai sekali di sini. Hubungi aku jika kau siap mendengarnya.    Suara buzzer. Aku menjilati bibirku yang terasa kering. Kali ini aku berjalan melewati lorong gelap menuju pintu depan di apartemen sempit itu. Aku berdiri di depan monitor interkom dan mengintip ke luar, dua orang pria berseragam sedang berdiri di depan pintu. Satu di antaranya menekan buzzer berkali-kali. Aku menekan tombol merah, kemudian pintu bergeser terbuka. Kali ini aku menahannya dengan tubuhku dan hanya menyisakan sedikit celah untuk mengintip keluar sana. Aku melihat dua pria tinggi itu mengamatiku. Satu bertubuh kurus dan jangkung satu yang lain tinggi hitam dan berkulit gelap. Mereka sama-sama mengenakan jaket hitam yang menutupi seragamnya. Pria berkulit gelap itu memiliki tatapan yang lebih hangat semenatara pria kurus bertubuh jangkung memiliki tatapan yang muram. Salah satu dari mereka berbicara, kali ini pria berkulit hitam. "Detektif Jose dan Barry dari kantor kepolisian lokal, kami ingin membahas seorang wanita yang dikabarkan menghilang selama sebulan.." "Siapa?" Laki-laki itu belum sempat menyelesaikan kata-katanya ketika aku menggeser daun pintu hingga terbuka lebih lebar. Kini tenggorokanku terasa kering seperti ada sesuatu yang membakar di sana. Aku sudah bisa menebak bahkan sebelum laki-kali itu menunjukkan selembaran foto padaku.  "Namanya Abigail Randle, orang-orang mengenalnya sebagai Abby. Apa kau merasa familiar?" Hening, kemudian – suara ponsel berbunyi. Pria bertubuh jangkung yang memperkenalkan dirinya sebagai detektif Barry kemudian bergerak menyingkir untuk menerima panggilan. Aku masih berdiri di tempatku beberapa detik sebelum pria itu kembali dan berbisik pada rekannya. Jalanan di luar tampak sepi, tidak seperti biasanya, kali ini tidak ada remaja usil yang berkeliaran di sekeliling pintu apartemen milik Tess. Tidak ada wanita tua yang tinggal di seberang jalan, atau gambaran pasangan Foster yang baru-baru ini bertengkar. Aku merasa sendirian. Sean pergi pagi ini sebelum aku bangun, sementara Tess baru akan kembali beberapa hari lagi. Tidak ada seseorang yang berada di apartemen itu. Semuanya kosong. Siang bergerak sedikit lambat hari ini. Aku sedang memikirkan catatan yang kutinggalkan di atas meja ketika detektif Barry bicara. “Dia ditemukan meninggal. Bisakah kita membicarakan ini di dalam?” Aku tertegun, kemudian - “Ya.” . - LAST WITNESS -

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Ineffable Cafune

read
23.7K
bc

Destiny

read
246.5K
bc

Garis Tanganku

read
43.7K
bc

Wedding Organizer

read
48.3K
bc

Seistimewa Yogyakarta

read
237.2K
bc

Symphony

read
181.5K
bc

Beautiful Wound || Indonesia

read
40.9K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook