Bab 1. Menikahlah Denganku!
"Istriku tidak bisa memberikan keluarga kami keturunan, Sabrina!" lirih pria itu berkata.
Arsa Abimanyu, pria berusia tiga puluh lima tahun, adalah seorang direktur sebuah perusahaan besar dan ternama. Pria yang sudah memiliki seorang istri bernama Lara —tiga puluh tahun— cantik dan ayu, khas orang Jawa pada umumnya. Namun, di usia pernikahannya yang sudah menginjak angka tujuh tahun, keduanya belum Tuhan karunia seorang anak pun.
"Maaf, Pak Arsa. Saya tidak bisa. Bagaimana mungkin saya bisa mengkhianati kebaikan yang sudah Mbak Lara lakukan kepada saya selama ini?" jawab Sabrina dengan cepat.
Sabrina dan Lara sudah mengenal sejak lama. Awal pertemuan keduanya kala itu, ketika Lara yang merupakan senior Sabrina di kampus, tengah diganggu oleh beberapa mahasiswa di sekitar sudut taman. Lara yang memang memiliki wajah cantik ditambah latar belakang keluarga yang terpandang, tentu saja banyak disukai oleh mahasiswa lainnya.
Salah satunya, Alex —mahasiswa satu angkatan— yang terobsesi ingin mencium Lara sejak lama. Dengan dibantu beberapa kawannya, ia berhasil membuat Lara terpojok.
Beruntung Sabrina tengah berada di area taman bersama teman-temannya yang lain, sehingga gadis itu bisa terselamatkan. Sejak saat itulah, Lara menganggap Sabrina sebagai teman baiknya.
Gadis itu tidak melihat latar belakang Sabrina yang merupakan gadis sebatang kara dengan segala kekurangannya. Pertemanan keduanya yang terjalin sejak lama, terus tercipta hingga Lara menikah dengan Arsa, lelaki pilihan kedua orang tuanya.
"Mengapa alasanmu selalu sama, Sabrina?"
"Ya, karena memang itu alasannya, Pak!"
Arsa membuang napas kasar.
Digenggamnya jemari lentik gadis di sebelahnya itu seolah menyalurkan perasaan yang selama ini tersembunyi.
Sabrina, gadis berusia dua puluh lima tahun. Menjabat sebagai sekertaris sejak empat tahun lalu. Awalnya ia hanya bekerja sebagai staf freelance di perusahaan itu. Namun berkat kebaikan Lara, ia akhirnya bisa diangkat menjadi sekertaris suaminya.
"Aku tahu kamu membutuhkan uang yang banyak. Selain biaya kehidupan kamu sehari-hari, sewa rumah juga biaya kuliah kamu yang sebentar lagi akan selesai, membutuhkan uang yang tidak sedikit, Sab!" Kalimat yang Lara ucapkan kala Sabrina menolak dengan halus keinginan teman baiknya agar gadis itu menjadi sekertaris pengganti sang suami yang resign karena melahirkan.
"Jika kamu tidak enak pada Lara, kita bisa menikah diam-diam." Arsa masih saja merayunya.
"Bagaimana mungkin anda berpikir seperti itu, Pak. Sungguh saya tidak bisa," sela Sabrina semakin tidak enak.
Sabrina terlalu kejam jika harus mengkhianati teman baiknya itu.
Seorang teman yang menerima dirinya tanpa memandang latar belakang ia dari keluarga seperti apa.
Ya, gadis itu memang berasal dari sebuah panti asuhan yang berada di pinggiran kota. Namun sejak menyelesaikan sekolah menengah atas-nya, ia pergi dari panti, untuk hidup mandiri.
Sabrina sama seperti Nita —sahabat pantinya sejak kecil, yang ditinggalkan orang tua mereka di depan pintu panti ketika masih berusia satu bulan. Jarak keduanya hanya terpaut satu minggu, dengan Sabrina yang terlebih dahulu ditaruh di sana —di dalam sebuah keranjang beserta satu botol berisi s**u, sepucuk surat dan satu buah gelang kaki, yang terpasang.
Sabrina dan Nita memutuskan untuk mandiri bersama. Dengan usia keduanya yang sama, memudahkan mereka cepat akrab satu sama lain ketika berada di dalam panti.
"Hati-hatilah kalian saat bersama nanti. Sering-seringlah pulang!" Nasehat Ibu panti kepada mereka kala itu.
Keduanya memiliki rejeki yang tidak disangka. Berbekal ijazah SMA yang dimiliki, mereka bisa mendapatkan pekerjaan dengan cepat. Hanya saja pemikiran keduanya yang berbeda. Jika Nita sudah merasa cukup dengan pekerjaannya saat itu, berbeda dengan Sabrina. Gadis itu mengumpulkan uang untuk melanjutkan cita-citanya —kuliah dan mencari pekerjaan yang layak dan mapan. Takdir Tuhan jugalah yang mempertemukan Sabrina dengan gadis cantik dan baik hati seperti Lara, sehingga ia bisa berada di posisinya saat ini.
Namun kini posisinya itu sangat tidak ia sukai. Sudah sejak setengah tahun yang lalu, Arsa meminta Sabrina untuk mau menikah dengannya. Alasan yang sama dan tentu saja cara yang sama. Memanggilnya ke dalam ruangan, yang tidak tahunya hanya untuk meminta untuk menyetujui permintaannya.
Sejujurnya posisi seperti saat ini saja, membuat gadis itu tidak enak hati. Meski ia tahu, setiap ruangan pejabat penting di perusahaan ini didesain kedap suara, tetap saja Sabrina was was meninggalkan mejanya di tengah jam kantor yang masih berlangsung.
"Apa yang saya lakukan agar kamu mau menerima saya, Sabrina?"
"Tidak ada, Pak." Sabrina memotong cepat.
"Sungguhkah kamu tidak bisa mempertimbangkannya lagi?"
Sabrina menggeleng. "Seperti sejak Bapak meminta saya pertama kali, sampai saat ini pun saya tetap tidak bisa menerima permintaan Bapak."
Arsa nampak frustasi. "Benarkah hatimu tertutup untukku, Sabrina?" tanya Arsa masih menatap lekat retina coklat muda kehijauan gadis itu. Warna mata yang membuat orang semakin yakin jika gadis bernama Sabrina Dominique adalah seorang keturunan blasteran.
"Bagaimana bisa hati saya ada untuk Anda, Pak?" batin Sabrina di dalam hatinya. Meski sejujurnya pesona seorang Arsa tidak bisa ia pungkiri.
Pria dewasa dengan segala kemapanannya itu, tentu saja membuat wanita mana pun akan menyukai dan mengidolakannya. Termasuk para karyawan wanita di perusahaan tempat Sabrina bekerja saat ini. Bagi para jomlo, pasti mereka mengidamkan sosok lelaki seperti Arsa —atasannya— sebagai seorang suami.
Lantas, bagaimana dengan Sabrina sendiri? Gadis itu tidak munafik. Ia pun sama terpesona oleh ketampanan pria di sampingnya itu. Sejak awal ia menduduki jabatannya sebagai seorang sekertaris pengganti, ia harus selalu menahan nafas jika berada dekat dengan Arsa. Padahal tidak ada interaksi berlebihan di antara mereka selain hubungan atasan dan bawahan. Namun tetap saja, hawa sesak di d**a dan juga debaran jantungnya tidak bisa dikondisikan jika bos-nya itu memanggil dirinya meski untuk urusan pekerjaan.
"Mengapa Anda tidak berkonsultasi ke dokter, Pak?" Sabrina seolah memberi solusi.
"Tanpa kamu beri tahu, kami berdua sudah melakukannya, Sabrina," ucap Arsa masih setia menatap sekertarisnya itu.
"Sejak usia pernikahan kami menginjak usia satu tahun, sampai setahun yang lalu, kami masih rajin konsultasi bahkan melakukan berbagai cara, tapi tidak berhasil."
"Bagaimana menurut dokter sendiri hasil dari kondisi kalian berdua?" tanya Sabrina, "ah! Maafkan saya, Pak. Saya tidak bermaksud ingin tahu dan ikut campur urusan kalian, maaf!" Sabrina harus menunduk dan menganggukkan kepalanya berkali-kali agar dimaafkan oleh sang atasan.
Arsa tersenyum gemas melihat gadis itu. "Tidak apa-apa, Sabrina. Tapi kami berdua sehat dan baik-baik saja jika kamu ingin tahu." Menjawab pertanyaan Sabrina.
"Bukankah Anda bisa mencari wanita lain untuk dijadikan istri kedua Bapak?" tanya Sabrina sebagai langkah terakhir penolakannya dan berharap percakapan ini segera berakhir.
"Aku cuma mau menikah dengan kamu, Sabrina!" ucap pria itu di dekat telinga Sabrina, dengan suara serak seolah berada di ujung hasrat yang sudah sekian lama tertahan.
***