Bab 9. Nasib Panti

1023 Words
Arsa melakukan pagutan itu cukup lama sebab sang sekertaris diam tak menolak. Akhirnya lelaki itu melepaskan setelah terasa ada cengkeraman di bahunya. Wajah Sabrina tampak merona. Malu dan juga marah, bercampur jadi satu. Tangannya terulur memegang bibir yang terasa tebal akibat ulah sang direktur. "Aku tidak akan meminta maaf padamu, Sabrina. Ini adalah salah satu usahaku agar kau mau menerimaku," ucap Arsa, dengan tatapan mata yang masih sanggup membius gadis di depannya. Selama beberapa saat, hanya keheningan yang melanda keduanya. Tak ada yang berbicara dan hanya saling terdiam, membisu. "A—apa Bapak masih ada perlu yang lain? Kalau tidak, sa—saya permisi." Sabrina berusaha menghindar dengan mengalihkan ke hal yang lain. Gadis itu terlampau malu. Entah mengapa sentuhan bibir itu membuatnya bahagia. Meski ia harus merutuki kebodohannya sebab seolah mengkhianati sang sahabat —Lara. Namun, ia juga marah. Marah sebab tanpa ijin, lelaki itu seenaknya bisa mencium bibirnya. Arsa tersenyum tipis. Lelaki itu tahu jika gadis di depannya, menyukai apa yang sudah ia perbuat. "Ehm, tidak ada. Aku rasa sudah cukup dengan pagi ini." Sabrina tidak mengerti dengan kalimat yang terucap oleh Arsa. Sedikit mengernyitkan kening, Sabrina menatap wajah lelaki tampan yang sudah merenggut ciuman pertamanya. "Aku harap kamu menyukai bunga yang ada di mejamu!" ujar Arsa, yang membuat gadis itu terperangah. Ternyata, atasannya lah yang sudah memberi buket bunga untuknya. AA, alias Arsa Abimanyu. "Eh, terima kasih, Pak. Saya suka." "Baguslah. Kalau begitu kamu bisa pergi kembali bekerja." "Baik, Pak." Sabrina pamit pergi keluar ruangan, dengan debaran hati yang masih belum berhenti. "Sial! Kenapa begini?" gerutu gadis itu. *** Sedangkan di ruangan tamu sebuah panti, tempat anak-anak yang tidak memiliki keluarga —dari yang ditinggal meninggal sampai yang ditaruh di depan pintu panti— tengah terjadi aura ketegangan antara seorang wanita paruh baya dengan dua orang lelaki, yang mengaku sebagai pengacara dari sebuah perusahaan yang mengklaim tanah tempat panti itu berdiri adalah milik mereka. "Satu minggu waktu yang klien kami berikan kepada Anda agar segera mengosongkan tempat ini." Salah satu orang dari mereka bicara, dengan gaya yang sedikit angkuh. "Ya Allah, bagaimana bisa, Pak. Ini terlalu mendadak. Lagipula keputusan pengadilan 'kan belum keluar, bagaimana bisa Anda mengusir kami begitu saja?" ucap Ibu panti, terdengar memohon. "Lusa keputusan pengadilan keluar, Bu. Tentu saja kami yakin bahwa pihak kamilah yang memenangkan gugatan ini. Maka dari itu, kami memberitahu Anda sejak hari ini sehingga pada saat keputusan keluar, Anda dan yang lainnya sudah siap." "Tapi, Pak. Waktu seminggu tidak cukup bagi kami untuk mencari tempat yang baru. Selain itu, kami harus pergi ke mana? Sedangkan pihak kalian tidak memberikan kompensasi sama sekali." "Makanya Ibu bisa menunggu lusa nanti, berharap saja ada keringanan yang didapat dari keputusan pengadilan kepada kalian meskipun kami tidak yakin," kekeh kedua orang itu, tampak sekali tidak memiliki empati rasa. Wanita itu tertunduk. Harapan satu-satunya memang hanya menunggu keputusan pengadilan. Berharap sebuah keajaiban dari Tuhan terjadi, di mana surat kepemilikan yang pihak panti miliki adalah sertifikat yang sah dan berbadan hukum. Sehingga tak ada lagi acara pengusiran bagi semua anak-anak dan orang-orang yang hidup di panti. "Baiklah, Ibu. Kedatangan kami hanya ingin menyampaikan itu saja. Silakan untuk memikirkan apa yang harus dilakukan selama satu minggu ke depan." Sungguh dua orang yang merasa pintar dengan profesi yang disandang, tetapi rasa empati tak mereka miliki. Kebanggan dari satu setel pakaian jas dengan dasi, hanya mencerminkan sebuah jabatan dan materi, tetapi tidak dengan hati. Kedua orang lelaki itu pun pergi, meninggalkan ibu panti yang masih terduduk dengan raut wajah yang sulit dibaca. Hanya beberapa perawat yang melihat, begitu yakin jika wanita itu sedang bingung menghadapi masalah yang cukup berat. Di tengah rasa frustasinya sebab bingung mencari solusi atas masalah yang menimpa kehidupan anak-anak panti, wanita itu terkejut sebab bunyi panggilan di ponsel miliknya. "Assalamu'alaikum! Ya, Sabrina?" [Wa'alaikumsalam! Ibu, bagaimana kabar tentang tanah panti yang hendak diambil alih oleh perusahaan itu?] "Sabrina, kami hanya diberi waktu satu minggu saja untuk segera mengosongkan tempat ini." [Bukankah keputusan pengadilan baru lusa, Bu? Kenapa kalian sudah diusir dari sekarang?] "Iya, memang keputusan baru dua hari lagi, itu pun para pengacara hanya menyampaikan saja supaya kami bersiap. Pihak mereka sudah sangat yakin jika merakalah yang akan menang. Sertifikat kepemilikan, milik merekalah yang sah. Sedangkan yang kami pegang adalah palsu." [Ya Allah, semoga saja masih ada harapan bagi kita, Bu.] "Aamiin. Minta do'anya Sabrina. Semoga masih ada harapan bagi kita walau hanya setitik saja." [Insya Allah, Sabrina akan berdo'a untuk kalian semua.] "Terima kasih, Nak. Ngomong-ngomong apa kamu sedang bekerja?" [E—eh iya, Bu.] Terdengar kekehan di telinga ibu panti dari arah seberang telepon. "Ya sudah, kamu kembalilah bekerja, Sabrina. Nanti akan Ibu kabari lagi mengenai kabar panti." [Baik, Ibu. Kalau begitu aku tutup dulu teleponnya. Assalamu'alaikum.] "Wa'alaikumsalam." Wanita itu kembali terdiam. Tak tahu apa yang mesti ia perbuat di tengah waktu yang mepet. Sudah segala usaha ia lakukan demi mendapatkan hak-nya, tetapi keberuntungan masih belum berpihak kepadanya. Jalan satu-satunya hanya meminta tolong pada para donatur, berharap ada solusi yang bisa diberikan. Dengan segenap asa yang kembali tumbuh, wanita itu beranjak dari duduknya dan pergi menuju ruangan yang biasa ia pakai sebagai kantor. Selain tetap berdo'a kepada Tuhan —tentu saja yang paling utama— ia berusaha mencari solusi yang lain. Tak ingin mengulur waktu demi rasa kemanusiaannya terhadap anak-anak yang Tuhan takdirkan untuk ia rawat dan jaga. Ibu panti mencoba menghubungi satu per satu para donatur yang rutin membantu keuangan panti setiap bulannya. Pada akhirnya, ada yang membantu dengan menawarkan sejumlah uang, ada juga yang menawarkan tempat untuk dipakai sementara nantinya. Tentu saja wanita paruh baya itu bersyukur karena masih banyak orang yang masih peduli terhadap anak-anak yang kurang beruntung, yang ia rawat selama ini. Meskipun dari sebagian donatur yang ia hubungi, belum bisa menutupi kebutuhan mereka kelak. Selain dana yang dibutuhkan banyak sedangkan tempat yang ditawarkan —solusi terbaik saat itu— jauh dari tempat mereka saat ini. Masih ada beberapa donatur yang belum memberikan respon, ada kemungkinan mereka masih sibuk bekerja sehingga tidak sempat membalas pesan yang ia kirim ataupun mengangkat panggilan darinya. "Nanti aku akan hubungi mereka kembali." Ibu panti bicara kepda dirinya sendiri. Meningalkan ruangannya bekerja dan kembali menemui anak-anak siang itu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD