10. Disengagement

2043 Words
Terlalu banyak omong kosong di hidup Lamia, pada akhirnya tidak ada satu pun rencananya yang bisa berjalan. Niat balas dendam yang pada awalnya menggebu-gebu, membara seperti api unggun yang menggerogoti kayu kering, semua itu hilang dalam sekejap saja ketika dia melihat sosok bajingaan Rex itu secara langsung. Lamia tidak tahu apa maksud tersembunyi Rex datang ke rumahnya pagi-pagi, tapi dia tahu semua yang dikatakan lelaki itu adalah kebohongan. Entah sampai kapan lelaki ini akan terus berbohong di hadapannya, mungkin sampai kedoknya terbuka dengan sendirinya nanti. Setelah menawarkan tempat duduk, Lamia memberinya secangkir air hangat. Rex berdeham sedikit. "Maaf, membuatmu repot." Lalu matanya tidak bisa teralihkan dari cangkir kecil bergambar jerapah dan gajah makan rumput, dengan panorama alam warna-warni. "Ini cangkir untuk anak kecil? Apakah kau biasanya menjamu tamu dengan gelas ini?" Lamia menjawab acuh tak acuh, "Tidak, hanya kau." "Kenapa?" "Piring dan gelas di rumahku sangat sedikit, dan semuanya belum dicuci. Hanya tersisa satu ... dan itu milik Miki. Lihat saja sampai dia tahu ada yang memakai gelas kesayangannya." "Apa yang akan dia lakukan?" Rex menimang gelas itu dan tersenyum kecil. Dengan wajah serius, Lamia menjawab, "Dia akan marah." "Marah? Anak sekecil itu?" Lamia menatapnya seolah-olah meyakinkan Rex kalau omong kosong itu benar. Kemudian Rex ingat bagaimana kepribadian Lamia yang galak dan sensitif, lalu teringat dengan informasi yang diberikan oleh orang suruhannya yang memantau Mikhail dan mengatakan bahwa anak kecil itu penyendiri, juga tidak punya teman bermain di playground. "Bagaimana Miki biasa bermain?" tanya Rex penasaran. "Apa biasanya ada teman yang berkunjung ke rumah?" "Kenapa kau ingin tahu?" Lamia balik bertanya. "Aku hanya ..." Rex memutar otak, "... penasaran. Dia masih sangat kecil dan anak seusianya pasti pandai bergaul." Terlihat jelas bahwa Rex sedang mengorek banyak informasi. Di mata Lamia, pria ini benar-benar ular berbisa. Siapa yang akan memberitahunya soal anaknya? Lamia tidak sudi. "Jadi, kau mau minum atau tidak? Kalau tidak ..." Baru saja Lamia ingin merebut gelas bergambar milik Mikhail, Rex menarik tangannya dengan tinggi. "Tunggu dulu, jika kau mengambil gelas ini sekarang, dengan apa aku harus minum air?" "Mangkuk sup." Mangkuk. Sup. Shit! Kehidupan apa yang mereka berdua jalani sampai harus menyuguhkan tamu minum air dengan mangkuk sup? Rex tak tahan lagi dan dia penasaran. Dia mengambil obat pereda nyeri di kantungnya dan menenggak obat itu dengan cepat. Setiap gerakannya, Lamia tidak berkedip mengawasinya; melihat jakun tebal Rex naik turun ketika menelan air. Entah bagaimana Lamia segera melipat bibirnya ke dalam. "Kau sedang sakit?" tanya Lamia. Well, bukannya dia peduli atau apa. Hanya saja, dia berpikir mungkin Rex sedang berpura-pura lemah karena dia punya maksud jahat. Jadi polanya seperti ini; Rex akhirnya ingat pernah memperkosanya lima tahun lalu, kemudian dia mencari cara untuk meminta maaf dengan alasan jogging di sekitar rumah Lamia, agar tidak diusir dia akan pura-pura lemah dan sakit, pada akhirnya mengatakan bahwa usianya hanya tersisa dua bulan saja. Sungguh skenario yang mengesankan. Rex mungkin pantas menjadi penulis naskah drama. Apa pun itu Lamia tidak akan tertipu lagi. Dia berkata dalam hati, 'Silakan berusaha dengan baik, Rex Winston.' "Tidak masalah, hanya telat makan," jawab Rex akhirnya. "Oh." Rex bangkit untuk menaruh gelas Mikhail di wastafel, mencucinya kalau perlu, agar si kacang kecilnya tidak marah. Rex sebenarnya ingin melihat anak kecil itu marah, ingin tahu bagaimana wajahnya yang lugu itu memerah ketika meledak-ledak. Pasti akan sangat lucu. Ah, dia sangat ingin mengambil foto anak itu sebanyak-banyaknya. Saat tiba di dapur, angan-angan Rex akan wajah lucu Mikhail buyar ketika melihat cucian piring kotor berserakan di mana-mana. Bekas makanan yang mungkin sisa dari kemarin sedikit mengeluarkan bau tak sedap, lantai dapur juga berdebu dan licin. Apa-apaan ini? "Taruh saja gelas itu di meja," teriak Lamia dari arah depan. Rex buru-buru kembali dan menatap Lamia tak percaya, namun bingung harus memulai. Lamia, "Ada apa?" Rex, "Bagaimana bisa dapurmu sangat kotor? Kau punya anak kecil!" Tiba-tiba dimarahi oleh pemerkosanya, Lamia tertegun. "Oh, aku belum sempat karena aku sedang sibuk." Single mother itu saat ini sedang menyisir rambutnya di depan cermin kecil yang tergantung di dinding. 'Sibuk' inikah yang dia maksud? Rex bertanya tak sabar, "Kau tidak punya pembantu?" "Tidak." "Maaf, tapi bagaimana mungkin kau bisa hidup di tempat seperti ini?" Entah bagaimana Lamia menjadi marah. "Apa maksudmu? Kau tidak bisa menerapkan gaya hidup kaya rayamu di rumahku, aku hanya wanita miskin." "Bos besar sebuah usaha wedding organizer bagaimana bisa disebut miskin?" "Saat sepi job, tidak ada pemasukan." "Kau juga punya babysitter, membayarnya selama sebulan juga membutuhkan uang yang tidak sedikit." Rex bersikeras, nadanya tidak memaksa dan menuntut. Tetapi kali ini Lamia benar-benar bungkam. "Ngomong-ngomong di mana babysitter itu?" tanya Rex kemudian. "Dia bisa mencuci piringnya." "Aku libur, jadi dia tidak akan datang." Rex mengukur sedikit penampilan Lamia kali ini; wanita itu memakai pakaian yang oversized, rambutnya tidak terikat rapi, dan dia tidak memakai make up. Normalnya, wanita akan senang menunjukkan wajah merah merona pada orang lain, tapi Rex hanya melihat Lamia berdandan pada acara penting saja. Wajahnya yang polos tanpa bedak terlihat putih alami dan halus. Bagi Rex, semua wanita itu sama di matanya. Mereka adalah makhluk yang begitu mulia dan patut dihargai. Jadi, bagaimanapun penampilan mereka Rex tidak peduli. Tetapi Lamia adalah satu-satunya wanita paling cuek yang pernah ditemui Rex. Anna juga berkata bahwa Lamia sangat keras pada hidupnya, sehingga dia sangat ketat menerapkan gaya hidup berhemat. Melihat bagaimana rumahnya; itu sangat sederhana. Rumah itu hanya punya satu lantai, ada dua kamar terpakai, ruang keluarga dicampur dengan dapur dan ruang makan, ruang tamu mereka sangat sempit. Rex sangat keberatan mengingat anak kecil yang sedang tumbuh hidup di tempat seperti ini. "Kau sepertinya sedang sibuk?" tanya Rex. Saat melontarkan pertanyaan ini, dia melihat Lamia sedang memakai sepatu di kedua kakinya. "Sudah waktunya Miki untuk pulang," jawab Lamia tanpa menatap Rex. "Oh," Rex berdiri dan mengeluarkan kunci. "Biar aku antar." Gerakan Lamia terhenti dan dia melihat Rex seolah-olah lelaki itu alien. "Lihat dirimu sendiri, Mr. Winston. Wajahmu pucat seperti kertas. Apa kau berharap aku akan membopongmu di jalan ketika kau jatuh pingsan nanti?" Rex tidak bisa berkata-kata seolah-olah yang memarahinya adalah ibunya. Lamia kembali mengikat sepatu. "Tinggallah sebentar, aku akan membelikanmu bubur saat aku pulang nanti." "Kau akan membeli bubur di jalanan?" Membeli ... bubur ... di jalanan .... Sungguh! Apa yang terjadi pada hari tenang Lamia hari ini? Mengapa dia harus dihadapkan dengan lelaki hidung belang yang pernah memperkosanya dan dia bisa menawarkan lelaki itu tempat duduk di rumahnya? Belum setengah jam, Lamia tidak tahan dengan sikap higienis lelaki ini. Lamia menarik jaket pink pudar yang ada di gantungan baju dengan kasar. "Kedai bubur di dekat sini berdiri hampir 30 tahun lamanya. Jika mereka menjual racun, mereka akan bangkrut sejak dulu." Rex tidak menyangka semua yang dikatakannya selalu membuat Lamia marah. "Bukan begitu maksudku, aku hanya tidak bisa makan sesuatu yang sembarangan." "Terserah, jika kau ingin mati." Dengan marah, Lamia berjalan keluar rumah dengan sepatu mengentak lantai. Di sisi lain, Rex tidak akan membiarkan wanita mana pun pergi dalam keadaan marah, jadi dia segera menyusul. "Kau pasti salah paham dengan ucapanku, 'kan?" Rex berusaha menyusulnya. Lamia hanya berhenti di pinggir jalan untuk melihat ponsel dan memesan taksi. "Lamia, aku tidak bermaksud menyinggungmu." Tidak ada jawaban. Kemudian, Rex tetap berusaha untuk menjelaskannya lagi, tapi dia tahu itu sia-sia saja. Jadi, dia segera berputar arah untuk masuk ke dalam mobil, mengeluarkannya dari halaman dan mendekatkan mobilnya pada Lamia. "Naiklah," tawar Rex. Lamia tidak menatapnya sama sekali. "Aku sudah membuatmu terlambat untuk menjemput Miki, menunggu taksi akan membuatmu lebih terlambat, bukan?" Kalimat Rex memang masuk akal, tapi siapa yang membuat Lamia terlambat sejak awal? Bukankah itu Rex? Lamia, 'Memang, bajingaan ini, pura-pura tidak mengingatku, tapi mengejarku sampai tak tahu malu. Siapa yang percaya dia jogging memakai celana tidur?' Setelah pertimbangan yang rumit, Lamia akhirnya terpaksa masuk ke dalam mobil. Tidak mau menghadapkan wajahnya pada Rex sama sekali dan melihat pada jalanan yang tiba-tiba lebih menarik dari apa pun. "Di mana arahnya?" Lamia akhirnya sedikit lebih tenang. "Lurus saja menuju persimpangan." Perjalanan itu diisi dengan kekosongan, hanya udara mereka yang masih bergerak ke sana kemari. Rex sesekali melirik Lamia, sambil memikirkan betapa dia sangat kesal karena Mikhail harus tinggal di tempat seperti itu. Dia harus melakukan sesuatu. "Aku punya rumah di dekat sini," ungkap Rex. "Apakah aku harus terkagum-kagum?" Rex meringis dan menoleh. "Sungguh! Kenapa kau berlaku seperti ini padaku? Apa aku pernah berbuat jahat padamu? Apa aku berutang pada saat menyewa jasamu?" Setelah mendengar pertanyaan ini, Lamia tidak bisa berkata-kata. Apa? Apa masalahnya? Rex seharusnya sudah tahu jika alasan dia ke sini karena dia ingat kejadian di masa lalu. Lamia tidak mungkin mengatakan bahwa berkat kejadian itu, Lamia mengandung dan Mikhail adalah anaknya. Setelah semua ini, Lamia tidak bisa membiarkan Rex tahu bahwa mereka berdua adalah ayah dan anak. "Tidak apa-apa. Aku hanya sedikit merasa buruk. Tidak ada hubungannya denganmu." Lamia memainkan jarinya. "Apakah semua wanita selalu begitu?" "..." "——Jika mereka marah, mereka akan melampiaskan kemarahan mereka pada apa pun. Tidak peduli apa dan siapa." "Tidak juga." Rex akhirnya merasa bahwa suasananya kembali normal seperti biasa. "Tapi, kau sepertinya punya dendam terhadapku." Lamia, 'Dendam? Tentu saja ada, dasar berengsek.' Kata-kata itu hanya terucap dalam hati, Lamia mengatakan hal lain, "Dua puluh meter dari sini kita akan tiba di playground." "Baiklah." Dan begitu saja .... Keributan mereka berhenti seolah-olah tidak pernah terjadi sebelumnya. Kening Rex berkerut cukup dalam, merasa bahwa ini sangat lucu, Lamia benar-benar wanita yang menarik. "Ini hari kerja, mengapa kau tidak pergi bekerja?" Lamia berinisiatif mencairkan keheningan. Rex memutar setirnya 360 derajat sebelum beralasan, "Kerjaanku sudah ditangani sekretarisku." "——Dan lalu kau memutuskan untuk jogging dengan celana tidur?" Tawa yang ditahan Lamia akhirnya pecah, dan suara tawa itu terdengar renyah dan merdu di telinga Rex. "Apakah ada yang lucu?" Rex melihat celananya, begitu pun mobil telah berhenti. "Kau tenang saja, aku sudah mandi kok." "Ya, ya, aku percaya." Jejak tawa Lamia masih ada di bibirnya bahkan saat dia keluar. "Kau tunggulah sebentar, aku akan mengambil Miki." Untuk sesaat, pintu telah tertutup, debaman pintu itu membuat jantung Rex yang semula rendah menjadi cepat seperti dia baru saja berlari dengan kencang. Dia memegangi dadanya dan merasa aneh. Untuk mencegah pikiran yang ngawur, Rex keluar dari mobil menyusul Lamia. Udara di luar cukup dingin dan dia hanya memakai pakaian tipis. Dia bahkan tidak malu sama sekali dengan pakaian yang salah tempat ini. Jay pernah berkata, bahwa lelaki tampan, bahkan jika dia hanya memakai daun di tubuhnya, dia akan tetap menawan. Rex pikir dia juga begitu. Ketika mereka berdua tiba di gerbang playground, anak-anak yang tersisa hanya beberapa saja dan mereka sedang bermain pasir, bersama ibu-ibu mereka yang sedang bergosip. "Miki," panggil Lamia dengan semangat, berjongkok merentangkan tangan. Kepala kecil Mikhail terangkat dari pasir-pasir yang dimainkannya dengan sekop warna kuning. Mata birunya berbinar cerah seperti bintang, dia segera berdiri, sosoknya mungil dan imut sama tingginya dengan kursi ayunan. "Miki, sini peluk Mom." Mikhail tersenyum lebar dan berlari, merentangkan tangan juga, dan sebaliknya berteriak, "Daddy!!!" Rex, "..." Lamia, "..." Suster, "..." Ibu-ibu penggosip, "..." Pelukan tangan kecil itu akhirnya mendarat pada kaki Rex yang tak siap dan membuatnya sedikit terhuyung. Semua mata tertuju pada Rex dan dia segera mengendalikan situasi. "Hai, Peanut." Mikhail anak yang tidak banyak bicara, dia hanya mengencangkan pelukan itu sampai Rex menggendongnya. Tertawa saat Rex menggelitiki tubuhnya. "Ampun, Daddy." Mikhail tertawa geli. Tidak ada yang ingat bagaimana jantung Lamia yang seperti kaca pecah ketika pelukannya tidak bersambut. Dia tercengang. "Kau merindukan Daddy?" Rex menyapu pandangan penasaran ibu-ibu penggosip, menarik Lamia yang linglung untuk pergi. "Ayo, kita pulang sekarang." Anak kecil itu dengan polos melesakkan kepalanya di leher Rex dan tertawa bahagia, mengatakan rindu terus menerus dan ingin makan eskrim berdua. Lamia membeku. Tidak! Ini tidak bisa dibiarkan! Bagaimana ayah dan anak kandung ini bekerja sama ingin menyingkirkan Lamia, dan hidup bahagia berdua saja? Apakah Lamia akhirnya tidak akan dianggap lagi? Jika pada akhirnya Rex benar-benar tahu bahwa Mikhail adalah anaknya, apakah dia akan dipisahkan dengan Mikhail? Jadi, Lamia akan ditinggalkan oleh anaknya juga? "Lamia?" panggil Rex saat memasangkan seatbelt di tubuh Lamia. Wanita itu seperti baru saja kembali dari neraka, matanya sangat merah. "Rex, Miki adalah anakku! Dia anakku! Kau tidak bisa merebutnya dariku!" "... Apa?" "Setelah ini kumohon ..." Lamia mengatupkan kedua tangannya. "Jauhi Miki, dan jauhi kami berdua. Jangan pernah muncul di hadapan kami lagi! Kumohon, Rex." tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD