GRACE
--
Aku tahu, melebihi firasatku bahwa ketika laki-laki itu berjalan mendekatiku, ia terlihat sangat marah. Berbanding terbalik denganku, tampilannya tidak begitu spesial. Ia hanya mengenakan pakaian kasual, jins longgar yang menggantung rendah di bawah pinggulnya, jaket hitam yang hanya digunakannya untuk berpergian keluar dan sebuah topi hitam. Topi yang kuingat dibelinya saat perayaan thanksgiving.
Laki-laki itu berjalan dengan terburu-buru. Langkahnya yang panjang membuatnya tiba lebih cepat di sampingku. Ia membiarkan sedan tuanya terparkir di sembarang jalan. Dan dari ekspresinya, aku menilai laki-laki itu tidak datang untuk menikmati sarapan aku meneguk secangkir kopi – dia ingin berbicara.
Aku berusaha tersenyum ke arahnya meskipun rasa takut itu kembali mengerubungiku. Namun, tangannya yang besar telah mencengkram lenganku dengan kasar, ia membawaku menjauhi kerumunan dan menyentakku ke dinding di belakang kedai kopi itu.
"Kau pikir apa yang kau lakukan, sialan?!"
Ben mendekatiku, nafasnya beraroma kopi dan makanan yang disantapnya pagi ini. Kemudian aku bertanya-tanya apa yang disiapkan Anna untuk santapan pagi mereka? Apa mereka menghabiskan makanan itu bersama-sama? Bagaimana hal itu membuatku begitu hancur saat membayangkannya.
"Aku sangat merindukanmu.."
Jauh di lubuk hatiku aku tahu bahwa aku mengatakan kebenaran, tapi Ben sekali lagi menyentakku dengan kasar.
"Apa yang kau lakukan di kamar putriku?"
"Apa?"
"Anna bilang kau datang ke sana. Kau ada di sana! Apa yang hendak kau perbuat? Kau mau menyakiti putriku?"
Ben menudingku dengan satu jarinya dan aku merasa tidak terima. Terlepas dari istri sialannya yang suka mengacau, kamar itu milik Lizzy.
"Itu putriku juga.. bagaimana mungkin aku menyakitinya.."
"Apa maksudmu? Hah?"
"Itu kamar Lizzy!!"
"Kau sakit, Grace! Benar-benar sakit! Kukatakan padamu berkali-kali, dia mati! Tidakkah kau mengerti? Semuanya sudah berakhir. Tidak ada kau, aku, maupun Lizzy. Sekarang tempat itu hanya untuk Anna dan putriku, Emma. Kau tidak ada di sana. Apa kau mengerti? Berhenti mengganggu kehidupan kami! Carilah kesibukan dengan dirimu sendiri! Cari pekerjaan! Kau tidak bisa selamanya seperti ini. Kau membuat Anna ketakutan.."
"Tidak, berkali-kali kukatakan padamu, aku tidak berbuat apa-apa! Kau salah tentangku, Ben.. wanita itu.. s****l sialan itu.."
Kalimat itu tertahan di lidahku persis ketika Ben menampar wajahku dengan keras dan menudingku dengan tatapan penuh peringatan.
“Jangan katakan hal itu lagi! Berhenti menganggu kehidupan kami.. Sialan, Grace! Aku lelah denganmu! Kukatakan padamu aku sudah selesai denganmu. Jauhi Anna! Kau dengar aku? Jauhi keluargaku..”
“Itu bukan hanya rumahmu, Ben.. Itu rumahku juga! Aku membelinya, dan wanita tidak memiliki hak sedikitpun untuk tinggal disana. Dia tidak memiliki hak untuk menyentuh barang-barangku! Dia tidak berhak berada disana..”
“Tutup mulutmu! Aku muak dengan semua ini. Menurutmu apa yang akan kau lakukan jika Anna menghubungi polisi dan mengatakan apa yang terjadi? Menurutmu kau bisa selamat begitu saja? Dengar Grace! Aku tidak tahu mengapa kau melakukan ini. Kau melakukan hal-hal bodoh sepanjang hidupmu. Kau tidak berhenti membuntutiku seperti seekor anjing. Itulah dirimu, seekor anjing! Aku tidak punya waktu untuk mengurusmu, aku sibuk! Tidakkah kau memiliki kehidupan untuk disibukkan? Bisakah kau berhenti mabuk dan membuka lembaran baru?”
Tubuhku berkeringat, nafasku memburu dan aku tidak bisa menahan air mataku untuk tidak jatuh. Ben disisi lain masih menatapku, wajahnya memerah, urat-uratnya muncul ke permukaan dan aku bisa merasakan amarahnya. Kedua tangan besar itu kini terkepal, tangan yang kuingat pernah merangkulku begitu erat. Kata-katanya setajam pisau dan itu melukaiku. Namun, seperti yang selalu kulakukan, aku hanya berdiri di sana, menatapnya seakan aku memiliki kesempatan lain untuk dapat bersamanya.
“Apa kau mendengarkanku, Grace? Menjauhlah! Aku tidak bisa mencegah jika ternyata Anna memutuskan untuk melaporkan tindakanmu pada polisi. Tidak ada yang bisa kulakukan untukmu, jadi menjauhlah selagi kau bisa melakukannya. Jangan mencoba untuk menghubungiku lagi, apa kau tahu Anna seorang pencemburu? Dia bisa menjadi sangat marah, kau tahu, kan? Aku tidak mau cari masalah denganmu.”
“Tidak, aku berjanji padamu, aku tidak akan melakukan kesalahan yang sama. Tapi jangan larang aku, aku ingin terus berbicara denganmu.. aku ingin..”
“Kau tidak mendengarkanku!” Ben menyentak tanganku dengan kasar dan mulai berteriak. “Kau tidak akan pernah mengerti apa yang kukatakan. Kau hanya mengerti jika aku memukulmu, bukan begitu? Kau tidak ingin kau menyakitimu lagi, bukan? Kau menginginkannya?”
Perutku melilit dan kedua mataku terasa perih.
“Berhenti membuat ulah! Kau yang membuatku melakukannya. Kau yang menginginkan itu. Katakan padaku kau yang menginginkannya!”
“Tidak.”
“Tutup mulut sialanmu! Aku tidak ingin melihatmu lagi.”
Ben berbalik sebelum aku sempat mencegahnya. Langkah kakinya cepat dan terburu-buru. Laki-laki itu menyentak pintu mobilnya dengan kasar dan menghilang di dalam sana. Kemudian suara gemuruh mesin mobilnya yang bergerak pergi menyadarkanku sekali lagi bahwa hidupku telah berakhir di sana.
..
- LAST WITNESS -