Setiba di rumahnya, Nana melihat Shakira juga sedang menuruni tangga. Nana menghentikan langkahnya, sementara Shakira memperlambat langkahnya. Saat Shakira tiba di anak tangga paling bawah, Nana menatapnya tajam dan berkata, "Silahkan ambil calon suamiku!"
Shakira terkejut mendengar kata-kata itu. Ia mendekati Nana dan bertanya, "Kakak marah padaku?"
Nana menjawab dengan santai, "Antara marah dan tidak sih."
Shakira tertawa mengejek dan berkata, "Harusnya kaka introspeksi. Kak Kenzi bilang dia suka aku karena aku jauh lebih cantik dari kakak. Sekarang kakak harus lebih bisa merawat diri sepertiku biar nanti kalau mau nikah ga batal lagi. Nanti jika calon suami kakak suka padaku lagi kan bisa gawat."
Nana mengepalkan tangannya, merasa geram dengan kata-kata Shakira. Baru kali ini Shakira berbicara sekeras itu padanya. Nana memilih melanjutkan langkah ke arah dapur mengabaikan kalimat pedas adiknya itu merasa sangat haus dan perlu segera minum. Shakira berseru dengan nada mengejek, "Cie tersinggung!"
Nana mengambil segelas air dan meminumnya dalam satu tegukan. Dengan nafas yang masih berat, ia berkata pada dirinya sendiri, "Aku tidak akan membiarkan mereka merusak hidupku lebih jauh." Ia bertekad untuk menunjukkan bahwa ia bisa bangkit dan menjadi lebih kuat dari sebelumnya.
Shakira duduk di ruang keluarga, merasa gelisah. Ia mengeluarkan ponselnya dan menelepon Kenzi. Setelah beberapa kali dering, panggilannya tetap tak dijawab. Shakira mengerutkan keningnya, "Kak Kenzi kok tak menjawab teleponku?"
Jam menunjukkan pukul delapan pagi. Di kantor tempat Kenzi bekerja, Kenzi tengah sibuk memeriksa beberapa dokumen di mejanya. Ponselnya berada dalam mode silent dan tergeletak di sudut meja, sehingga ia tidak menyadari panggilan masuk dari Shakira.
Shakira mencoba menelepon sekali lagi, namun tetap tidak ada jawaban. Ia merasa semakin resah dan menggerutu sendiri, "Kenapa sih, kok ga diangkat?"
Sementara itu, Kenzi terus bekerja tanpa gangguan, fokus sepenuhnya pada tugas-tugas yang ada di depannya. Dia benar-benar tidak menyadari bahwa Shakira mencoba menghubunginya berulang kali.
Nana berjalan melewati ruang keluarga dan mendengar Shakira mengomel, "Kak Ken ini kenapa sih ga jawab panggilanku. Awas ya kalau ketemu!"
Nana hanya tersenyum melihat kelakuan adiknya itu, lalu berkata dalam hati, "Shakira benar-benar tak tahu waktu. Ini kan waktu Kenzi bekerja dan jika bekerja, ia tak bisa diganggu sama sekali."
Nana melewati Shakira yang sedang duduk di sofa, tepat di belakang sofa itu, sehingga Shakira tidak menyadari kehadiran Nana di sana. Nana masuk ke kamarnya dan menutup pintu perlahan. Setelah berada di dalam, ia duduk di tempat tidurnya dan berkata dengan suara pelan namun tegas, "Dunia belum berakhir jika kau putuskan aku, Kenzi!"
Di tempat lain mobil sport hitam melaju pelan melewati gerbang rumah yang cukup besar. Mobil itu terus melaju di jalanan beraspal yang rapi, dikelilingi oleh taman yang terawat dengan baik, hingga akhirnya berhenti tepat di depan rumah utama yang megah.
Laki-laki yang tadi berbicara dengan Nana turun dari mobil dengan penuh semangat. Sambil bersenandung, ia berjalan menuju pintu utama rumah mewah itu, menikmati setiap langkahnya di halaman yang luas dan hijau. Ia membuka pintu dan masuk ke dalam rumah dengan senyuman, siap menyambut hari yang baru.
Saat lelaki itu melewati ruang tamu, tiba-tiba sepasang suami istri menatapnya dengan tajam. Sang suami, yang ternyata adalah ayah lelaki itu, berkata dengan suara tegas, "Cukup main-mainnya, Davin!"
Lelaki itu bernama Davin. Dan ayahnya memakai setelan jas sangat rapi, ibunya juga memakai setelan pakaian kerja. Keduanya terlihat sudah sangat rapi dan bersiap berangkat kerja.
Davin menghentikan langkahnya dan menatap kedua orangtuanya. Dengan wajah yang sedikit terkejut namun tetap tenang, ia menjawab, "Daddy. Aku tak pernah main-main."
Ibunya, yang duduk di sebelah ayahnya, menghela napas panjang dan menatap Davin dengan penuh kekhawatiran, seakan mengisyaratkan ada pembicaraan serius yang akan terjadi.
Ayah Davin memandang putranya dengan serius dan berkata, "Davin, duduklah. Ada hal penting yang perlu kami bicarakan."
Davin, meskipun sedikit bingung, menurut dan duduk di sofa di hadapan orang tuanya. Ia melihat ke arah ayah dan ibunya bergantian, menunggu apa yang akan mereka katakan. Suasana di ruangan itu terasa tegang, seakan ada sesuatu yang sangat mendesak dan serius yang akan dibicarakan.
Ayah Davin menghela nafas dalam sebelum berbicara. "Davin, kamu tahu bahwa kamu adalah salah satu pewaris kekayaan keluarga ini. Tapi untuk itu, kamu harus melanjutkan kuliah. Pendidikan penting untuk masa depanmu dan masa depan keluarga kita."
Davin menggelengkan kepalanya dengan tegas. "Daddy, aku tidak mau kuliah. Aku lebih senang bermusik dan menyanyi. Itu passion-ku."
Ayahnya menatap Davin dengan tatapan tajam. "Davin, jika kamu tetap tidak mau kuliah, semua fasilitas yang kami berikan padamu akan dicabut. Mobil, uang saku, semuanya. Kamu harus memahami betapa pentingnya ini."
Davin terdiam sejenak, membayangkan dirinya tanpa fasilitas apa pun, hidup tanpa dukungan finansial dari orangtuanya. Itu adalah bayangan yang menakutkan.
Ayahnya menatapnya dengan serius. "Jadi bagaimana, Davin? Apa keputusanmu?"