Bab 1

3496 Words
GRACE Oktober, 2014 --  Matahari telah bergerak naik sepenuhnya. Sinarnya menantang deretan bangunan bertingkat yang terlihat dari balik jendela apartemen milik Tess. Aku menyaksikan sejumlah orang berjalan beriringan menyusuri trotoar, dengan sebuah tas mengayun di satu tangan mereka, mantel yang bergerak seiring dengan langkah kaki mereka, dengungan suara-suara percakapan dan keributan lalu lintas tak jauh di sana. Seorang pria yang sedang berjalan menuju gedung dua lantai menyita perhatianku. Ini bukan kali pertama aku melihatnya berjalan dari arah yang sama dengan satu tangan menggenggam sebuah tas dan satu yang lain mengayun bebas di sisi tubuhnya. Pria itu berpakaian cukup rapi dengan setelan kemeja berwarna biru muda, dan celana berwarna hitam yang senada dengan warna mantelnya. Rambutnya ditata dengan rapi, janggut kasarnya dicukur habis hingga yang terlihat hanya rahang keras berbentuk persegi dan sepasang mata gelap yang selalu tampak serius. Pria itu selalu menatap ke arah jalanan di bawah kakinya. Bot hitam mengilap yang dikenakannya memantulkan kembali sinar matahari dalam setiap langkahnya. Wajahnya terlihat lebih segar pagi ini, mungkin karena dia baru saja bercukur, tapi dia masih tampak muram seperti biasanya. Aku bisa melihat tanda pengenal berbentuk persegi yang menggantung di lehernya. Diam-diam, mencari tahu tentang pria itu dan baru minggu lalu aku mengetahui bahwa pria itu bernama Raul, dia menyewa sebuah rumah yang letaknya beberapa blok dari apartemen ini dan dia bekerja sebagai asisten agen perumahan. Kantornya terletak tepat di seberang apartemen ini. Sang agen perumahan itu telah membayar duakali lipat untuk biaya sewa bangunan dua lantai yang kemudian dijadikannya sebagai kantor pribadi. Hanya ada tiga orang yang bekerja di sana: sang agen perumahan bernama Marc, Raul dan Sally, wanita berusia dua puluh lima tahun yang dipekerjaan sebagai sekretaris. Aku berbicara dengan Sally beberapa kali dalam pertemuan kami di sebuah kedai. Dia menceritakan banyak hal tengang Raul dan atasannya Marc. Sally memberiku lebih banyak informasi dari yang kubutuhkan tentang Raul. Pria itu berusia tiga puluh tujuh tahun, pernah menikah sekali dan bercerai satu tahun setelahnya. Raul tidak banyak bicara, sikapnya tertutup. Aku memikirkan laki-laki sepertinya mungkin mengalami masalah pada dirinya yang membuat orang-orang menjauhinya. Kali ini aku menebak apa yang sedang dipikirkan Raul dalam perjalanannya menuju bangunan dua lantai itu. Aku suka membayangkannya menempati rumahnya sendirian, menjalani rutinitas harian dengan bekerja sebagai asisten agen perumahan, kemudian memulai hari liburnya dengan menyendiri di dalam rumah yang disewanya. Pria itu mungkin menghabiskan waktunya untuk memperbaiki atap rumah yang bocor atau membereskan pipa-pipa yang tidak lagi berfungsi. Sesekali mengirim pesan pada anaknya yang masih berusia tiga tahun, kemudian di hari minggu, ketika cuacanya cukup cerah Raul akan mengajak anjingnya berjalan mengitari taman kota. Namun hari ini, aku melihatnya melangkah dengan terburu-buru. Ia nyaris berlari saat menaiki undakan dan membuka pintu kayu. Tas hitamnya mengayun di bawah lengan dan pria itu menghilang di balik pintu. Dari tempatku berdiri di belakang jendela apartemen Tess, aku bisa melihat Raul sedang menaiki tangga besi menuju lantai dua. Seorang petugas kebersihan baru saja turun, aku membayangkan mereka bertegur sapa sebentar kemudian Raul bergerak menuju lantai atas, tepat dimana Marc terlihat sedang sibuk membaca sejumlah surel yang masuk ke komputernya. Aku pernah mengiriminya surel sekali dan berpura-pura menjadi seorang yang tertarik dengan iklan yang di pasangnya di internet. Aku tidak melakukan itu untuk sekadar menarik perhatiannya, aku berniat menginvestasikan rumah pernikahanku dan Ben kalau saja Ben tidak memutuskan untuk mengusirku dari sana. Jawaban Marc tidak begitu membuatku senang. Dia berniat menjual rumah itu dengan harga rendah. Aku berusaha menjelaskan padanya, bangunan yang kutempati bersama Ben telah berusia ratusan tahun. Pondasinya cukup kokoh meskipun tampak seperti bangunan tua yang tak terawat. Dinding-dindingnya mengelupas, kaca jendelanya kusam, sedang pipa airnya memerlukan perbaikan khusus. Di bagian loteng ada tanaman rambat yang memanjang hingga bagian belakang rumah. Namun, terlepas dari semua itu, rumah itu adalah bangunan paling nyaman yang terletak di antara deretan rumah-rumah tua di seberang rel. Tidak hanya sekali dalam satu malam, aku membayangkan diriku berdiri di atas balkon dan menatap kereta yang bergerak menuju London, Ben berada tepat di belakangku, duduk di kursi sembari menikmati bir dingin. Kedua matanya mengawasiku, sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman. “Suatu saat kita harus naik kereta bersama-sama dan melihat rumah ini dari dalam sana,” kataku. Ben tertawa. Laki-laki itu memiliki tawa yang akan terdengar seperti ledekan bagi siapapun yang mendengarnya. “Kau tidak tertarik pada pesawat? Mungkin kapal pesiar?” “Tidak.. aku hanya ingin melihat apa yang dilihat orang-orang itu dari dalam kereta. Apa mereka menyaksikan kita?” Kemudian, laki-laki itu menegak minumannya sekali lagi dan kami mabuk semalaman. Aku memejamkan mata, mengubur bayangan dan kembali pada Marc. Aku menyaksikan kedua bahunya terangkat ketika berbicara dengan Raul. Marc laki-laki yang sudah beristri, saat ini usianya lima puluh tiga tahun dan akan menginjak lima puluh empat di bulan depan. Pria itu memiliki dua orang anak laki-laki, aku berteman dengannya di f******k, dia memajang lebih dari dua puluh foto bersama keluarga. Istrinya adalah wanita berambut merah kelahiran Virginia. Aku mengamati foto itu berkali-kali, wanita itu memiliki tubuh yang terlalu kurus dan tinggi di atas rata-rata, usianya juga lebih tua dari Marc. Itu adalah sesuatu yang tidak bisa kubayangkan tentang Marc. Laki-laki itu begitu mencintai keluarganya – atau dia hanya berusaha bertahan. Siapa yang tahu? Aku sudah menyaksikan kehidupan Raul yang berbanding terbalik dengan rekannya. Kali ini, aku berpaling ke bangunan lain, tepat dimana gambaran keluarga Foster terlihat dalam satu bingkai kecil dari jendela dapur mereka. Jane Foster berdiri di belakang meja pualam dengan kedua tangan terlipat di depan d**a. Sedangkan Mac Foster, pria yang usianya terpaut dua puluh tahun lebih tua darinya tengah berdiri dengan menantang. Sweater hitam yang ia kenakan membalut tubuh kurusnya yang jangkung. Kaca matanya sedikit turun dan ia tidak mengenakan pakaian kasual kali ini. Pria itu seringkali mengingatkanku tentang Ben. Tidak hanya sekali dalam satu kesempatan aku mengamati Mac Foster duduk di sofa malas dengan segelas bir di tangannya. Ia sedang menyaksikan siaran olahraga favoritnya seperti Ben. Kemudian, disisi jendela lain, tepat di ruangan sempit yang dijadikan sebagai kamar tidur, Jane Foster sedang berdiri memilin pakaian di lemari. Ia sedang mencocokkan gaun hitam ketatnya ketika kusadari seseorang dari bawah baru saja memarkirkan mobilnya di halaman samping kediaman keluarga Foster. Seorang laki-laki dengan topi hitam baru saja turun. Ia melambaikan tangan persis ketika Jane Foster melongokkan wajah dari kaca jendela. Kedua mataku memincing saat menyaksikan bagaimana mereka bertukar isyarat mesra. Di ruang tengah yang cukup besar, Mac Foster masih duduk bersandar di sofanya. Aku penasaran bagaimana reaksinya jika mengetahui istrinya sedang bertukar isyarat mesra dengan pria muda seusianya. Aku suka membayangkan bagaimana pertengkaran itu akan terjadi. Siang ini aku berpikir bahwa aku telah menyaksikannya. Jane Foster berbicara dengan cepat, sesekali mengayunkan tangannya ketika meminta pria itu untuk diam. Kemudian, Mac Foster menanggapinya dengan serius sebelum ponsel pria itu berbunyi dan aku melihatnya meninggalkan si istri untuk menerima panggilan.  Di sisi lain bangunan, tepat di trotoar jalan, seorang wanita tua sedang berjalan menuruni undakan tangga dengan hati-hati. Sebuah tas merah mengayun di satu tangannya sedang payung hitam terbuka di satu tangan lainnya. Aku segera mengenalinya sebagai Rose Baker yang lama menjelma menjadi Mrs. Wisherman. Suaminya, Anthony Wisherman adalah seorang pensiun aktivis yang pernah bekerja untuk perusahaan surat kabar. Aku sering melihat pasangan itu berjalan melewati ruko di ujung jalan menuju taman kota. Mereka sering berkeliling di sekitar rumahnya. Kemudian, pada hari minggu keduanya akan pergi bersiap menghadiri misa. Pernah suatu hari dia mengetuk pintu apartemen ini dan singgah beberapa saat untuk sekadar berbicara. Wanita itu duduk tepat di sofa merah empuk yang ada di ruang depan. Ia mengangkat satu kakinya dan menginginkan sebuah permainan catur. Bahkan, dia tidak menolak alkohol ketika aku menawarkannya. Aku tahu persis seperti apa wanita itu. Dalam beberapa kesempatan ketika kami saling mengobrol, Mrs. Wisherman mengatakan betapa buruknya ia sebagai seorang istri dan ibu untuk empat orang anak laki-laki. “Aku tidak pernah menemui tetangga yang menyenangkan sepertimu sebelumnya,” katanya di sela permainan catur kami. Aku terkejut ketika ia menjatuhkan ratuku dengan begitu mudah. Di tahun-tahun awal pernikahanku dengan Ben, aku selalu berhasil mengalahkannya dalam permainan catur. Ben mengatakan kalau aku pandai memanipulasi, hari itu aku lupa bagaimana cara bermain catur. “Tidak ada yang menawarkan alkohol pada orangtua.” Aku menyeringai, semacam seringai yang selalu dibenci Ben. Jangan tersenyum seperti itu!. “Persetan dengan John! Oh Tuhan, aku sangat merindukan sensasinya. Rasanya seperti muda kembali. Terima kasih, Gracy..” Dia selalu memanggilku Gracy meskipun nama itu mengingatkanku pada sebuah film noir yang kusaksikan bersama Ben setiap akhir pekan. Pertemuan itu tidak sering terjadi. Dalam beberapa kesempatan, wanita itu akan mengetuk pintu apartemen ini untuk sekadar mengobrol dan berbagi segelas bir, tapi beberapa minggu terakhir, ia tampak sibuk dengan pertemuan sosialnya. Mrs. Wisherman pernah menceritakan tentang yayasan anak dan perannya di sana. Suaminya menjadi salah satu anggota yang berpartisipasi. Mereka sedang mempersiapkan perjalanan untuk acara perkemahan yang akan berlangsung selama satu pekan di bulan November nanti. Terkadang, ketika aku merasa sendirian, aku merindukan kehadiran wanita itu di apartemen ini, percakapan konyol kami, dan betapa kasarnya wanita itu saat berbicara. Hari ini, Mrs. Wisherman berjalan sendiri. Langkahnya yang lambat membawanya bergerak menuju jalur taman sebelum dia menghilang di balik tikungan. Kota tampak seramai biasanya. Itu adalah hari senin di bulan oktober, orang-orang sibuk dengan urusan mereka, sementara tidak ada yang kulakukan hari ini selain berdiri dan mengamati kesibukan kota yang terbingkai dalam satu kaca jendela. Aku telah menuliskan surel untuk pasien terapi online-ku dan menjadwalkan ulang pertemuan konsultasi kami selasa depan. Sementara menunggu balasan pesan, aku akan membersihkan perapian dan menata ulang ruang kamar. Ada sejumlah barang milik Tess yang masih bertumpuk di dalam kamar sempit itu, aku berencana untuk meletakkannya di loteng. Mungkin, aku juga perlu memperbaiki tangga kayu yang patah dan memastikan pipa airnya berfungsi. Aku cukup sibuk hari ini. Sekitar tujuh bulan yang lalu – atau mungkin sembilan, aku tidak ingat. Tapi itu adalah saat pertama aku menginjakkan kakiku di apartemen Tess. Kami berteman cukup baik di SMA, setelah lulus, aku mengambil jurusan psikologi dan Tess bekerja paruh waktu untuk mengajar. Beberapa tahun kami berpisah, kami dipertemukan kembali dalam sebuah pesta pernikahan teman kami. Tess belum menikah, sementara itu aku telah menjalani dua tahun pernikahanku dengan Ben. Awalnya kami hanya bertukar percakapan secara online, kemudian mengadakan pertemuan kecil dan konseling. Tess memiliki masalah dengan pekerjaannya. Ia telah menjelma menjadi wanita sibuk yang nyaris tidak memiliki waktu untuk berbagi segelas bir. Kemudian, pertemuan kami menjadi semakin sering terjadi sejak pernikahanku dan Ben berakhir. Tess mengatakan aku menjadi kacau. Gangguan pasca trauma yang kualami bukan hanya merenggut semangatku, tapi juga pekerjaan yang telah kugeluti selama bertahun-tahun dan pernikahanku. Tidak hanya sekali dalam suatu malam, aku mengingat pasien-pasienku di rumah sakit, suasana di sana, bahkan wangi obat-obatan di ruang kerjaku. Nyaris tidak ada waktu untuk menyendiri, banyak orang yang bergantung padaku. Bahkan hingga sekarang, aku masih mengingat percakapanku dengan keluarga pasien, bagaimana mereka menangis saat berbicara. Aku bisa merasakan keputusasaan yang mereka alami, kemudian merasa kalut di saat yang bersamaan dan melambung ketika pasienku akhirnya berhasil melewati masa sulit. Semua perasaan itu terasa hambar sekarang. Nyaris tidak ada sesuatu hal yang menggangguku selain Ben. Tess kemudian hadir sebagai penyelamat. Dia yang membawaku keluar dari masa-masa sulit dalam mengizinkanku untuk menempati apartemennya. Aku berjanji pada Tess untuk menemukan pekerjaan baru sehingga aku tidak terus-menerus bergantung padanya, tapi tidak terasa itu sudah tujuh bulan yang lalu sejak aku mengurung diri di apartemennya dan tidak melakukan apapun selain mengamati kehidupan orang-orang yang bergerak di sekelilingku. Rasanya seperti aku akan melakukan hal itu untuk selamanya. Setelah selesai dengan Mr. Wisherman dan pasangan Foster, aku memutuskan untuk merapikan buku-buku milik Tess di dalam kardus dan menyusunnya di atas rak bersama dengan buku-buku tua yang telah menguning lainnya. Tess memiliki ketertarikan pada sejarah dan aku tidak begitu heran mengapa ia selalu unggul dalam kelas sejarah kami. Aku mengepaki barang-barang tak terpakai ke dalam kardus kemudian berjalan menuruni tangga besi menuju gudang di lantai bawah. Gudang itu telah lama ditinggalkan, dan aku tidak ingat kapan terakhir kali aku datang kesana untuk membersihkannya. Tess tampaknya juga terlalu sibuk untuk mengurus masalah gudang. Ia nyaris tidak berada di apartemen ini selama berminggu-minggu sehingga membuat kekacauan di dalamnya tampak permanen: noda bekas kopi yang menghitam di atas sofa, lemari kayu tua di kamar dengan satu kaki yang patah, pintu yang berderit tiap kali di geser terbuka, pipa air yang bermasalah, juga dinding-dinding yang mengelupas dan atap dapur yang bocor. Aku bermaksud untuk menyarankan perbaikan, tapi aku pikir itu sudah cukup baik jika aku dibiarkan menghuni di apartemennya tanpa harus mengeluarkan biaya apapun. Jadi, aku tidak punya pilihan selain menikmati kamarku yang sempit, mendapat tidur yang tidak nyenyak setiap malam karena ranjangnya terlalu keras – kali pertama aku menempatinya, aku aku bermimpi sedang tidur di atas bata. Itu tidak masalah selama aku tidak harus berurusan dengan pemilik apartemen yang menagihkan biaya sewa. Gudang di lantai bawah tidak kalah kacaunya. Ketika aku membuka pintu kayu itu, aku harus mendorongnya dengan pinggul hingga pintu itu berhasil mengayun terbuka. Kepulan debu yang bertebaran di udara membuatku terdesak. Secara naluriah, aku menggerak-gerakkan tanganku di depan wajah untuk mengusir debunya. Tempat itu gelap, tanganku meraba-raba ke dinding hingga aku menemukan sakelar lampu dan meyalakannya. Aku tidak terkejut lagi karena lampunya redup. Kini, aku dapat menyaksikan debu dan sarang-sarang yang menyelimuti dinding dan kardus-kardus penyimpanan barang-barang tak terpakai disana, Aku memutuskan untuk menyelesaikan pekerjaan itu dengan cepat sehingga aku bisa kembali ke kamarku dan meringkuk seperti kucing malas di atas kasur. Lidahku terasa kering, aku merindukan anggur-ku. Kakiku berjalan dengan cepat menuruni tangga kayu hingga aku nyaris terjatuh saat menginjak anak tangga terbawah yang hampir patah. k*****t! Aku melihat sebuah paku berkarat menancap di tepinya, hanya berjarak beberapa sentimeter dari ujung kakiku. Kalau saja aku bernasib buruk, aku pasti sudah menginjaknya. Kini, aku berjalan dengan lebih hati-hati. Setelah mengepakkan kardus bersama tumpukan kardus lainnya, aku bergerak bergerak secepat mungkin meninggalkan gudang itu. Aku perlu bersyukur karena Tess tidak memutus jaringan wireless di apartemennya sehingga aku bisa mengases internet kapanpun. Setelah menyantap makanan yang tersisa di lemari pendingin, aku memutuskan untuk duduk di depan laptopku dan berbicara dengan para pasien yang kujumpai secara online. Kebanyakan dari mereka adalah wanita berusia empat puluh lima tahun ke atas. Beberapa di antaranya berprofesi sebagai ibu rumah tangga yang ‘berusaha mencari kegiatan tambahan’ di rumah, hanya sedikit dari pasienku yang berusia di bawah dua puluh tahun. Aku merasa senang dapat berbicara dengan mereka dan mendengar keluhannya, entah bagaimana hal itu membuatku merasa berguna. Aku bukannya pengangguran yang duduk diam dan tidak melakukan apa-apa, setidaknya aku suka membantu orang meringankan beban yang mereka pikul. Terkadang aku membayangkan duduk berseberangan dengan mereka, menatap mereka secara langsung dan berbicara tanpa perantara. Aku ingin mendengar suara mereka atau melihat air mata yang berurai di wajah mereka, tapi itu tidak terjadi lagi setelah izin praktekku dicabut dan aku dinyatakan ilegal untuk melayani pasienku secara langsung. Kehidupan yang kubangun selama bertahun-tahun berhasil kuhancurkan dalam waktu sekejap. Kutatap layar monitor itu dengan murung, pikiranku berkelana ke tempat yang jauh hingga seorang pasien bernama Helen Moore tersambung denganku. Aku hanya mengingat sedikit tentang Helen; seorang istri yang kesepian, bertahun-tahun menikah dan dinyatakan mandul. Ia mengalami perdebatan sengit dengan suaminya beberapa bulan terakhir dan Helen punya kecurigaan kalau laki-laki bernama David Moore itu akan menceraikannya dalam waktu dekat.   “Hai Helen–” sapaku. “Bagaimana keadaanmu?”   “Hai, Dok. Buruk sekali pagi ini. Saudara perempuan David baru saja berkunjung dan dia mengacaukan segalanya. Dia mengatakan hal-hal bodoh seperti biasanya. Jalang k*****t itu – maaf, tapi aku benar-benar tidak tahan berada di dekatnya. Dia memengaruhi David. Aku curiga dia yang mengasut David tentang perceraian itu. Dia selalu begitu, maksudku.. maaf, kedengarannya itu kasar sekali.”   “Tidak apa-apa. Apa kau sudah berbicara dengannya?”   “Menurutmu begitu? Apa itu harus?”   “Ya, cobalah buat dia mengerti situasinya.”   “Dia tidak akan! Sifatnya angkuh. Dia suka membandingkanku dengan teman perempuan David yang lain. Dia satu-satunya orang yang tidak pernah menyetujui pernikahan kami.”   “Mungkin dia butuh segelas anggur..”   Aku mencoba bergurau dan usaha itu sepertinya berhasil.   “Ha-ha! Lucu sekali, dok.”   “Abaikan saja dia. Cobalah melakukan sesuatu yang berguna, bukan hanya untuk David, tapi untuk pernikahan kalian.”   “Oh, ya. Aku sudah menyusun jadwal.”   “Pesta kalkun bersama teman-temanmu?”   “Tidak, ini berbeda. Aku ingin mengajaknya jalan-jalan. Maksudku, kami akan pergi berduaan saja, mengunjungi tempat-tempat yang sering kami kunjungi saat masih berpacaran.”   “Itu brilian!”   “Menurutmu David akan menolak? Dia sibuk, kau tahu.. mungkin aku perlu mempertimbangkan rencana ini lagi..”   “Dia harus menerimanya. Dia tidak seharusnya menolak ajakanmu, bukan? Tidak setelah saudara perempuannya,–”   Aku menunggunya mengetikan sesuatu, kemudian..   “Ya, ya. Terima kasih, Dok. Aku harus pergi. Sampai jumpa lagi!”     Kemudian Helen menghilang dari percakapan. Aku menunggu, sesekali membuka percakapan lamaku dengan sejumlah pasien lainnya hingga percakapan baru muncul tiga menit kemudian. Kali ini Camilla Dubini, pasien yang mengalami KDRT terhubung denganku.   “Hai, Dok!”   Aku melihat riwayat percakapan kami sekitar tiga hari yang lalu. Camilla mengatakan bahwa dia berencana untuk meninggalkan suaminya dan tinggal bersama kakak perempuannya di Montana. Keputusan itu belum sepenuhnya bulat, aku penasaran bagaimana kelanjutannya.   “Halo, Camilla. Apa semuanya baik-baik saja?”   Aku mengajukan pertanyaan bodoh: tentu saja tidak ada yang baik-baik saja. Tapi, jawabannya mengejutkanku.   “Ya, aku merasa baikan sekarang. Aku telah meninggalkan Jason – secara diam-diam. Dia pasti mencariku sekarang. Jika tidak, dia pasti sudah menghubungi polisi. Tapi aku mengenalnya, dia tidak akan mengambil tindakan itu.”   Aku mengenal wanita itu, bertubuh kurus, penuh luka memar di wajahnya, begitu rapuh dan putus asa. Camilla mengatakan dia memiliki seorang putri berusia lima tahun yang sakit-sakitan, keadaannya sungguh memprihatinkan.   “Tapi, apa kau bersama putrimu?”   “Ya. Kami kabur saat tengah malam, ketika suamiku tidur di kamarnya. Aku akui itu tindakan nekat, tapi aku benar-benar sudah tidak tahan.”   “Kenapa kau tidak mencoba melapor polisi?”   “Aku tidak tahu, Jason membiayai hidup kami. Kakak perempuanku tidak punya apapun dan kami hanya akan menjadi beban tambahan untuknya. Jika aku melapor, tidak akan ada yang bisa menghidupi kami. Kau tahu, kan.. usahaku ditutup beberapa tahun yang lalu dan aku memiliki cacat yang tidak memungkinkanku untuk bekerja.”   “Ya, tapi itu tidak benar. Tindakan Jason tidak dibenarkan.”   “Dok, aku tidak melakukan ini sekali atau duakali, tapi berkali-kali dan pada akhirnya dia akan menemukan kami dan membawa kami kembali ke rumahnya. Aku hanya tidak tahan dengan sikapnya beberapa hari belakangan. Dan.. aku memiliki ketakutan. Aku pikir Jason berselingkuh dengan rekan kerjanya. Aku sering memergokinya pulang pada tengah malam dan aku mencium aroma parfum wanita di pakaiannya. Itu bukan sesuatu yang biasa dan aku takut sekali..”   Darahku mendidih, aku bisa merasakannya mengairi sekujur tubuhku dan bergerak naik hingga ke ubun-ubun. Diluar sadar, aku telah mengepalkan kedua tanganku dengan erat, kuku-kuku jariku mencakar telapak tangan begitu kuat hingga melukainya. Setelah apa yang terjadi, aku benci mendengar perselingkuhan yang terjadi pada orang-orang yang kukenal. Aku benci ketika membayangkan apa yang dialami Camilla. Sebuah perasaan familier yang tidak bisa kuterima – perasaan yang juga kualami dalam pernikahanku dengan Ben. Aku menutup percakapan itu secepat mungkin, berusaha mengalihkannya ke topik lain, sedikit memberi saran: lebih banyak menyimak. Tidak banyak yang dapat kubantu kali ini. Tapi aku merasa puas setelah berbicara dengan pasienku. Aku menutup percakapan itu sekitar satu jam kemudian. Kali ini, aku beralih ke laman f******k yang terkahir kubuka pada 10 Oktober, itu artinya dua hari yang lalu. Aku mengetikkan sebuah nama di papan pencarian, menunggu layarnya memutih sebelum menampilkan profil Anna Floyd di laman utama. Kini wajah putih bersihnya menatapku. Sepasang mata besar berwarna hijau itu terlihat berkilau di bawah pantulan sinar matahari. Profil itu tidak memperlihatkan seluruh tubuhnya, hanya bagian wajah dan terpotong tepat dari bagian perut ke bawah. Tapi aku masih bisa menilai posturnya yang ramping, wajah bulatnya yang sempurna dan sepasang mata besar yang sedap dipandang. Hanya ada sedikit perubahan yang baru kusadari, ia terlihat sedikit lebih gemuk dalam foto itu. Tentu saja, setiap wanita akan mengalaminya pasca melahirkan, tapi itu sudah bertahun-tahun yang lalu dan kini Anna terlihat sama memukaunya seperti kali pertama aku melihatnya: tinggi, pirang, tubuh semampai, tulang wajah tirus, hidung kecil yang mancung dan p******a yang penuh – jalang k*****t!. Aku tersenyum, berusaha membayangkan Helen Moore mengatakannya dengan lantang; JALANG k*****t!. Kemudian membayangkan diriku mengatakannya di depan wajah Anna. KAU JALANG k*****t! Ben akan menamparku. Aku pernah melakukannya sekali, berteriak di depan wanita penjilat bermuka dua yang menjelma sebagai istrinya, kemudian dia menarikku menjauh dan menamparku. Bekas pukulannya masih bersarang di wajahku, nyaris memudar, tapi aku tidak bisa melupakan sensasinya, rasa sakit yang ditimbulkan olehnya. Ben memukulku karena wanita itu! Wanita sialan itu! Kedua mataku terasa menyengat, aku mengerjapkan mataku berkali-kali, berusaha mencegah air mata yang hendak merebak. Kali ini, aku menjelajahi laman f******k-nya, diam-diam mengamati foto-foto kebersamaan mereka; Anna-Ben dan putri mereka yang berusia dua tahun. Sebuah foto memperlihatkan Anna sedang berdiri di sisi kanan Ben, laki-laki itu merangkul putri mereka di lengannya dan keduanya tersenyum ke arahku seolah sedang mengejekku. Kemudian, ada foto lain yang memperlihatkan sisi bangunan yang ku kenal; rumah pernikahanku dan Ben, kini menjadi rumah pernikahan Anna dan Ben. Kali ini, Anna duduk di sofa berlengan yang kupilih bersama Ben dalam penjualan perbotan besar-besaran pada perayaan Thanksgiving. Putrinya bergelayut dengan nyaman di pundaknya. Lengan kecilnya yang gemuk melingkari bahu Anna dan gadis itu menatap dengan malas ke arah kamera. Anna tersenyum lebar, bibirnya menempel di wajah bayi perempuan itu. Aku menggigit bibirku, selama sesaat dibanjiri oleh ingatan tentang Lizzy, kemudian aku jatuh meringkuk dan membiarkan isak tangis itu pecah. Aku berteriak, kuku-kuku jariku mencakar karpet merah dan meninggalkan pola yang membekas di atas sana – seolah aku telah melakukannya berkali-kali, dan itu memang benar. - LAST WITNESS -
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD