Bab 16

1272 Words
GRACE  -- Wanita itu memandangiku dari balik pintu kamarnya. Bibirnya mengulas senyum kasihan, dan aku tahu persis apa yang hendak dilakukannya. Kau sebaiknya jatuh dari tangga itu, dasar s****l sialan! Kalimat itu persis yang dikatakannya. Aku menunggu, meringkuk di bawah kasurku selama hampir semalaman. Kedua mataku terpejam erat dan aku ketakutan. Aku melebarkan jari-jariku di atas lantai kayu yang dingin, merasakan kegelapan itu menyelimutiku sekaligus memberiku penenangan. Tidak ada tempat yang lebih aman selain bersembunyi di bawah kasurmu. Keributan di lantai bawah memecahkan keheningan. Aku menatap jarum jam dinding di kamarku yang menunjukkan pukul dua dini hari. Terlalu larut. Orang bodoh mana yang akan menghabiskan sepanjang hari untuk bertengkar hingga larut? Tentu saja orangtuaku. Tapi ini tidak hanya terjadi sekali. Hampir setiap malam ketika aku terjaga, aku akan menatap lorong gelap di balik pintu kamarku yang mengayun terbuka. Sesuatu merayap di atas dinding-dinding kosong di sepanjang lorong, dan aku bisa mendengar suara derap langkah seseorang mendekati kamarku. Kemudian, suara teriakan, pecahan keramik dan makian. “Berhenti menudingkan jarimu, k*****t! Kau tidak bisa berlaku semaumu di rumahku!” “Beraninya kau bicara begitu setelah apa yang kau perbuat. Kau pikir apa yang kau perbuat, b******n sialan! Aku tidak akan memaafkan perbuatanmu! Aku tidak pernah..” “Kau sebut aku apa?” “b******n k*****t!” “Tutup mulutmu, berengsek!” Leherku tercekik, nafasku tersengal. Aku kesulitan mendapatkan udara hingga dahiku berkeringat dan aku bisa melihat pantulan wajahku di cermin; wajah itu membiru, kedua mata yang sayup itu tampak bengap. Kuku-kuku jariku mencakar seprai. Aku mengap-mengap ketika menyeret tubuhku turun dari kasur dan berderap di atas lantai. Tubuh kecilku berguling ke bawah kasur dan aku menggunakan kain selimutku untuk menutup telinga. Meskipun aku masih bisa mendengar suara pecahan kaca dan teriakan dari lantai bawah, aku merasa lebih aman. “Gracia.. Gracia yang malang..” Suara bisikan itu entah darimana datangnya. Tapi aku mendengar pintu kamarku mengayun terbuka dan cahaya temaram dari luar sana menyusup masuk ke dalam. Sepasang kaki kecil berjalan mendekati tepi ranjang dengan baju tidur menggantung rendah di atas tumitnya. Kuku-kuku jari kakinya diberi cat berwarna hitam. Bentuknya memanjang seperti cakar dengan tulang kaki yang kurus. Di bawah cahaya lampu temaram tampilannya sangat mengerikan. Aku memejamkan mata lebih erat ketika jubah tidurnya merosot tajam ke atas lantai, kemudian jari-jari kakinya yang kurus menekuk dengan bentuk yang tidak beraturan saat wanita itu menunduk. Kali ini telapak tangannya terbuka di atas lantai dan ujung rambutnya mengintip ketika wanita itu menunduk. Gracia yang malang, begitu katanya. Dia selalu berbisik. “Kemari! Biar kutunjukan padamu.. Apa kau akan ikut bersamaku? Gracia.. kemarilah!” Telapak tangan itu terjulur ke arahku. Aku menatapnya selama sesaat, merasakan nafasku tersengal – lagi. Kemudian sebelum aku sempat menghindar, kuku-kuku jari yang tajam itu mencakarku, ia menarik bahuku, menyeretku secara paksa untuk keluar dari tempat persembunyian itu. Kemudian aku melihatnya: Nan yang sedang berdiri di ujung jendela kamarku, matanya menatap ke bawah. Wajah tirusnya sepucat kapas. Kedua matanya yang memerah telah berair. Bibirnya sedikit terbuka dan dadanya bergerak naik turun dengan cepat seirama dengan nafasnya. “Tidak..” bisikku. Aku ingin berteriak, tapi sesuatu seakan menyumbat mulutku. Lidahku terlilit dan aku terus meringkuk di tepi kasur dengan kedua tangan memeluk lutut dan mata yang berair. Sementara Nan terus bergerak mendekati tepi jendela, kedua matanya membeliak ke arahku. “Kau seperti pengecut, Grace! Hentikan tangisanmu!” Tapi aku tidak berhenti. “Lihat betapa menyedihkannya dirimu! Lihat betapa menyedihkannya mereka!” Jari-jari kurus Nan menunjuk ke balik pintu kamarku. “Kau tahu apa yang mereka katakan? Kau mendengarnya bukan? Kurasa kita bukan bagian dari mereka. Kurasa kita hanyalah aib. Mereka bahkan tidak menginginkan kita di sini.” Aku menatap Nan lurus. Wajahnya mengerikan, aku tidak pernah melihatnya seperti itu. Gadis lima belas tahun itu terlihat putus asa. “Aku tidak tahu mengapa aku masih disini. Apa kau akan ikut bersamaku, Grace? Maukah kau?” Tapi Nan sudah melompat, bahkan sebelum aku sempat mencegahnya. Wanita itu menghempaskan tubuhnya ke balik kaca jendela kamarku, Ia menghilang dengan cepat. Aku berderap maju, mengintip dari atas jendela dan menyaksikan tubuhnya hancur di bawah sana, kemudian suara teriakan. Kurasakan peluh membanjiri dahiku dan ketika aku menunduk, aku melihat darah menggenang dimana-mana, merambat hingga mengenai ujung telapak kakiku dan semakin melebar, tapi darah itu bukan milikku.   ***   Aku terjaga dari tidurku, tubuhku dibanjiri oleh keringat – ingatan-ingatan itu dan lebih banyak keringat. Aku menggigit bibir cukup keras hingga melukainya. Sementara itu, suara musik dari lantai bawah berdengung. Beberapa detik kemudian hening. Aku bahkan merasa bisa mendengar suara genangan air, detak jantungku dan suara nafasku sendiri. Kemudian suara Nan di kepalaku: Gracia yang malang, maukah kau ikut bersamaku? Rasanya sudah bertahun-tahun yang lalu, namun kejadian itu terus menghantuiku. Mimpi buruk itu terkadang hadir dalam setiap malam dan menggentayangiku seperti setan. Aku ingat aku terbangun di suatu malam dan Nan memandangiku dari ambang pintu. Wajahnya dibanjiri oleh air mata, tangannya menggenggam sesuatu dengan kuat, pecahan keramik? Kaca? Saat itu gelap, aku tidak bisa melihatnya. Tapi aku mendengar suara darah yang menetes di atas lantai kamarku. Darah itu menetes semakin cepat hingga menciptakan lingkaran gelap di sana. Kemudian aku menyadari bahwa tangannya terluka. Nan melukai dirinya, dan dia masih berdiri di sana, memandangiku dengan tatapan simpatinya. “Gracia.. maukah kau ikut bersamaku?” “Tidak.” Kupikir aku sedang berbisik, namun kegaduhan segera pecah dan aku sadar bahwa aku sedang berteriak, berkali-kali. Ayahku menyeret Nan dari kamarku, memukuli dan menguncinya di gudang. Aku ingat suara ketukan dinding kayu ketika Nan berusaha memanggilku untuk bergabung. Aku ingat secarik kertas berisi pesan yang diselipkan Nan di bawah pintuku. Selalu kalimat yang sama: Gracia.. maukah kau ikut bersamaku? Namun, semua ingatan itu telah terkubur bertahun-tahun lamanya sejak aku meninggalkan rumah orangtua kami dan memutuskan untuk menjalani kehidupan baruku sebagai ahli terapis. Bahkan hingga bertahun-tahun, aku berhasil menyembunyikannya. Namun ingatan itu kini kembali mengerubungiku seperti luka lama yang terbuka. Apa yang akan dikatakan orang-orang jika mengetahui masa laluku? Selama bertahun-tahun aku berhasil menyembunyikannya dari Ben, namun itu hanya masalah waktu hingga ia mengetahui siapa wanita yang dinikahinya. Semua itu terkuak persis setelah kematian Liz. Aku ingin melesakkan tubuhku lebih lama di atas kasur dan bergulat dengan semua pemikiran itu. Namun, aku lebih takut berada di sana dengan hantu dari masa laluku. Ketika aku berdiri di bawah pancuran air, beberapa hal mengerubungi pikiranku dan tiba-tiba saja aku memikirkan pasienku, Abby. Bagaimana kabarnya kali ini? Sudahkah ia mengirim pesan? Aku penasaran tenang bagaimana pria itu memukulnya dan aku ingin mengetahui lebih dalam tentang wanita ini: apa yang dirasakannya dan bagaimana dia mengatakan kalimat terkahirnya yang masih kuingat: aku rasa aku sudah tergila-gila padanya hingga aku tidak bisa menolong diriku sendiri. Kemudian aku bertanya-tanya, apa yang diharapkannya? Dapatkah aku membantunya? Aku baru saja selesai mandi ketika ponselku berdering berkali-kali. Sebanyak tiga panggilan masuk dari Ben tidak terjawab. Tubuhku tersentak dan aku menekan tombol untuk menghubunginya balik persis sebelum panggilan berikutnya masuk. Kali ini tidak akan kusia-siakan. Aku menekan ponsel itu begitu kuat dan menekankannya ke telingaku. Ketika aku mendengar suaranya di seberang, benakku dibanjiri oleh kelegaan. Itu selalu terjadi, entah bagaimana, aku seperti benalu yang tidak akan pernah bisa lepas darinya. “Grace? Itu kau?” “Ya! Ya!” “Kita perlu bicara empat mata, Grace.. Ini masalah penting!” Ben menekankan setiap kata-katanya dengan hati-hati dan ajakan itu entah bagaimana membuat jantungku berdentam lebih cepat. Apa yang diharapkannya dalam pertemuan kami kali ini? Apa dia akhirnya menyerah pada Anna dan bermaksud untuk kembali denganku? Apa sekarang adalah waktu bagiku? Benarkah? “Ya, tentu saja. Dimana aku bisa menemuimu?” Ben menyebutkan nama tempat yang kami kenal. Dulu, ketika kami masih berpacaran, kami sering mengunjungi tempat itu dan fakta bahwa laki-laki itu menginginkan sebuah pertemuan rahasia di sana membuatku merasa seakan-akan hidup kembali. “Siang ini, aku akan menemuimu. Apa aku bisa memegang kata-katamu, Grace?” “Tentu. Tapi, Ben.. apa kau keberatan untuk mengatakan padaku apa yang ingin kau sampaikan? Apa ini tentang..” “Sampai jumpa di sana, oke..” Ben menolak untuk menjawab pertanyaan terkahirku dan sambungan telepon itu sudah diputus sebelum aku sempat menjawabnya. .. - LAST WITNESS -
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD