GRACE
--
Aku pernah bermimpi berdiri di depan jendela sembari menggendong putriku, Lizzy yang baru berusia dua bulan. Bayi itu masih sangat kecil dan rapuh. Bibir merah mungilnya bergerak-gerak, lengan kecil yang gemuk mengayun di depan wajahku. Jari-jarinya memerah karena udara dingin, wajahnya sepucat kapas, mata gelapnya membesar dan cuping hidungnya bergerak-gerak. Bayi itu mengeluarkan liur dari mulutnya, dia seolah berusaha menggumamkan sesuatu, mungkin suatu bentuk protes karena betapa kecil kamarnya, atau bertapa sempit pakaiannya.
Sore itu hening, aku menatap ke arah jalanan di luar sana. Jalurnya melengkung dengan hampa, pohon-pohon berjejer meliuk ke arah rel. Rumput-rumput kasar di halaman depan mengatakan bahwa seseorang baru saja memotongnya. Semak-semak tumbuh mengelilingi pagar bercat putih yang membatasi rumah kami dengan rumah tetangga. Aku menyaksikan pasangan muda Alliston baru saja keluar dari pintu rumahnya yang terletak dalam jarak beberapa meter dariku, mereka tengah mempersiapkan liburan musim semi. Kemudian, aku mendengar bayiku menangis. Tubuhnya menggeliat dan bergerak-gerak dengan gelisah.
Liz sedang memprotes. Dia akan menganggapku bersikap jahat karena tidak pernah membiarkannya menyaksikan kereta yang bergerak dari dekat, atau melihat pohon-pohon yang berbaris membentuk jalur sempit di seberang rel, atau menyaksikan burung magpie hinggap dari satu dahan ke dahan lainnya. Namun, Liz akan memahami situasinya ketika dia sudah cukup dewasa. Aku akan membuatnya mengerti mengapa aku tidak mengizinkan cahaya matahari menyentuh wajahnya. Semua itu karena pantangan yang harus kupatuhi: larangan untuk menjauhkan putriku dari cahaya matahari yang akan membakar kulitnya. Dia telah lahir di saat seharusnya dia masih berada di dalam rahimku, dan tanpa sadar aku telah menyebabkan kecatatan yang cukup serius untuknya. Ben mengatakan semuanya akan baik-baik saja meskipun aku tahu pada akhirnya putriku tidak akan menjadi normal seperti anak-anak lainnya. Dia akan sedikit berbeda ketika tumbuh dewasa dan itu membuatku pilu.
Aku menangis setiap malam, berharap dapat mengusir bayangan buruk tentang tubuh Liz yang terbakar di bawah sinar matahari. Darahku membeku, aku harap aku dapat mengulang waktu dan memperbaikinya, kemudian saat kesadaran itu menyentakku, aku terjaga sepenuhnya; dengan peluh membasahi keningku dan mimpi buruk yang sama bergelayut di kepalaku.
Aku sedang duduk di dapur, mengaduk telur orak-arik di atas piringku sembari memandang keluar jendela. Aku sedang menyaksikan kabut gelap bergerak melintasi ujung-ujung bangunan tinggi dan sejumlah kendaraan bergerak dengan tenang di bawah sana. Suara dentingan oven kemudian menyadarkanku. Aku sedang menyiapkan makan malam yang tersisa di lemari pendingin: sisa daging asap, kentang beku, telur orak-arik. Terkadang aku merindukan masakan Ben, rindu betapa piawainya laki-laki itu bekerja di dapur. Aku rindu masa-masa ketika kami berbagi segelas bir, menghabiskan sisa malam sembari menyaksikan film-film noir dan duduk berhadap-hadapan dengannya di perpustakaan kecil yang dijadikan Ben sebagai tempat kerjanya. Aku masih mengingat apa yang begitu disukai Ben, kesenangannya pada permainan catur, atau kegemarannya membaca buku. Bahkan, aku tahu persis dimana dia meletakkan buku favoritnya.
Aku suka mencium aroma tajam sampul buku tuanya yang mengguning, bau kayu yang perpadu dengan udara tipis di dalam ruangan sempit juga sofa berwarna merah tua yang ada di dalam ruangan itu. Rak-rak telah dipenuhi oleh buku bacaan sebagian besar milik Ben, aku hanya menyimpan beberapa yang kusukai.
Ben mengajar kuliah setiap hari senin sampai jumat, terkadang ia masuk untuk mengisi jam pelajaran di hari sabtu. Dia adalah seorang dosen sejarah yang hebat – itu adalah hal lain yang kusukai darinya. Dia hanya sedikit berbicara tentang apa yang terjadi hari ini, dan kami sering berada argumen. Dia mengatakan betapa aku keliru memilih pekerjaanku, kemudian aku akan lebih keras saat menyanggahnya.
Aku ingat ketika aku duduk bersila di atas karpet merah dengan perut membuncit, mengenakan pakaian Ben dan membuka halaman-halaman agenda yang kutemukan di meja kerja Ben. Aku ingat ketika aku membalik halaman tengahnya dan menemukan foto Anna. Tubuhku bergetar dan jantungku berpacu kuat. Kuputuskan bahwa itu akan menjadi buku terakhir miliknya yang kulihat.
Keningku berkeringat. Kedua tanganku bergetar saat mengangkat daging asap dari dalam oven. Aku mendengar suara pecahan kaca yang keras, suara itu kemudian disusul oleh teriakkan seseorang dari kejauhan.
"Grace!!" serunya. "Grace!! Apa yang kau lakukan?"
Suara berderak muncul ketika kakiku menginjak pecahan kaca. Aku menyaksikan cairan merah pekat menggenang di bawah kakiku. Udara semakin tipis kemudian suara pecahan lain, kali ini lebih keras. Butuh waktu lama sebelum aku menyadari bahwa suara yang muncul adalah bunyi telepon yang menggantung di dinding dapur.
Aku menyentak tubuhku dengan cepat. Bayangan buruk itu kabur secepat kemunculannya. Kemudian, aku mendengar suara Tess di seberang.
"Kenapa lama sekali mengangkatnya? Apa semuanya baik-baik saja?"
Wanita itu mencoba berbicara dengan tenang tapi aku bisa menyadari kekhawatiran dalam suaranya. Tess selalu memilikinya, rasa gelisah yang membuatnya tidak dapat duduk dengan tenang sebelum memastikan semuanya baik-baik saja.
"Umum.. ya. Maaf. Ada apa?'
"Aku tidak bisa kembali," katanya. "Ada pekerjaan yang harus kuselesaikan disini. Mungkin aku akan menetap dua sampai tiga minggu kedepan. Apa kau tidak masalah jika aku tinggalkan?"
Aku menggigit bibirku dengan begitu kuat hingga aku bisa merasakan rasa pahit darahku.
"Ya, tidak masalah."
"Apa kau akan bicara padaku apa yang terjadi selama aku pergi?"
Aku berusaha memikirkan jawaban yang menarik - sebuah jawaban yang diinginkannya dan jawaban yang tidak akan memancing pertanyaan selanjutnya karena Tess akan marah jika mengetahui berapa banyak alkohol yang kuteguk selama dua hari belakangan.
"Semuanya oke. Hanya.. sedikit masalah pada pipa airnya. Kau taulah. Mesin pengatur suhu panasnya tidak berfungsi."
"Ah, ya! Aku berencana untuk menyewa jasa perbaikan, tapi kupikir Sean bisa menyelesaikannya. Dia akan datang."
"Siapa?"
"Sean, sepupuku. Dia baru saja kembali dari London dan berencana untuk tinggal di apartemenku. Dia bisa menempati kamarku atau ruang bawah. Terserah, yang manapun dia ingin."
"Oh." Itu menarik meskipun gagasan untuk menempatkan seorang laki-laki di apartemen yang kami tempati bersama-sama selama beberapa bulan terakhir terdengar aneh.
"Jangan khawatir tentang dia! Dia aman."
"Oke."
"Omong-omong, kau bisa menghubungiku kapanpun."
"Baik."
"Aku harus pergi."
"Ya, terima kasih karena sudah menelepon.." tapi dia sudah pergi. Aku menatap dengan hampa ke arah mesin telepon itu. Lampu merahnya berkedip-kedip setiap kali aku menerima panggilan masuk. Kemudian aku mengangkat gagangnya sekali lagi, mendekatkannya ke telingaku sembari menekan nomor yang telah kuhafal.
Aku menunggu dengan perasaan bimbang, nyaris putus asa ketika telepon tidak terhubung. Hingga suara seseorang muncul pada deringan berikutnya.
"Siapa disini?"
Jantungku terpompa kuat, dahiku berkeringat dan tanganku bergetar hebat. Itu bukan suara yang kuharapkan akan muncul di seberang. Tiba-tiba mulutku terasa kering dan tenggorakanku tercekat. Itu suara Anna.
"Grace? Itu kau? Berhentilah mengganggu kami, oke! Aku peringatkan kau atau aku akan menghubungi polisi, dasar s****l t***l!"
Sambungan telepon diputus. Aku membanting gagang telepon dengan kasar, selama beberapa saat berharap memiliki keberanian untuk menampar wajah keparatnya dan meludahi mulut kotornya. Tapi tidak kulakukan.
..
- LAST WITNESS -