9. Lone Wolf

2039 Words
"Apakah kau pernah bertemu seorang wanita yang dingin dan galak, terkadang cerewet, juga bermulut tajam? Dia juga sensitif dan tidak pernah bisa melihat maksud lelaki dengan baik—seperti selalu memandangnya dengan buruk. Apa itu benar-benar karena trauma?" Saat mengatakan ini, mata Rex terfokus pada layar tablet kerjanya. Bukan untuk melihat grafik kenaikan saham, melainkan wajah seorang anak kecil yang sedang menggambar di kertas. Anak kecil itu memiliki rambut cokelat, tampak sibuk pada dunia yang dia buat sendiri, suatu ketika jepretan kamera berhasil mengabadikan matanya yang biru. ——Seperti mata kepunyaan Rex. Rex tidak memikirkan betapa banyak hal kebetulan di dunia ini, hanya saja dia tidak bisa mengabaikan Miki. Anak itu terlalu mirip dengannya, sehingga dia menyewa seorang informan untuk mendapatkan beberapa foto anak itu. "Apa kau sedang bertanya padaku?" Pihak lain yang ada di ruangan yang sama dengan Rex berhenti menulis laporan bulanan. "Oh, maaf. Sepertinya kupingku sedang bermasalah. Terlalu banyak laporan yang harus dikerjakan dan yeah—Bos Besar sedang sibuk bermain game di tablet kerjanya." "Sudah kubilang untuk meninggalkan itu, Jay." Rex menggerutu. "Dan aku tidak bermain game." Jay tidak percaya. "Kau memandangi tabletmu dengan penuh minat seperti cowok remaja yang kecanduan game! Eh? Jika itu bukan game, apakah itu film biru?" Rex menatap Jay yang tiba-tiba berbinar entah karena apa. Lelaki itu merebut tabletnya dalam sekejap. "Hell! Ini bayi! Kau tidak jadi pedofiliaa mendadak, 'kan? Apa yang harus kukatakan pada Rose?" Tablet itu dengan mudah direbut Rex lagi. "Jangan berbicara ngawur." "Serius, Rex! Jika ini bukan pedofiliaa, apa namanya?" "..." "Tunggu dulu." Seolah-olah ada kekuatan yang memengaruhi kepala Jay, dia yang awalnya duduk di meja dengan tak tahu diri, segera pindah ke belakang bahu Rex. "Biar kulihat lagi bayi itu," katanya, melirik layar. "Tidak mungkin! Rex, katakan ini tidak mungkin! Mata, hidung dan wajahnya sangat mirip denganmu! Apa dia anakmu?" Mata, hidung dan wajah ... sangat ... mirip .... Rex berdecak. "Sudah kukatakan jangan ngawur." "Ow, Rose yang malang." Jay merasakan nestapa sendirian. "Bahkan untuk wanita semontok dia, seorang lelaki masih segan untuk selingkuh. Dunia memang sudah gila." Kepala Rex menjadi pusing mendengar ocehan sekretaris pribadinya itu. Monitor tablet yang menyala segera dimatikan, benda itu ditaruh di laci paling dalam. Kemudian, meskipun Rex tidak menanggapi Jay Hadriel yang terus berbicara panjang lebar sembari dengan fasih menceramahinya, pikiran Rex mulai memikirkan hal yang sama. Anak itu, Miki, sangat mirip dengannya. Bahkan jika itu hanya kebetulan, hampir lima puluh persen kemiripan itu ada. Awalnya Rex tidak terlalu memikirkan itu, tapi sekarang dia tidak bisa diam saja. "... dan kau juga membicarakan wanita lain, bertanya apakah ad wanita sensitif dan galak! Kau benar-benar berniat mencampakkan Rose!" Rex, "..." Bahunya tiba-tiba diremat oleh kekuatan besar. "Rex, jujur padaku! Bayi itu mungkin berusia lima tahun—" "Empat," potong Rex. "Oh, ya, empat tahun—yang artinya dia lahir sebelum kau bertunangan dengan Rose. Apa selama itu kau menghamili wanita lain? Yang sensitif dan galak?" "Berbicara denganmu benar-benar membuat kepalaku semakin sakit." Rex menyingkirkan tangan Jay dan bangun dengan mudah. "Kau sudah minum obatmu?" tanya Jay. Mendengar ini, Rex hanya melambaikan tangannya dan keluar dari pintu dengan acuh tak acuh. Dia bahkan masih mendengar Jay berteriak mengingatkannya tentang pekerjaan yang lagi-lagi ditinggalkan olehnya begitu saja. Rex hanya berharap bahwa dia tuli sepenuh hati untuk mendengar sekretaris borjuisnya itu marah setelah ini. Sekaligus menulikan telinga dari kebisingan dunia. Setelah itu apa? Rex yang 'menganggur' hanya berjalan tidak tentu arah, sampai membawanya ke area merokok. Dia selalu punya cadangan rokok di kantung, tapi sudah lama sekali tidak menghisapnya dengan alasan kesehatan. Dulu, dia adalah pecandu rokok berat, yang bahkan bisa menghabiskan tiga bungkus dalam satu hari. Sekarang paru-parunya sudah rusak, bahkan jika dia hanya menghisap asap rokok di kejauhan, dia mungkin bisa sesak napas. Tetapi tempat ini satu-satunya tempat yang tenang, dia punya tempat pribadi yang dulu disediakan khusus untuknya. Beberapa saat kemudian, dia duduk di beranda yang menghadap langsung ke taman belakang kantor, mengambil ponsel dan menghubungi seseorang. "Annabeth, bisakah kita bicara?" Seseorang di ujung telepon memberikan pertanyaan balik, Rex segera menjawab, "Malam ini, di restoran kelabku." Setelah panggilan berakhir, mata Rex berkilat dingin. Pupilnya yang biru tampak suram dibandingkan kemegahan warna-warni bunga di taman. Dia meremat ponselnya dengan erat, sedikit merasa kacau. Rex tidak tahu kenapa dia merasa seperti ini. Pada akhirnya, malam hari berjalan begitu cepat seperti kereta uap yang meluncur di atas udara. Seperti biasa Rex tepat waktu menunggu di restoran kelabnya dan Anna telat hampir lima belas menit. "Maafkan aku, trafik macet." Anna duduk di seberang meja. "Tidak masalah." Untuk wanita yang sudah menikah, Rex tidak menyangka bahwa Anna benar-benar akan mengubah gaya berpakaiannya. Annabeth Federe adalah pelacurr yang terkenal di kalangan lelaki perlente yang mampir di kelabnya. Wanita itu biasa memakai pakaian minim yang menampilkan dadaa dan paha, sebaliknya saat ini dia memakai gaun merah tertutup yang sangat anggun dan menarik. Pelayan langsung datang membawakan sebotol wine mahal dan dua cawan tinggi, menuang dua gelas kosong itu seperempatnya. Sambil menunggu, Rex mengambil ponselnya dan membuka sebuah foto di sana, kemudian mendorong ponsel itu ke dekat Anna. Rex bahkan belum memberikan pertanyaan, tapi jantung Anna sudah berdegup cepat karena itu. "Ini ... Miki." Mata Anna bergetar. "Yeah, dia anak Lamia." "Lalu?" Rex menatap Anna sejenak sebelum berkata, "Apa menurutmu dia sangat mirip denganku?" Pertanyaan ini seperti menjebak, bukannya Anna juga ingin menutupi identitas Mikhail, tetapi mendengar berita tentang anak kandungmu dari orang lain, tidak akan begitu bagus. Anna tidak ingin mencuri start dengan lancang. "Sedikit," ujar Anna. "Kau tahu, ada banyak kebetulan di dunia ini. Bahkan aku juga pasti punya kembaran di luaran sana, kuharap aku bertemu dengannya suatu saat nanti. Menurut mitos, di dunia ini kita memang punya doppelganger. Kau pernah dengar itu?" Setelah Anna selesai dengan omong kosongnya, Rex tidak memberikan banyak reaksi. Dia seolah-olah berada di dalam pikirannya yang dalam dan jauh. "Kenapa kau tiba-tiba menanyakan ini? Ada yang mengganggu pikiranmu?" tanya Anna penasaran. Kemudian pikiran Rex kembali tersadar dan menjawab, "Tidak ada. Aku hanya sedikit penasaran dengan Lamia." "Jadi?" "Dia sangat pemarah dan sensitif, dia memandangku seperti aku adalah sesuatu yang menyakiti matanya." Anna tertawa renyah, mengambil wine dan menenggaknya. "Lamia hanya terlalu keras menjalani hidupnya, Rex." Rex tertegun. Meskipun itu adalah kalimat candaan biasa, Rex sepertinya tahu ada maksud tersembunyi darinya. Anna seolah-olah sedang tidak bercanda, dan itu kejujuran. "Di mana mantan suaminya?" Rex menatapnya. Gerakan tangan Anna berhenti untuk sesaat, dia balik memandang lurus ke dalam mata Rex untuk mencari klarifikasi. Entah apakah Rex bohong atau tidak, berpura-pura atau tidak—Anna tidak bisa menebak. Dia segera mengalihkan matanya. "Kenapa kau tidak bertanya langsung padanya? Dia pasti akan memberikanmu jawaban yang bagus." "Apa maksudmu?" Tetapi, Anna tidak menjawab apa pun. Keheningan mereka diisi dengan alunan musik lembut dari pemusik di panggung yang bermandikan cahaya berwarna-warni. Musik ini tidak cocok dengan suasana hati Rex yang terombang-ambing. Mengapa dia terombang-ambing? Rex sendiri tidak tahu jawabannya. "Kau benar, tidak baik membicarakan orang lain di belakangnya seperti ini," katanya kemudian. Shit! Benar-benar omong kosong! Anna telah mengenal Rex cukup lama. Sifat pria ini sangat baik dan santun. Terkadang sebagian orang sering salah paham dengannya hanya karena dia terlihat angkuh dan sombong, padahal Rex adalah tipe lelaki yang sangat menghargai setiap kebaikan. Memang, ketika dia mengetahui lelaki ini mencampakkan sahabatnya, yang dilihat Anna dari Rex hanya hitam. Tetapi setelah dipikir-pikir, tidak semua yang tampak di luar itu benar. Rex mungkin benar-benar tidak punya maksud buruk. Hanya saja dia melihat Rex kali ini seperti serigala yang kesepian dan merasa tidak tega bermain teka-teki lagi. "Kau tidak ingat dengan Lamia?" tanya Anna pada intinya. "Kenapa kau memberi pertanyaan ini?" "Karena ... Mia sepertinya kesal padamu karena alasan ini." "Jadi, kau berkata kami berdua pernah bertemu sebelumnya?" Rex memijat tulang hidungnya. "Aku tidak begitu ingat. Sungguh." "Sudah lama, wajar saja jika kau lupa." Anna menuang wine di gelas kosong Rex, dan memintanya bersulang. "Mungkin sekitar lima tahun yang lalu." "..." "Di kelab ini." "Apa mungkin aku menyakitinya dengan ini? Dia berkata bahwa dia trauma dengan lelaki." Di dalam hatinya Anna tertawa kering. Trauma itu mungkin saja, tapi dibandingkan dengan cerita padanya, Lamia malah bercerita pada lelaki yang menyakitinya. Anna bukan paranormal yang bisa menebak setiap perasaan orang, hanya saja dia tahu bahwa Lamia merasa bahwa Anna akan mengerti. Anna bukannya tidak mengerti, dia hanya ingin Lamia tidak terlalu lama terjebak dengan semua ini. "Rex, serius? Kau benar-benar tidak ingat dengan Lamia?" Kepala Rex menggeleng ragu-ragu. "Apa yang terjadi denganmu? Apa kau punya kembaran?" "Apa?" "Kembaran?" ulang Anna. "Maksudku, mungkin saja sebenarnya Lamia tidak bertemu denganmu, tapi dengan kembaranmu dan menyebabkan kesalahpahaman ini." Omong kosong macam apa ini? Untuk menghargainya, Rex menjawab, "Aku hanya punya satu kakak perempuan. Dia tidak mungkin menyamar menjadi aku dan menggoda Lamia, 'kan?" "Ew, itu bahkan lebih mengerikan." Anna membuka menu makanan yang ada di meja. "Aku ingin dessert." "Ah, kau bisa pesan apa pun, tidak perlu bayar." Anna dengan tak tahu malu mengedipkan mata. "Aku tahu kau akan melakukannya." Anna dengan senang hati memesan. Dessert ringan datang dengan bantuan pelayan setengah jam kemudian. Untuk malam yang dingin, sajian yang lembut sangat pas untuk memanjakan lidah seorang wanita. Melihat cara makan wanita itu, Rex tersenyum lembut. "Lamia tidak terlalu suka cake." Rex tiba-tiba berkata. Wajah Anna menjadi kecut. "Dia hanya tidak suka buang-buang uang." "Apa maksudmu?" "Sudah kukatakan bahwa Lamia sangat keras dengan hidupnya. Dia tidak bisa menikmati hidupnya sendiri dan hidup berhemat. Alasannya hanya selalu tentang Miki, padahal anak kecil tidak membutuhkan biaya sebanyak itu untuk hidup." "Kau tidak punya anak, jadi kau tidak tahu apa yang dipikirkannya." "Apakah kau punya anak?" "Tidak." Rex menjawab tenang. "Tapi, aku sangat menghargai wanita seperti Lamia, yang bekerja keras seperti tidak kenal waktu. Dia sangat hebat. Sulit untuk menemukan wanita seperti itu." "Kau menyukainya?" "... Apa?" Anna kembali menenggak minumannya. "Kau mungkin benar, Rex. Dia trauma. Mungkin trauma ini sudah ada sejak lima tahun lalu. Percuma saja jika kau naksir padanya." Rex tidak mengelak atau mengiyakan gagasan itu, tapi tangannya menggoyang-goyangkan cawan kacanya dengan gerakan lembut. Lima tahun yang lalu adalah saat di mana dia merasakan hal yang tidak menyenangkan dan membawanya terbang ke Jerman saat itu juga. Memang tidak banyak yang dia ingat, tapi apakah benar bahwa Lamia pernah dia kenal? Apakah Lamia juga merasakan hal yang tidak menyenangkan lima tahun yang lalu? Setelah terlalu keras memikirkan hal ini, Rex pada akhirnya tidak bisa tidur karena otaknya menjadi penuh. Dia menelan obat tidur dua pil setiap tiga jam. Pagi ini, tidak hanya kepalanya yang sakit, bahkan perut dan dadanya juga. Dengan tak tahu diri, Rex meninggalkan pekerjaannya pada sekretarisnya lagi. Dan menerima ocehan lagi. Seumur hidupnya, ini adalah pertama kali Rex lalai untuk bekerja dan meninggalkan banyak keluhan di hatinya. Tanpa sadar dia membawa mobilnya keluar dari garasi—bukan untuk pergi ke kantor atau pun kelabnya. Melainkan bertandang ke rumah janda satu anak yang saat ini pintunya terbuka lebar dan pemiliknya ada di depan sana. Rex keluar dari mobil, menunjukkan penampilannya yang apa adanya untuk pertama kalinya di depan seorang wanita. "Rex?" Lamia tampak terkejut melihatnya. "Aku baru selesai jogging di sekitar sini dan kebetulan melewati rumahmu." Rex beralasan. Lamia tidak tahu harus tertawa atau menangis. "Jogging? Jam sepuluh pagi?" "Sebenarnya jam enam, tapi kemudian aku berputar-putar lebih lama." "Dengan pakaian seperti itu?" Pakaian yang dipakai Rex adalah kemeja dengan pasangan celana tidur sutra yang lembut. "Yeah, ada yang salah?" Rex menatapnya. "Tidak ada yang salah, hanya merasa otakmu sedikit tidak benar." Lamia diam-diam menutup mulutnya untuk tertawa. "Apakah kau menertawaiku?" Lamia berkelit. "Mana mungkin aku menertawakan orang yang jogging jam sepuluh pagi dengan pakaian yang aneh? Apalagi orang itu adalah lelaki kaya raya pemilik bar terkenal. Aku bisa dikutuk. Baiklah, sekarang kau sudah lewat, jadi silakan pergi." Lamia bahkan belum melangkah, tapi lengannya sudah digenggam oleh tangan besar yang hangat dan kuat. Untuk sesaat Lamia bingung, kemudian menarik lengannya seolah-olah baru saja menyentuh bara api. "Apa yang kau lakukan?" Rex hampir lupa kalau Lamia trauma, jadi mungkin dia juga tidak menerima banyak sentuhan fisik. "Maafkan aku. Aku hanya ...." Rex diam sejenak, merasakan perutnya sedikit tidak nyaman. Wajahnya berubah pucat dalam sekejap. "Bisakah aku minta air minum?" Lamia, "..." Rex, "Dan mungkin aku akan merepotkanmu untuk beberapa hal juga." Lamia tidak mengerti mengapa pagi hari yang cerah ini dia sudah begitu sial. tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD