Prolog
"Sudah sampai."
Suara serak dan tipis seorang sopir memenuhi mobil. Rem berdecit rendah ketika kendaraan itu berhenti tiba-tiba.
Tersentak kaget, Lamia Ainsley duduk tegak. Dia mencoba untuk memusatkan perhatian pada sekelilingnya. Barulah teringat pada tempat tujuan yang kini sudah di depan mata.
Pintu mobil berbunyi saat Lamia menarik tuas kunci. Sebelumnya dia memberi beberapa lembar uang tunai sesuai argo taksi dan bergegas keluar. Kini dia telah tiba pada bangunan kokoh yang lebih pantas disebut istana daripada sebuah rumah. Dari luar hanya nampak pagar tinggi berwarna putih yang terawat dengan baik. Mengintip sedikit melalui celah, dia bisa melihat sebuah pos penjaga di dekat gerbang.
Saat itu, langit tidak cerah sama sekali, cenderung lebih kelabu dan angin lebih kencang. Langit ini sama seperti situasi yang terjadi hampir dua bulan lalu; galau, frustasi, mabuk, s*x dan kegilaan.
Lamia menyebut dirinya anjing gila waktu itu.
Dan anjing gila ini sekarang mencoba mencari tanggung jawab yang seharusnya dia dapatkan dari hal konyol malam itu. One night stand dan kencan mabuk yang hilang akal. Siapa sangka pertemuan singkatnya, yang meskipun dia tak ingat jelas, akan membawanya pada titik buruk hidupnya?
Sekarang dia coba mengelus perutnya. Walaupun tidak membuncit akan tetapi ada makhluk hidup yang menempel di rahimnya. Yea, sebut saja bayi. Bayi laknat. Atau jangan salahkan bayi, kalau orang t***l sejatinya memang melampiaskan kekesalan lewat seks bebas. Si t***l ini punya malu, punya keluarga yang akan mengusir—atau mengulitinya hidup-hidup. Maka sebelum itu, dia harus punya pria yang akan bertanggung jawab.
"Aku bajingaan—kalau begitu kau juga."
Sebuah kartu putih bercetak nama lengkap di atasnya diremat sekuat tenaga. Beberapa bagian telah kusut dia bentangkan kembali. Perasaannya memburuk.
"Rex Winston," gumamnya, dia tersenyum kering nan pedih.
Pagi hari terbangun di tempat asing yang bau cinta, tidak selalu akan menyenangkan. Apalagi saat kau menemukan kartu nama dengan kalimat godaan di baliknya, seperti; 'Kau hebat di ranjang. Kita bisa main lagi kapan-kapan. Ini nomorku.', yang awalnya tidak begitu dia pedulikan. Akan tetapi bulan berikutnya saat melakukan tes, mendengar kata hamil saat itu kepalanya hampir berbuih.
Tidak butuh waktu lama menemukan kartu itu. Ada di tasnya; terselip rapi—untung tidak terbuang. Pula tidak butuh waktu seminggu untuk Lamia menemukan di mana pria itu bekerja; dia owner sebuah kelab bernama Bar Malochre. Tempat itu adalah kelab di mana dia mampir diajak sahabatnya, Anna. Kelab mewah yang memiliki fasilitas VIP untuk anggota; bonus tempat tidur. Juga tempat di mana Lamia kehilangan akal.
"Berengsek kau, Anna!"
Anna adalah sahabatnya. Wanita itu gampangan dan sering menggoda lelaki. Lamia tahu fakta itu, tapi tak masalah berteman dengannya. Namun, dia tak pernah menyangka akan terseret dalam dunia gemerlap wanita berdada melon yang bertubuh sintal itu. Ya, dia cantik. Playgirl juga. Fakta lain; dia sudah tiga kali aborsi, tapi dengan keras kepala Lamia tidak ingin aborsi juga. Hell no!
Kalau dipikir-pikir, ini bukan sepenuhnya salah Anna.
Lamia putus cinta waktu itu, dan marah, dan ingin s*x supaya mantannya tahu kalau dia hebat dalam bercinta. Keadaannya yang salah. Juga pria yang dianggap mantannya ternyata ada Rex Winston.
Siapa?
Lamia sama sekali tidak mengenalnya. Wajahnya pun samar-samar. Oh—ada janggut tipis tajam di dagunya. Lamia merasa geli dan gembira saat kulitnya menyentuh rambut-rambut tipis itu. Dia bisa turn on. Mungkin ini fetish barunya? Janggut tipis tajam. Menggelikan.
Lamia menarik tali tas lebih tinggi di bahunya. "Kau harus bertanggung jawab, Tuan Winston," katanya. "Aku akan menjemputmu ke pelaminan."
Mungkin akan semudah itu.
Namun sebelum Lamia sempat masuk gerbang, pagar besi itu dibuka lebar oleh penjaga. Dia dengan segera melipir ke kiri tembok supaya tak terlihat. Dari sini dia melihat seorang pria berkemeja, tubuhnya yang tinggi tegap dengan bahu kokoh berdiri di dekat pintu mobil. Pria itu berbicara pada seorang wanita muda sambil melinting lengan baju. Wajahnya nampak keras tapi dia begitu tampan seperti lukisan emas yang terpajang di pameran.
Tak berselang lama, pria itu masuk ke mobil. Lamia gelagapan hampir mengejar masuk sambil mengingat-ingat apakah pria itu memiliki janggut tipis di dagu. Akan tetapi dia segera merasa cemas jika janggut itu ternyata sudah dicukur.
"Miss, kau menghalangi jalan."
Kaki Lamia berhenti, juga seluruh tubuhnya, tanpa sadar dia sudah berada di tengah gerbang masuk. Mobil yang dimasuki pria itu berjalan keluar dengan suara mesin yang rendah.
"Oh. Hei, apakah dia Rex Winston?" tanya Lamia cepat-cepat.
"Apa?" Penjaga yang menegurnya mendekat, menariknya minggir. "Kau menyingkirlah."
Lamia mengempas tangannya. "Pria itu ... dia Rex Winston?"
"Kau benar, Miss. Sekarang menyingkirlah, Mr. Rex bisa marah."
Mata Lamia segera membara, dia kembali ke tengah dan merentangkan tangan tepat saat mobil itu hampir melintasinya.
"Hei! Apa yang kau lakukan? Kau gila!"
"Rex! Rex Winston! Keluar kau!" seru Lamia keras kepala, tapi dia ditarik kuat. "Jangan kasar padaku! Ini kekerasan! Kalau terjadi apa-apa denganku, aku akan membawamu ke kantor polisi."
Penjaga itu melepaskannya dengan wajah cemas.
Di saat yang sama mobil berjalan perlahan, namun tidak langsung bergegas pergi. Kacanya terbuka saat berada di samping tubuh Lamia. Kepala seorang wanita menyembul keluar. Wanita itu rupanya sangat cantik tapi punya tatapan yang terkesan menyombongkan diri.
"Siapa wanita ini?" katanya.
"Aku ingin bicara dengan Rex Winston."
Wanita itu mengernyitkan dahi. "Rex, kau kenal?"
Dari balik bahu wanita itu, Lamia bisa melihat tatapan yang tertuju langsung padanya. Di dalam mobil cahaya sepertinya tidak masuk, jadi yang terlihat begitu samar-samar seperti bayangan. Namun, Lamia bisa merasakan bahwa atensi pria itu benar-benar tertambat padanya, menunggu perkataannya.
"Kenapa kau tidak turun dan kita bicara?" kata Lamia dengan nada keras.
"Bicara?" Wanita di depannya yang menjawab. "Kita sudah terlambat untuk ke bandara."
"Bandara?" Lamia linglung.
"Rex!" Wanita itu merajuk.
Pria itu, Rex, menunjukkan reaksi dingin. Lengannya tidak bergerak meski diayun manja oleh wanita genit itu. Walaupun begitu, sang wanita merasa sok berkuasa dan menang melihat wajah Lamia yang geram. Dia terang-terangan menebar aura benci.
"Aku tidak kenal."
Kalimat itu membuat kepala Lamia memanas, dia memutar ke samping tepat di mana Rex berada, menggedor kaca. "Keluar kau, sialan! Aku ingin bicara padamu."
Kaca dibuka, pria yang dianggap Lamia sebagai ayah bayinya melongokkan kepala. Tatapannya begitu dingin, alisnya tebal, matanya lebar, hidungnya mancung. Dilihat dari dekat dia sangat tampan, tapi juga sangat muram.
Lamia tanpa sadar memandangnya. Dalam sekejap, dia terpukau pada mata indah yang kasar itu. Pria itu sangat tampan, tapi terkesan agak pemarah. Anehnya, dia hanya melihat Lamia tanpa berbicara apa pun. Tidak ada ekspresi di wajahnya, seolah-olah hanya tatapan mengusir secara non-verbal.
"Rex!"
"Aku tidak mengenalmu."
Tidak ada janggut tipis. Di benak Lamia segera terbayang wajah samar-samar yang memerangkapnya malam itu, tapi tak ada kontur wajah yang bisa dia ingat.
"Jangan pakai alasan konyol untuk menghindar! Kau telah menghamiliku, kau harus bertanggung jawab."
Wanita yang bergelayut manja itu geram. "Apa? Tidak mungkin Rex mau dengan jalang. Dia tunanganku!"
Sebelum Lamia menjawab, Rex memijat dahinya sambil berbicara pada sopir untuk jalan. Tanpa mendengarkan teriakan Lamia, bahkan saat dia berusaha berlari, pria itu hanya menanggapinya dengan dingin. Tanpa sadar Lamia telah menggigil. Merasa bodoh dan dipermainkan. Kalau dia saja tak ingat bagaimana wajah pria yang tidur dengannya sebulan lalu, bagaimana dengan pria itu juga. Apakah dia salah orang? Atau pria itu juga mabuk dan tak ingat pernah tidur dengannya.
"Yang benar saja!" Lamia tertawa kering. Dia menatap penjaga. "Ke mana dia akan pergi?"
Penjaga itu agak bingung dengan situasi di sekelilingnya dan pertanyaan Lamia yang tiba-tiba.
"Hei, aku bertanya padamu!"
"Mr. Rex akan ke luar negeri," katanya dengan suara cemas.
"Apa yang dia lakukan? Perjalanan bisnis?"
"Kenapa kau tidak menghubunginya langsung, kau teman atau kliennya, 'kan?"
Lamia teringat sesuatu dan meraih kertas kusut yang berisi nomor telepon tepat di bawah nama Rex Winston.
"Seharusnya aku sudah menduganya, semua lelaki di dunia ini memang sama-sama busuk!" Lamia menendang gerbang sampai berbunyi nyaring. "Sial, sial, sial!"
Kertas kusut itu segera dia jejalkan pada dompetnya, di bagian terdalam, berharap tidak hilang. Menghubunginya? Tentu saja Lamia akan melakukan itu. Dia sudah menyiapkan cara ekstrem jika Rex tidak mau bertanggung jawab. Untuk itu dia harus membuktikan kalau anak ini benar-benar darah daging Rex. Dan dia harus bertanggung jawab.
Lamia akan mengejarnya sampai ujung dunia sekalipun.
Sampai mati pun.
Jingga muncul di sudut horizon dan bayang-bayang awan mendung perlahan hilang dan meninggalkan jejak bergaris. Semakin dilihat, Lamia merasa pusing dan berkunang-kunang. Tiba-tiba, dia berhenti dan berkedip, setitik air jatuh dari matanya. Hatinya juga perih. Jalanan sepi dan dia dengan segera berjongkok di trotoar. Dia menurunkan tasnya sambil menggosok bahu, memeluk dirinya sendiri. Lama kelamaan dia menangis.
[]