GRACE
--
Tubuhku tersentak begitu seseorang mengetuk pintu depan apartemen Tess dengan kasar. Aku beringsut turun dari sofa yang nyaman itu dan meninggalkan Billy yang sedang mengumpat di balik tembok-tembok tinggi. Ketika aku berjalan, suara benturan yang keras terdengar dari televisi. Laki-laki berbaju hitam itu meneriakkan sesuatu ke arah Billy yang terdengar seperti:
“Tetap disana, kau b******n k*****t!”
Oh Billy - Billy yang malang, begitu kata Rita, kekasihnya.
Ketukan pintu selanjutnya terdengar, kemudian suara itu disusul oleh suara buzzer. Wajah seorang wanita muncul di monitor interkom. Seketika tubuhku membatu. Itu Jane Foster, ia mendekatkan bibirnya ke mesin penyaring suara dan berbicara.
“Halo, aku Jane. Aku tetanggamu. Jika kau tidak keberatan, aku ingin mengobrol sebentar.”
Kutekan tombol buzzer hingga pintu kemudian bergeser terbuka. Aku mengintip dari dalam sana, menatap Jane yang tersenyum ke arahku sebelum membuka pintu lebih lebar.
“Hai!” katanya. Wanita itu memperlihatkan sederet giginya yang putih dan rata. Wajahnya persis seperti yang kuingat: bulat sempurna, hidung kecil, rabut gelap dan warna mata yang terlihat lebih biru dari dekat.
“Halo.”
“Apa kau Grace? Kau Grace, bukan?”
Aku mengangguk.
“Oh, jangan khawatir. Aku Jane Foster, aku tinggal di seberang apartemenmu.”
“Ya, aku tahu.”
“Apa kau akan menawarkanku masuk?”
Untuk sesaat aku menatap wanita itu dari ujung kaki hingga rambutnya, kemudian memutuskan untuk membuka pintu lebih lebar. Jane bergerak masuk, kuperhatikan wanita itu berjalan menuju ruang tengah dan langsung memilih tempatnya di dekat jendela.
“Bagus sekali ini. Kau bisa melihat semuanya dari atas sini. Oh apa itu kamarku?” Jane menunjuk ke luar jendela tepat dimana jendela kamarnya menatap kosong ke arah kami.
“Ya.”
Seketika wajahnya memerah seperti remaja kasmaran. “Aku merasa malu sekali. Kau pasti sering melihatku dari sini. Apa kau melakukannya?”
Aku bisa merasakan matanya menatapku. Sesuatu terasa menggelitik tubuhku. Apa yang akan dipikirkan Jane jika aku mengatakan yang sebenarnya? Lagipula, aku tidak pernah membayangkannya akan berdiri di sana dan berbicara denganku layaknya seorang teman yang akrab. Aku tahu itu bukan sesuatu yang akan dilakukan Jane kecuali karena wanita itu menginginkan sesuatu. Apa yang diinginkannya?
Apa yang kau inginkan?
Aku berpikir bahwa aku baru saja mengatakannya, tapi suaraku terdengar seperti bisikan sehingga Jane tidak mendengarnya.
“Apa kau mau minum sesuatu?”
“Tidak, tidak,” Jane berdeham. Langkahnya membawa wanita itu menjauhi jendela dan mendekatiku. “Sebenarnya aku ingin membahas hal ini.. apa kau berbicara dengan suamiku semalam?”
Ini yang kutakutkan. Aku sudah bisa menebak apa yang hendak dikatakannya. “Kemarin siang, ya.”
“Ya, siang. Umm.. Apa saja yang kau katakan padanya?”
“Kenapa aku harus membahasnya?”
Jane tertawa. Sebuah tawa kecil yang dibuat-buat.
“Hanya aneh saja jika seseorang yang tidak kau kenal tahu rutinitas harianmu di tempat kerja. Suamiku mengatakan kau sering mengunjungi pub itu? Tempat kerjaku?”
“Sebenarnya.. aku bilang terkadang.”
“Oh ya? Aku tidak merasa pernah melihatmu di sana.”
“Mungkin karena kau tidak mengenalku dan kau tidak mengingatnya.”
“Tentu saja. Mungkin.”
Ketika Jane mengelilingi ruangan itu dan mengamatinya, aku merasa tiba-tiba udaranya terasa panas. Sementara itu teriakan Billy pecah dari televisi. Teriakannya disusul oleh suara tembakan dari arah tebing. Layar kemudian berkedip dan memperlihatkan Rita yang sedang duduk di belakang meja kerja ketika seorang anak remaja mengetuk pintunya.
“Masuklah!”
“Apa yang kau tonton?”
“A Child in Black River. Semacam film noir.”
“Kau suka menyaksikan film hitam putih?”
Aku mengangkat kedua bahuku. “Ya, kau suka?”
“Tidak pernah. Menurutku itu membosankan.”
Aku tidak menanggapinya, tapi Jane sudah berjalan ke belakang meja makan dan menatap kotak berisi makanan kucing yang kuletakkan di sana.
“Jadi aku tinggal di sini sendirian, Grace? Umm.. Boleh aku memanggilmu Grace?”
“Ya.”
“Kau sendirian?”
“Sebenarnya, aku punya teman. Namanya Teressa dan dia baru akan kembali beberapa minggu lagi.”
“Aku melihat seorang pria keluar dari tempat ini pagi tadi, dia kekasihmu?”
“Tidak, bukan. Itu.. dia hanya penyewa.”
Mulut Jane melengkung membentuk huruf o. “Tidak ada suami?”
Aku menggeleng.
“Apa yang biasa kau lakukan disini? Maksudku, apa kau punya pekerjaan khusus?”
“Ya.. aku menggunakan internet. Semacam pekerjaan online.”
“Jadi kau tidak berpergian keluar, tidak ada suami, tidak ada anak dan kau tinggal berasama seorang penyewa.. dan apa kau mengatakan sesuatu pada suamiku? Maksudku hal selain pekerjaanku di pub itu?”
Aku tertegun sejenak, menatap sepasang mata birunya dari tempatku berdiri kemudian menggeleng. “Tidak, aku tidak mengatakan apapun.”
“Benarkah?”
“Mengapa kau berpikir aku mengatakan sesuatu?”
“Karena suamiku menyudutkanku dan dia menyebut namamu, orang asing yang bahkan tidak pernah aku temui.” Jane terlihat marah. Aku bisa melihat urat-urat di pelipisnya menegang.
“Aku melihatmu pergi siang itu,” kataku. “.. dan kau tidak bersama suamimu. Kemudian suamimu datang dan kukatakan kalau kau pergi.”
“Apa yang kau tahu tentangku Grace?”
“Apa itu penting? Aku hanya tetangga dan kita baru saja mengenal. Bagaimana kau berpikir aku tahu tentangmu..”
“Karena aku sering melihatmu berdiri di belakang jendela ini dan menatap ke arah rumahku. Akui saja, jangan katakan omong kosong disini. Aku ingin membahasnya, mengapa kau melakukannya dan untuk apa?”
“Kau pasti salah..”
“Tidak, tidak mungkin. Aku melihatmu beberapakali dan kau tahu itu. Maaf, tapi itu membuatku merasa sangat tidak nyaman dan berpikir kalau aku memiliki tentangga psikopat yang sedang mengawasiku..”
Aku menyela ucapannya dengan tawa. Jane memandangiku selama sejenak, kemudian mengitari meja kayu itu dan berhenti di depanku. Kami berdiri sejajar sehingga aku bisa melihat wajahnya lebih jelas. Wanita ini, beberapa tahun lebih muda dariku, bertubuh kurus – jelas lebih cantik, kini memandangiku seakan-akan aku seperti bangkai yang membusuk.
“Maaf, tapi sepertinya kau harus keluar dari apartemen ini,” kataku akhirnya.
“Hanya jika kau mengakui perbuatanmu dan berjanji tidak akan melakukannya lagi. Kau tahu itu gila, oke? Aku tidak mau cari masalah denganmu, jadi berhenti mengawasi setiap orang yang ada di balik jendelamu seperti orang bodoh.”
“Aku tidak harus mengakui apapun.”
Jane mendengus. Dari tempatku berdiri, aku dapat mencium aroma parfumnya – aroma yang menarik laki-laki muda itu ke atas ranjangnya. Aku mengenal s****l ini. Aku tidak akan mengalah padanya.
“Jika aku melihatmu berbicara dengan suamiku lagi, kuhubungi polisi.”
“Apa yang akan kau katakan? Bahwa aku berdiri disini mengawasimu? Bahwa aku mengatakan sesuatu yang keliru?”
“Kau orang aneh, kupikir kau menjalani kehidupan yang aneh. Coba kutebak apa yang kau lakukan untuk menghabiskan harimu di apartemen ini seharian? Kurasa tidak ada. Dan kau menunjukkan tanda-tanda aneh ketika kau mulai memerhatikan orang-orang. Aku yakin kau tidak ada di pub itu. Aku mengenal semua pelangganku dan kurasa itu bukan kau. Jadi, singkirkan saja wajah sialanmu dari jendela itu dan jangan mengawasiku lagi!”
Jane berbalik pergi. Langkahnya cepat dan kasar ketika menuju pintu. Wanita itu membuka pintu dan bergerak keluar kemudian menyentaknya dengan kasar. Aku mengintip melalui kaca jendela dan mengawasinya bergerak menjauh menyebrangi jalan hingga sampai di undakan rumahnya. Samar-samar aku melihat Jane menatap ke arah pintu apartemenku sekali lagi, wajahnya memerah kemudian wanita itu menghilang di balik pintu rumahnya.
..
- LAST WITNESS -