Pagi hari, Sabrina dikejutkan dengan sebuah buket mawar yang ada di atas mejanya. Terlihat cantik dengan warna merah maroon mendominasi. Entah siapa yang menaruh bunga itu di mejanya, tak ada yang tahu. Sebab tak ada karyawan lain yang ada di lantai itu selain dirinya.
Sabrina memeriksa buket bagian dalam, berharap ada kartu yang ditinggalkan di sana. Ketemu. Ada satu buah kartu berukuran kecil dengan pesan singkat di dalamnya.
"Semoga harimu seindah bunga mawar ini!" 'AA'
Bersama dua buah huruf kapital menyertai di ujung pesan tersebut.
"Apakah ini bunga kiriman Pak Arsa? Ah, mana mungkin." Sabrina bergumam sendiri.
Sampai sebuah suara mengejutkannya.
"Bunga dari siapa, Mbak, cantik banget!" seru Andi si petugas cleaning service, mengagetkan Sabrina dari lamunannya.
"Eh, Mas Andi, ngagetin aja."
"Hehe, maaf, Mbak. Bunga dari pacar yah?" seru Andi ingin tahu.
"E-eh, bukan. Enggak tahu ini dari siapa. Mas Andi lihat enggak siapa yang naruh bunga ini di sini? 'Kan Mas Andi dari pagi udah bersihin ruangan Pak Arsa dan meja saya."
"Tahu sih siapa yang naro di sini, tapi saya enggak tahu siapa, Mbak. Maksudnya enggak kenal gitu, belum sempet kenalan soalnya. Kayanya kurir dari toko floris, Mbak."
"Ehm, kayanya sih gitu yah."
"Emang enggak ada tulisan atau apa gitu di situ?"
"Ada sih, tapi enggak jelas. Ya udah lah, biarin aja. Lumayan ada yang bikin suasana hati yang lagi pusing jadi ikut berbunga kaya buketnya."
"Bisa aja, Mbak Sabrina. Emang lagi ada masalah yah, Mbak?"
"Bukan masalah aku sih, Mas. Tapi ya, jadi ikut terlibat aja."
Sabrina memang cukup dekat dengan karyawan cleaning service itu. Posisi tempat ia bekerja yang memang jarang ada orang yang datang, membuat gadis itu hanya sering bertemu dengan Andi. Dua kali dalam sehari, pagi dan sore hari, Sabrina pasti bertemu dengan lelaki tamatan SMA itu.
Oh yah, satu lagi sosok yang acap kali berjumpa dengan Sabrina, yaitu Rangga, seorang manajer keuangan yang sering datang ke ruangan Arsa, yang otomatis akan melewati meja Sabrina.
Dengan Rangga juga Sabrina cukup dekat, bahkan kedekatan Sabrina dengan Rangga kadang disalahartikan oleh para karyawan lain yang melihatnya.
Sabrina memang tidak memiliki banyak teman di kantor, sifatnya yang tidak suka dengan keramaian membuat ia tidak dekat dengan karyawan perempuan yang kebanyakan memiliki sifat ramai dan senang mengobrol.
"Emang Mbak Sabrina punya masalah apa?" tanya Andi, kembali mengejutkan Sabrina.
"Ehm, gimana ceritanya yah, rumit deh, Mas. Bingung juga gimana solusinya," ujar Sabrina sembari mendudukan tubuhnya di atas kursi kerja.
"Berdo'a aja sama Tuhan, Mbak. Minta supaya diberi solusi dan jawaban dari masalah yang Mbak Sabrina saat ini lagi hadapi."
Apa yang diucapkan Andi —si cleaning service— adalah solusi yang sangat tepat dan bijak. Jika sesorang tidak sanggup untuk mencari solusi atas masalah yang sedang menimpanya, hanya kepada Tuhan lah kita meminta.
"Iya, Mas. Kamu benar. Sepertinya masalah yang saat ini aku hadapi, hanya tinggal bergantung kepada Tuhan saja."
"Sepertinya masalahnya begitu berat," gumam Andi.
"Masalah apa?" suara berat dari seorang pria, mengejutkan kedua orang tersebut.
Sabrina dan Andi, kontan menengok ke arah asal suara, yang ternyata adalah suara sang direktur perusahaan.
"Pak Arsa?" pekik keduanya.
"Siapa yang sedang memiliki masalah?" tanya Arsa, ketika ia sudah berdiri di dekat meja Sabrina, dengan Andi yang masih memegang tongkat kain pel, dan Sabrina yang seketika berdiri saat atasannya datang.
"I—itu ...?" jawab Andi, yang kemudian disela oleh Sabrina.
"Bukan apa-apa, Pak!"
Arsa memicingkan salah satu matanya, tak suka ada hal yang sekretarisnya sembunyikan darinya. Entahlah, Arsa seolah sudah menganggap gadis itu adalah miliknya, meski hal itu masih sulit dijangkau.
"Benarkah?" tanya Arsa kembali memastikan.
Kegugupan gadis di depannya tertangkap oleh kedua netra hitam Arsa. Sabrina enggan menatapnya hanya kedua jemari saling bertaut, menandakan jika ia tengah menutupi sesuatu.
"Kamu sudah selesai?" tanya Arsa menoleh ke arah Andi.
"S—sudah, Pak."
"Kamu bisa pergi."
"Baik, Pak. Permisi!"
Petugas cleaning service itu meninggalkan Arsa dan juga Sabrina, di tengah keheningan suasana tempat di mana sekertaris itu bekerja.
"Kamu ke ruangan saya!" pinta Arsa pada sang sekertaris, kemudian pergi mendahului setelah mendapat anggukan dari gadis itu.
Di dalam ruangan, Arsa menaruh tas kerjanya di atas meja. Kemudian menatap ke arah Sabrina yang datang sembari menggenggam tablet di tangan.
Arka memilih duduk di sofa dan meminta sang sekertaris membacakan schedule kerjanya hari ini.
"Hari ini Bapak tidak ada jadwal keluar. Hanya ada beberapa dokumen yang belum Bapak cek setelah direvisi oleh masing-masing divisi. Sekaligus menandatangani beberapa berkas."
Arsa terus menatap wajah Sabrina, sedikit hilang konsentrasi ketika gadis itu bicara. Yang ada di dalam otaknya saat itu adalah, bagaimana jika ia bisa menikmati bibir yang bergerak tampak seksi itu, bisa ia rasakan dan ia nikmati di bawah kendalinya?
"Sial!" geram Arsa pelan, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Sabrina yang sejak tadi dipandang begitu dalam oleh atasannya, berusaha sekuat tenaga tak mempedulikan. Ia berusaha profesional melaksanakan pekerjaannya dengan baik. Meski hati dan pikirannya tidak sinkron dengan bahasa tubuhnya, di mana ia begitu malu akan tatapan yang Arsa berikan.
Jujur saja hatinya berdebar. Otaknya pun tergoda ingin mendekat ke arah sang atasan dan memberikan tubuhnya saat itu juga. Sebab ia tahu jika Arsa sedang menatapnya dengan pandangan lapar, bukan pandangan seorang direktur yang ingin mengetahui jadwal kerjanya.
Sabrina yang sudah mengetahui bila sang atasan sudah pisah ranjang lama dengan istrinya —Lara— tentu saja tahu kebutuhan biologis yang sudah lama tidak Arsa dapatkan. Bukannya ia keGR-an akan feeling-nya yang mengatakan jika lelaki itu mendamba belaian seorang wanita. Lalu bukannya juga Sabrina ke-PD-an jika dirinya termasuk salah satu wanita yang saat ini ingin Arsa sentuh. Semua disebabkan oleh kedua mata hitam Arsa yang menyiratkan hal itu.
Bagaimana tidak Arsa menatap seperti itu? Sekian bulan lamanya —hampir satu tahun— Arsa yang sudah tidak pernah menyalurkan hasratnya sebagai seorang lelaki, harus tersiksa ketika melihat gadis yang diincar untuk ia jadikan istri, berbicara seolah menggoda dirinya.
"Pak Arsa?" panggil Sabrina kepada sang atasan.
"Eh, iya?" Arsa menjawab sedikit tergagap.
"Itu saja yang bisa saya laporkan. Apakah ada hal lain yang bisa saya lakukan untuk Bapak?" tanya Sabrina menatap wajah Arsa, menunggu.
"Menikahlah dengan saya!"
"A—apa?" Kembali permintaan itu yang tak bosan Arsa ajukan pada Sabrina.
"Aku mau kamu menjadi istri keduaku dan memberiku anak. Aku tidak akan menceraikanmu jika pun anak itu sudah lahir nanti ke dunia."
Ungkapan Arsa barusan cukup mengejutkannya. Jadi, apakah permintaan Arsa sebelumnya ketika hendak memintanya untuk menjadi istrinya, adalah hanya untuk memberinya seorang anak, kemudian ia akan diceraikan?
Beda dengan kali ini, di mana dirinya akan tetap menjadi istri Arsa, meski itu hanya sebagai istri kedua? Selamanya menjadi istri Arsa, istri kedua Arsa tepatnya.
"Maaf, Pak. Seperti jawaban saya di awal, saya tetap tidak bisa menerima tawaran Bapak."
Arsa sudah tahu jawaban apa yang akan Sabrina berikan. Pada akhirnya, pilihan yang sebetulnya enggan ia lakukan, harus ia ambil.
"Baiklah, sebab kamu menolak tawaranku, sepertinya aku akan mengambil pilihan yang lain," ujar Arsa, dengan pandangan mata yang pura-pura tidak menatap ke arah Sabrina.
Meski tidak bertanya, Arsa sengaja memberitahu. Sebab ia tahu, sang sekertaris sedikit tertarik dengan kalimatnya barusan.
"Aku akan mencari seorang wanita, untuk aku jadikan istri, yang bisa aku sewa rahimnya demi mendapatkan seorang anak. Setelahnya, aku akan menceraikannya tentu saja."
Sabrina sedikit terkejut. Sejauh itukah sang atasan melakukan sesuatu demi mendapatkan anak?
"Aku akan memberimu waktu hingga satu bulan ke depan untuk memikirkannya, Sabrina. Aku tidak memaksa meski sebetulnya sudah berulang kali kamu menolaknya. Aku hanya merasa kamu adalah wanita baik-baik yang sangat tepat untuk menjadi ibu bagi anak-anakku kelak," ungkap Arsa dengan pandangan lurus ke arah kedua mata sekretarisnya.
Tatapan mata Arsa membuat Sabrina serbasalah. Gadis itu bingung bersikap karena Arsa enggan memalingkan wajahnya ke arah lain.
Setelah berkata seperti itu, Arsa beranjak dari duduknya, berjalan mendekat ke arah sang sekertaris dan berhenti tepat di depannya. Jarak yang teramat dekat, membuat Sabrina harus menahan napasnya. Jantungnya seolah ingin meloncat keluar. Dadanya semakin berdebar tak karuan. Tak sanggup membalas tatapan sang atasan, Sabrina memilih menunduk.
Namun bukan Arsa namanya —lelaki pendiam dan super baik hati itu— setelah ia puasa akan sentuhan wanita di kehidupannya, akan diam saja memandang wajah cantik di depan mata, tanpa melakukan apa pun.
Tangan kanan Arsa bergerak menuju ke arah dagu Sabrina, menyentuhnya supaya terangkat dan balik menatapnya.
"Selain Lara alasanmu menolakku, juga ada alasan lain yang aku tahu, yaitu kamu yang tidak mencintaiku, Sabrina," ucap Arsa.
Lelaki itu masih menyentuh dagu Sabrina, bahkan sudah mulai dengan nakalnya membelai bibir tipis berlipstik merah milik si sekertaris, dengan sangat lembut dan menggoda.
"Kita lihat saja, apakah waktu sebulan ini aku akan berhasil mendapatkanmu, atau malah aku yang harus kecewa sebab mesti mencari wanita lain untuk aku jadikan istri sewaan."
Kalimat Arsa yang kembali mengingatkan gadis di depannya, mau tak mau masuk ke dalam otak dan alam bawah sadar Sabrina. "Apakah aksi yang akan dilakukan oleh atasannya itu selama satu bulan ini?" batin Sabrina.
Di tengah pikiran Sabrina yang sudah mengelana entah ke mana, tiba-tiba Arsa mencium bibir gadis itu, dengan sebelumnya membelai bibir tipis tadi dan sedikit menariknya agar terbuka, memudahkan Arsa mereguk kenikmatan atas bibir yang terasa manis itu dan juga seluruh bagian dalamnya yang ia absen satu per satu dengan lidah yang mengecap basah.
***