ANNA
--
Aku dan Ben pernah melewati masa-masa sulit dalam dua tahun pernikahan kami, dan sekarang hampir tiga tahun tapi aku tidak yakin segalanya menjadi semakin baik. Ben berpikir sebaliknya, aku rasa tidak ada sesuatu yang membuatnya khawatir. Terkadang ketika aku sendirian, aku berdiri di depan birai jendela dan menatap ke seberang, kereta sedang bergerak di atas rel yang semakin tua. Aku bisa mendengar suara berdesing mesin kereta yang berisik, suara itu muncul setiap lima menit sekali. Sinar matahari jatuh tepat di atas besi berkarat itu. Suara gemuruh terdengar saat bannya menekan lempengan besi dan kerikil kasar di bawahnya. Aku mengingat percakapanku dengan Ben sekitar satu minggu yang lalu, saat itu kami sedang duduk di halaman depan, Ben menyandarkan tubuhnya dengan malas di atas bangku panjang, tubuhnya setengah telanjang, ia sedang menikmati cahaya matahari pagi yang menembus melewati pohon-pohon tinggi di seberang rel.
Kukatakan padanya bahwa kami harus segera menjual rumah itu dan pindah ke tempat yang lebih layak. Aku membayangkan kota yang padat dengan keriuhan di setiap malamnya. Toko-toko pakaian, gedung pusat perbelanjaan yang besar, apartemen-apartemen dan bangunan-bangunan bertingkat di sekeliling rumah yang akan kami tempati. Aku membayangkan kota London, gemerlap dan seluruh fasilitas modern-nya. Tapi disinilah aku terjebak, di kota kumuh kecil – di dalam bangunan dua lantai yang tua dan bahkan tidak layak disebut sebagai rumah.
Terkadang aku merasa atap-atapnya akan runtuh, dinding-dindingnya – dengan lapisan plaster norak seakan menghimpitku. Kamarnya sangat tidak nyaman, langit-langitnya menggantung rendah dI atas kepalaku, kaca jendelanya berderit saat mengayun terbuka dan lantai kayunya terkadang terasa sangat dingin. Ruang dapurnya kotor dan jelek, tidak ada ruangan khusus untuk menonton, hanya ada ruang tengah yang sempit dan kini dijadikan sebagai tempat bermain Emma. Nyaris tidak ada privasi. Setiap ruangan berdekatan satu sama lain, ruang tidurku berdekatan dengan dapur dan kamar mandi. Di lantai atas hanya tersedia ruang tidur untuk Emma, sisanya hanya sebuah ruangan sempit yang digunakan sebagai ruang penyimpanan pakaian dan barang-barang.
Aku berharap dapat keluar dari sana secepatnya. Pada tahun-tahun awal ketika aku menginjakkan kakiku di rumah itu, aku sudah terganggu oleh suara bising kereta yang melintasi rel setiap lima menit sekali. Tidak hanya sekali aku terjaga dari tidurku saat suara bisingnya tak tertahankan. Bahkan, aku sampai berhalusinasi jika rumah itu ikut bergetar setiap kali kereta melintas. Lampu di dapur berkedip-kedip seakan hendak meledekku. Semua perabotannya sudah tua, sangat tidak elegan, jauh berbeda dengan kehidupan yang kubayangakan di London.
Ben tidak menanggapi keluhan itu dengan serius. Dia mengatakan bahwa dia akan memperbaiki segalanya, tapi bahkan itu sudah berbulan-bulan yang lalu ketika ia menjanjikan untuk menjual rumah ini. Aku merasa sesak berada di sana. Satu kejelasan yang kuketahui secara pasti, aku mengalami penurunan. Tidak ada yang bisa kulakukan di dalam bangunan tua yang akan roboh itu. Terkadang aku membayangkan kehidupan lamaku; aku suka berdiri di pub, menghadiri sejumlah acara besar dan mengatur pesta perayaan seperti yang kulakukan selama bertahun-tahun. Aku merindukan segelas wiksi berkualitas yang hanya bisa kudapatkan di kota London. Aku masih sanggup mengingat suara dentingan gelas ketika bersulang, musik jazz yang disetel, dan dengungan percakapan di bawah cahaya lampu keemasan yang membanjiri ruangan.
Meja-meja bundarnya di tata dengan rapi, kain putih polos melapisinya dengan lilin yang menyala di atas meja dan hiasan bunga kecil di atasnya. Aku ingat bagaimana sensasinya berdiri di sekitar ratusan orang yang hadir, mengenakan pakaian elegan; dress berwarna merah hati, menggelung rambutku dalam ikatan tinggi, mengenakan riasan dan sepatu berhak tinggi. Aku ingin mengecat kuku-kuku jari kakiku dengan cat berwarna merah menyala. Aku ingin duduk di atas kursi nyaman di dalam porsche yang elegan seperti dulu, tapi semuanya telah berubah sekarang.
Aku menatap dengan sedih ke seberang rel, menyadari secara gamblang bahwa kehidupanku telah berubah dengan cara yang menyakitkan hanya dalam kurun waktu semalaman. Aku masih mengingat Ben dan pertemuan kami di sebuah acara sosial besar yang diadakan oleh atasannya. Aku mengingat bagaimana pria itu menggandeng istri jeleknya kemudian menyetubuhiku setelahnya.
Rasanya itu terjadi begitu cepat. Aku merindukan masa-masa itu, ketika dia menggodaku dengan jenaka, pergi diam-diam menemuiku dan menghianati istrinya. Aku masih mengingat perasaan yang dimunculkan oleh perselingkuhan kami dan setiap kali membayangkannya hatiku melambung tinggi, adrenalinku berpacu kuat, tidak ada yang lebih menyenangkan saat melakukannya. Tapi dulu segalanya masih terasa indah. Ben menjanjikan sebuah rumah besar di kota. Kami akan membeli mobil baru, dan seekor anjing peliharaan. Dia akan memenuhi rumah itu dengan perabot antik dan dia akan memastikan atap-atap rumahnya tinggi seperti yang kuinginkan. Kemudian aku tahu bahwa laki-laki itu tidak akan pernah menepati kata-katanya dan kini aku terjebak dalam lingkaran yang sama seperti yang pernah disinggahi istri pertamanya yang jelek. Sebuah lingkaran yang kupikir tidak akan kusinggahi.
Aku sering melihat wanita itu berdiri di seberang jalan, wajah menyedihkannya tampak muram dan ia memiliki sepasang mata yang menghitam. Rambut gelapnya tergerai secara tak beraturan, rahangnya sedikit tirus, dan ia memiliki tatapan seorang pecandu alkohol yang kebingungan. Aku nyaris berpikir wanita itu gila. Dia sering meninggalkan sejumlah komentar kotornya di media sosial. Dia mengamatiku seperti anjing yang mengawasi bangkainya. Bagaimanapun tidak akan ada yang bisa dilakukannya.
Profesinya mengejutkanku. Wanita itu seorang dokter, bekerja sebagai ahli terapis dan membuka izin praktek selama bertahun-tahun sebelum sebuah kecelakaan maut yang menewaskan bayi perempuannya membuatnya menjadi depresi – boleh dibilang gila. Ben mengatakan wanita itu suka berhalusinasi – pemabuk yang suka berhalusinasi, sampah yang tidak berguna. Tidak ada yang dapat dilakukannya selain menangisi kehidupannya dan mengusik kehidupan kami.
Tidak hanya sekali aku melihatnya berdiri di seberang jalan, matanya mengawasiku dan Emma seolah dia sedang menunggu momen untuk mengacaukan segalanya. Terkadang, wanita itu membuatku takut karena berpikir dia akan menyakiti bayiku. Aku pernah memergokinya berdiri di halaman depan rumah kami, tubuhnya membungkuk, matanya mengintip ke arah jendela kamar bayi. Bayiku masih tertidur di tempatnya, tapi aku khawatir, jika aku tidak cukup cepat, wanita itu akan melukai Emma.
"Grace!" teriakku dari arah dapur. Jantungku berpacu sangat kuat dan aku berlari cepat ketika menyambar pintu depan. Aku tidak pernah menjadi begitu panik seperti itu sebelumnya. Keberadaannya membuatku takut. "Apa yang kau lakukan?"
Itu lebih mirip sebuah peringatan ketimbang pertanyaan. Awalnya dia hanya menatapku, kemudian dengan tangan bergetar, wanita itu berlari meninggalkan kami.
Itu adalah kali terakhir aku melihatnya mendekati putriku. Ben telah memastikan wanita itu akan berada sejauh mungkin dari Emma, tapi aku tidak pernah berhenti merasa waspada.
Grace mengirim sebuah pesan melalui ponsel Ben minggu lalu. Pesan itu – seperti yang biasa dikirimnya, tidak lain merupakan bujukan untuk memperbaiki hubungan mereka.
Apa kau mau membicarakannya sekali lagi?
Kubuka isi pesannya yang lain.
Tolong, maafkan aku. Aku berjanji akan memperbaikinya.
Aku segera menghapus pesan itu bahkan sebelum Ben sempat membukanya. Gangguan itu tidak hanya datang sekali. Ia sering mengirim pesan ke ponsel Ben, beberapa kali berusaha menghubungi Ben dan berkali-kali menyatakan ketidaksukaannya di akun media sosialku.
Pernah sekali aku berdebat dengannya, dia bukanlah wanita yang akan menyerah untuk mendapat apa yang diinginkannya. Tapi seperti yang kukatakan, Grace adalah wanita lemah yang kebingungan. Dia menginginkan rumah ini, aku berharap dapat pergi dari sini secepatnya. Dalam satu hal itu kami saling sepakat.
Pagi ini Ben meninggalkanku untuk bekerja dan disinilah aku; terkurung di dalam bangunan sempit bersama seorang bayi. Setelah dua tahu berlalu, aku nyaris terbiasa. Setiap pagi ketika aku terbangun, aku akan melihat roda mobilnya berputar menggilas aspal dan menghilang di jalur lepas. Kemudian aku akan menjalankan rutinitas harian yang membosankan: memandikan Emma, menyiapkan sarapan, sesekali pergi keluar untuk membeli apa yang kami butuhkan. Terkadang aku harus menunggu Ben pulang untuk melakukannya.
Malam bergerak dengan sangat lambat seperti biasanya, tidak ada pesta-pesta besar untuk dihadiri, tidak ada bir dan percakapan menarik untuk dibahas. Hanya ada suara tangis Emma yang membangunkanku setiap dua jam sekali. Terkadang aku terjaga dan mendapat mimpi yang buruk, kemudian aku menyadari satu hal bahwa ini bukanlah duniaku, aku tidak lagi menjadi Anna yang dulu.
Beberapa hari terakhir, Ben pulang lebih larut. Dia selalu menggunakan alasan klasik yang sama; bahwa dia menghabiskan waktunya untuk mengecek hasil ujian dan beberapa minggu terakhir menjadi hari yang berat untuknya. Tapi itu tidak benar, aku tahu karena aku tidak sebodoh istri pertamanya. Aku tahu malam-malam yang dihabiskan Ben bersama wanita lain, sementara aku sibuk mengurus Emma dan menyelesaikan pekerjaan rumah yang membosankan, dia memilih untuk tetap berada di luar.
Sekitar seminggu yang lalu, diam-diam aku memeriksa seisi tasnya dan berusaha untuk mengecek e-mail yang masuk ke komputernya. Tapi, aku mendapati layar masuk ke sandi keamanan pertama. Ben mengunci semua akun media sosialnya dan aku rasa aku menjadi satu-satunya orang yang tidak tahu. Tidak hanya sekali pada suatu malam aku mendapati seseorang berusaha menghubungi Ben melalui ponselnya. Ben sedang tertidur, jadi aku mencuri ponsel itu dari atas nakas dan berlari ke seberang rel untuk memeriksanya. Nomor itu tidak dikenali, namun ketika aku menjawab panggilannya aku mendengar suara seorang wanita muncul di seberang. Itu bukan suara Grace.
Benjamin? Kau disana?
Aku tertegun. Udara dingin malam itu seakan menusuk kulitku. Jari-jariku bergetar, jantungku terpompa lebih kuat dan aku nyaris terjatuh di atas rumput kasar di bawah kakiku. Kini, aku dapat merasakannya – apa yang dirasakan Grace ketika aku menggoda suaminya setiap malam.
Bagaimana rasanya? Kataku. Kali ini aku berjanji akan menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Kemudian, Ben menghubungiku – itu bukan suatu hal yang akan dia lakukan, dan aku sudah menebak suara yang akan muncul di seberang. Itu Grace, wanita itu berteriak ke arahku.
“Dasar jalang k*****t! PERGILAH KE NERAKA!”
Pergilah ke neraka!
Aku hendak meneriakkan kalimat itu pada siapapun yang baru saja menghubungi Ben. Alih-alih melakukannya, aku menekan tombol untuk mengakhiri panggilan kemudian membersihkan riwayat panggilan yang masuk.
Langit gelap menyelimuti pohon-pohon tinggi yang berdiri kokoh di seberang rel. Aku menyaksikan dua titik cahaya kecil dari kejauhan yang kini bergerak mendekat. Cahaya itu kian membesar kemudian suara gemuruh mesin kereta yang bergerak melewatiku terdengar kasar. Aku menyusuri petak-petak rumput kasar di halaman depan rumah kami sembari menggigit bibir. Ketika aku berhasil mencapai pintu depan, aku mendengar suara tangisan Emma dari ruang bayi. Ben masih tertidur pulas di tempatnya, jadi aku meletakkan ponsel itu kembali ke tempat semula kemudian pergi untuk menemui putriku.
Satu kesadaran lain berhasil memukulku telak. Aku terus berkilah bahwa itu hanyalah sebuah kebetulan – bahwa wanita yang baru saja menghubungi Ben adalah salah seorang rekan kerjanya – mungkin seorang dosen yang berkerja di universitas yang sama tempat Ben bekerja. Tapi itu hanya tebakan-tebakan. Aku nyaris tertawa. Dulu, aku selalu menertawai Grace karena wanita itu menjalani kehidupan paling menyedihkan yang penuh dengan khayalan: semacam tebakan-tebakan yang keliru. Kurasa kini aku memiliki kehidupan yang sama sepertinya: jenis kehidupan yang penuh dengan tebakan-tebakan dan mengguncang di akhir seperti kisah-kisah menegangkan dalam film-film misteri.
..
- LAST WITNESS -