GRACE
--
Malam itu hening, tidak ada suara musik dari kamar di seberang seperti yang biasa kudengar, tidak ada suara melengking Neil Abbott yang muncul di mikrofon interkom setiap kali dia datang untuk mengetuk pintu apartemen Tess dan menawarkan jasa laundry. Pasangan Foster sedang duduk di dekat perapian dan saling berbicara. Jane Foster menggenggam sebuah gelas berisi wine di tangannya, ia duduk berhadap-hadapan dengan suaminya. Punggung kecilnya disandarkan di atas sofa kulit berwarna biru. Rambutnya dibiarkan tergerai dan ia mengenakan kemeja bergaris-garis hitam.
Aku mengintip melalui jendela rumahnya yang terbuka, menyaksikan wanita itu menyeringai ke arah petak-petak noda yang membekas di dinding rumahnya kemudian berbicara, sesekali bibirnya melengkung membentuk seringai lebar. Suaminya disisi lain menggenggam segelas wine yang sama, matanya menatap lurus ke arah Jane, ekspresinya tampak serius. Aku memperhatikan pria itu lebih sering mengernyitkan dahinya. Helai-helai rambut ikal berwarna wine menutupi sebagian dahinya. Pria itu hanya sedikit tersenyum, dia lebih banyak memperhatikan.
Aku membayangkan percakapan apa yang terjadi di antara pasangan Foster. Mungkinkah Mac Foster akhirnya menyadari perselingkuhan istrinya? Dia tampak seperti seseorang yang siap menerkam istrinya. Apa yang akan terjadi setelah ini? Tidak ada pertengkaran, tapi aku bisa mencium aroma ketegangan dari ekspresinya.
Mac Foster kemudian berdiri dengan menantang. Ia meletakkan gelasnya di atas meja dengan kasar hingga kupikir aku bisa mendengar suara dentingannya. Cairan keemasan anggur itu melompat dan jatuh di atas karpet hijau. Jane Foster ikut berdiri, kali ini ekspresinya menunjukkan keresahan. Ia tidak lagi tersenyum, terutama saat dua pasangan itu mulai beradu mulut dan berakhir dengan tamparan Mac yang cukup keras di wajah Jane.
Aku menyentak tubuhku menjauh dari kaca jendela, secara naluriah memejamkan kedua mataku dengan erat hingga dentingan gelas yang jatuh ke atas permukaan lantai kayu mengejutkanku. Aku menatap ke arah dapur tepat dimana suada itu berasal. Tammy baru saja muncul dan meninggalkan kekacauan di belakangnya. Gelas-gelas berjatuhan di atas lantai, sisa santapanku pagi ini berhamburan. Kucing itu berjalan dengan tidak bersalahnya sembari menggoyangkan ekornya seakan itu adalah hal terbaik yang bisa dilakukan. Aku baru saja berniat membereskan kekacauan yang terjadi sebelum suara bel berbunyi.
Wajah seorang pria asing muncul di depan layar interkom. Ia mengeluarkan serangkaian kunci dari sakunya sebelum aku menekan tombol buzzer dan pintu bergerak terbuka.
Aku sedang berdiri di lorong dengan waspada ketika pria itu memutar kenop pintu dan bergerak masuk. Di tangannya, sebuah tas hitam besar berayun. Di satu tangannya yang lain, ia masih memegang serangkaian kunci cadangan - milik Tess, pikirku.
Yang aneh, keberadaanku tidak mengejutkannya. Pria itu bergerak masuk dan berbicara seakan kami telah mengenal satu sama lain untuk waktu yang lama.
"Grace?" katanya. Ia bergerak mendekat sehingga aku bisa mencium bau asap rokok di tubuhnya. Laki-laki ini lebih tinggi dan duakali lebih besar dariku. Ia memiliki warna mata dan batang hidung melengkung yang sama seperti Tess, hanya saja rambut pirangnya lebih gelap. Tampilannya tidak begitu rapi, tapi juga tidak acak-acakan dan aku menebak usianya sekitar akhir dua puluhan hingga tiga puluh lima tahun.
"Kuharap Teressa sudah menjelaskannya. Aku Sean, dan untuk beberapa waktu ke depan, kita akan berbagi tempat yang sama."
Aku tidak suka mendengarnya mengatakan 'tempat yang sama' seolah itu cukup normal untuk di dengar. Tapi Sean tidak begitu mengacuhkannya. Ketika laki-laki itu berjalan melewatiku menuju dapur, aku bisa melihat sepasang bahunya yang lebar juga rambut kasar di rahangnya. Sean menghilang di balik lorong dan aku menemuinya tengah berkutat dengan mesin pemanas kopi di dapur.
"Apa ini berfungsi?"
Tess membeli alat itu pada pertengahan musim semi lalu dan dia tidak begitu sering menggunakannya. Aku juga lebih menyukai alkohol ketimbang kopi, jadi mesin itu telah terbengkalai untuk waktu yang lama.
"Ya, kurasa."
Sean menekan tombol power dan mendesis saat alat itu mengeluarkan alarm peringatan.
"Sial!" desisnya. Aku memperhatikan ketika Sean menunduk untuk mencari sakelar yang tersambung dengan kabel listriknya.
"Ha! Putus."
Sean menatapku. Otot-otot lengannya menegang.
"Mungkin dimakan tikus, tapi jangan khawatir. Ini bisa diperbaiki."
Aku mengangguk. "Di lemari pendingin ada air kalau kau mau.."
Dia mengernyitkan dahinya seolah aku baru saja mengatakan ucapan bodoh. "Tidak ada alkohol?"
"Lemari penyimpanan di belakangmu!" Aku menunjuk ke arah lemari kayu yang menggantung di dinding. Ketika Sean membukanya, tampak berjejer alkohol jenis Bourbon dan Jack Daniels. Sean mengambil satu kemudian melepas pengait dan meneguk minumannya langsung dari sana. Saat itu kuputuskan bahwa aku menyukainya.
Aku menunjukkan Sean kamar Tess di ujung lorong dan ruangan sempit kosong di lantai bawah, tepat di samping gudang. Yang mengejutkanku, laki-laki itu memilih ruang kosong di dekat gudang sebagai kamarnya. Karena sudah lama tidak ditempati - dan aku terlalu malas untuk membersihkannya, ada banyak debu yang bertebaran di dalam ruangan. Debu-debu itu menyelimuti kain putih polos yanh digunakan Tess untuk melapisi kursi kayu, nakas, juga lemari panjang kecil di sudut ruangan. Lampu kamarnya berkedip-kedip sehingga memberi kesan ruangan itu berhantu.
Plester dindingnya telah mengelupas, dan Tess mmeletakkan sebuah kasur lipat kecil di atas lemari. Udara tipis di ruangan itu membuatku sesak, tapi Sean tidak terganggu kecuali karena lampu yang berkedip-kedip di langit-langit.
"Well.. ini sudah lumayan."
Aku tidak memahami maksud kata 'lumayan' sepeti yang dikatakannya. Tempat itu terlalu sempit, terlalu berdebu dan terlalu kotor untuk dijadikan kamar pribadi, tapi Sean mengatakan di sini ia mendapatkan cukup privasi ketimbang kamar Tess yang terlalu besar dengan begitu banyak kaca. Aku hendak menawarkannya ruangan sempit yang kutemukan di loteng, di sana cukup dingin dan kaca jendelanya memperlihatkan gambaran langsung ke arah anak sungai. Mungkin Sean akan menganggapnya menarik.
"Lampunya perlu diganti," katanya sembari menatap ke arah langit-langit.
"Kau bisa menggunakan lampu di kamar Tess untuk sementara sampai aku membekinya di toko."
"Oke."
"Kamar mandinya hanya satu. Letaknya di dekat dapur."
Sean mengangguk-angguk sembari menjulurkan tangannya ke atas lemari. Laki-laki itu menurunkan kasur lipat dari atas sana dan aku langsung membantunya meletakkan kasur di sudut ruangan.
"Mesin pemanas ruangan tidak berfungsi dan terkadang pipa airnya rusak."
"Oke.."
"Hati-hati dengan gudangnya.."
"Ada apa? Apa tempat itu berhantu?" Dia mencoba bergurau tapi aku tidak tersenyum sedikitpun.
"Tangganya rusak dan lampunya mungkin akan putus."
"Dimana Tess menyimpan barang-barang lamanya?"
"Aku meletakkan semuanya di gudang."
"Apa kalian menyimpan perkakas?"
"Umm.. aku tidak yakin, mungkin Tess meletakkannya di rak.. aku akan mencarinya untukmu."
"Kau ingin keluar?"
"Ya, mungkin, sore ini. Kenapa?"
Sean melambaikan tangannya dan bergerak mendekatiku. "Aku perlu mencatat beberapa keperluan yang mungkin bisa kau beli di toko jika kau tidak keberatan. Aku perlu membereskan kekacauan ini."
"Tentu saja. Kau bisa mencatatnya."
Sean mengangguk kemudian meneruskan pekerjaannya untuk melepaskan kain yang digunakan untuk melapisi barang-barang di dalam ruangan itu. Ia sedang melipat kain berdebu itu ketika aku berbalik pergi. Namun sebelum aku mencapai tangga, Sean menghentikanku dengan pertanyaan.
"Bagaimana dengan mesin cuci di dapur? Kain ini perlu dicuci."
"Rusak," jawabku sembari memutar kenop pintu. "Kami biasa menggunakan jasa laundry. Petugasnya akan datang setiap rabu dan sabtu."
Laki-laki itu tidak menanggapinya, tapi aku bisa mendengarnya menggerutu di belakang sana.
..
- LAST WITNESS -