Bab 10. Strategi

1016 Words
"Apakah kamu tahu, masalah apa yang saat ini tengah ia hadapi?" tanya Arsa kepada sang istri, Lara.  Lara sudah sepakat untuk membantu suaminya mendapatkan Sabrina untuk menjadi istri keduanya. Maka dari itu, ia selalu memberi informasi yang dimilikinya kepada Arsa.  Seperti siang itu, mereka memutuskan untuk makan siang bersama di ruangan kantor Arsa. Memesan makanan melalui jasa kurir makanan, keduanya menikmati santap makan siang sembari mengobrol santai.  "Menurut info yang aku dapatkan dari Nita, sahabatnya, sebetulnya ini bukanlah masalah Sabrina. Tapi masalah panti." "Panti? Apakah yang kamu maksud adalah panti tempat di mana Sabrina dibesarkan?" tanya Arsa dan dijawab anggukan oleh Lara.  "Ada apa dengan panti?" "Sertifikat kepemilikan ganda." "Apa hubungannya dengan gadis itu?" "Perasaan emosi yang terjalin sebab ia dibesarkan di sana. Ya ... tentu saja, hanya ia yang mengerti." "Lantas, ia akan berbuat apa?" Arsa betul-betul ingin tahu. "Aku tak tahu, Mas. Sebab Nita pun tak tahu." Arsa mengerti maksud ucapan istrinya itu. "Mengapa tidak digugat ke pengadilan?" "Sudah, malah pihak sanalah yang menggugat lebih dulu." "Lantas?" "Kemungkinan pihak sanalah yang menang walaupun keputusan pengadilan baru nanti lusa. Pihak panti hanya diberikan waktu satu minggu untuk mengosongkan lahan." Arsa menghentikan kegiatan makan siangnya. Menyandarkan punggungnya sembari mengambil gelas berisi air bening dan meminumnya hingga setengah.  "Kamu punya ide?" tanya Lara, menatap suaminya yang terlihat berpikir.  "Siapa pihak kedua yang memiliki sertifikat tersebut?" "PT. Gemilang Abadi." Arsa sepertinya paham apa yang mesti ia lakukan. Meski cara yang akan ia lakukan sedikit licik, dengan memanfaatkan situasi agar gadis itu mau menikah dengannya.  "Aku punya ide," ucap Arsa, sumringah.  *** Di dalam ruang tamu, di mana tadi pagi ibu panti mendapat kunjungan dari dua orang pengacara yang akan mengambil kepemilikan lahan panti asuhan, kini wanita paruh baya dengan jilbabnya yang membuat aura tenang terpancar dari wajahnya, tengah menerima dua orang tamu lainnya di waktu sore hari.  "Saya tidak tahu jika panti asuhan ini adalah salah satu tempat yang menjadi aliran sumbangan dana tiap bulan dari kantor." Arsa yang memang tidak memegang bagian itu, cukup terkejut ketika ia memperkenalkan diri kepada ibu panti.  "Ya, sebetulnya tadi ibu sudah mencoba menelepon dan kirim pesan ke nomor Pak Rangga, anak buah beliau yang biasanya mentransfer melalui rekening perusahaan atas nama PT. Semesta Jaya. Ibu diberi nomor Pak Rangga oleh Mas Dani, untuk bicara sendiri pada beliau. Tapi, kemungkinan Pak Rangga sedang sibuk jadi telepon dan pesan Ibu belum direspon." Senyum terpancar di wajahnya.  "Rangga?" tanya Lara.  "Ya, Pak Rangga." Ibu panti meyakinkan.  "Manajer keuangan bukan, Mas?" tanya Lara menatap suaminya.  "Iya. Sepertinya divisi dia yang memegang bagian itu." "Oh." "Latas, solusi apa yang sebetulnya Ibu harapkan?" tanya Arsa.  "Ibu sudah pasrah saja Pak Arsa, seandainya memang sertifikat yang kami miliki ternyata dianggap palsu oleh pengadilan. Tapi, Ibu hanya berharap ada tempat bernaung bagi anak-anak seandainya kami terusir dari tempat ini. Sebab info yang kami tahu, tempat ini akan dibongkar untuk dibangun apartemen." "Apakah belum ada solusi yang diberikan oleh donatur lain?" "Ada, Pak. Ada yang menawarkan sejumlah uang, ada juga yang menawarkan tempat sementara, tetapi ya itu ... tempatnya terlalu jauh. Kasian bagi anak-anak yang bersekolah, perjalanan mereka yang habis di jalan. Belum lagi ongkos yang harus kami keluarkan setiap harinya jika jarak sekolah terlampau jauh." Arsa menatap wajah Lara. Meski sebelumnya, wanita yang masih berstatus istrinya tersebut kurang begitu setuju dengan ide yang suaminya sampaikan, tetapi tak ada salahnya mereka mencoba.  "Ibu ... jika saya memiliki solusi untuk panti ini, tetapi dengan harapan Ibu mau membantu kami. Apakah Ibu bersedia?" Wanita itu menatap wajah Arsa dan Lara bergantian. Ada rasa penasaran atas kalimat yang lelaki tampan itu ucapkan.  "Kalau Ibu sanggup, Ibu akan membantu. Tergantung dari bantuan apa yang harus Ibu berikan." Arsa tersenyum menatap wanita paruh baya itu. Dengan menarik napas agak dalam kemudian menghembuskannya, lelaki itu pun mulai bercerita kepada ibu panti. Tak ada yang ia tutupi ketika menceritakan masalah kehidupan keluarganya. Begitu pun yang Lara lakukan, wanita berparas ayu itu membantu menjelaskan apa yang bisa ia sampaikan —berharap ibu panti mau membantu.  "Ibu sangat prihatin dengan kondisi kalian, Pak Arsa dan Bu Lara. Sungguh jika Ibu bisa membantu, Ibu akan membantu. Tapi, apakah harus dengan menikahi Sabrina dan menjadikannya istri kedua?" Ada pilu yang terpancar di wajah wanita itu.  "Pada akhirnya Sabrina akan tetap menjadi istri satu-satunya suami saya, Bu." Lara mendahului kalimat yang akan suaminya ucapkan.  "Bagaimana bisa?" "Kami berdua memutuskan untuk bercerai." "Apa? Apakah hal ini tidak akan menambah suasana runyam nantinya." "Runyam bagaimana, Bu?" tanya Arsa tak mengerti.  "Bu Lara, bukankah Ibu adalah teman baik Sabrina?" "Iya, Bu. Dia adalah sahabat saya sejak kami kuliah dulu." "Sabrina juga adalah sekertaris Anda, Pak Arsa?" tanya Ibu panti, gantian menatap Arsa.  "Iya, betul." "Seandainya Sabrina mau menikah dengan Pak Arsa, kemudian tak lama kalian bercerai, bukankah Sabrina akan dicap sebagai seorang pelakor, maksud saya wanita perebut suami orang? yang tak lain adalah sahabatnya sendiri." Arsa dan Lara sama-sama terdiam. Hal itu memang belum terpikirkan oleh mereka sebab bagi keduanya, keputusan Arsa menikah dengan Sabrina adalah sebuah keputusan yang membuat Lara bahagia. Wanita itu senang sebab Sabrina adalah seorang gadis baik-baik, yang pantas bersanding dengan suaminya kelak.  "Ibu tidak perlu khawatir, hal itu bisa kami atasi. Lagipula, perceraian kami juga tentu saja jika Lara pun sudah memiliki pria yang akan dijadikan suami barunya nanti." "Kalau kalian berdua belum bercerai?" "Status saya dan Sabrina juga tidak akan kami sebarkan ke publik." Arsa berkata tegas penuh keyakinan.  Ibu panti tampak berpikir. Apakah ia harus mengorbankan perasaan gadis itu demi kepemilikan lahan panti? Hal demikian tentu saja membuat batinnya bergejolak. "Apakah Ibu hanya harus melakukan itu?" tanya ibu panti setelah lama terdiam.  "Ya, cukup itu saja. Tak ada kebohongan yang harus Ibu lakukan, bukankah itu memang kenyataannya?" "Beri Ibu waktu sampai besok. Bisakah?" "Tentu saja, Bu. " Arsa dan Lara cukup paham akan pergulatan batin yang saat ini terjadi di dalam jiwa ibu panti. Tapi, menurut mereka ini adalah jalan satu-satunya jika ia ingin mendapatkan Sabrina menjadi istri Arsa dan melahirkan anaknya kelak. Waktu satu hari tidaklah lama, tinggal menunggu jawaban dari ibu panti dengan tetap Arsa melakukan pendekatan terhadap gadis itu selama satu bulan ke depan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD