Davin menatap ayahnya dengan tegas. "Baiklah, aku akan kuliah sesuai keinginan Ayah dan Ibu. Tapi aku punya satu syarat."
Ayah Davin mengangkat alisnya. "Apa itu syaratnya? Jangan macam-macam ya!"
Davin tersenyum tipis. "Masalah jodoh, aku tidak mau diatur-atur oleh Ayah dan Ibu. Aku tidak mau seperti kakak-kakakku yang menikahnya dijodohkan. Aku ingin mencari perempuan sendiri. Ayolah, Ayah."
Ayahnya tampak keberatan dengan permintaan Davin, namun istrinya memberikan kode dengan anggukan kepala agar suaminya menyetujui syarat yang diajukan Davin.
Davin melanjutkan, "Aku ingin mencari perempuan sendiri. Ini penting buatku, Ayah."
Ayah Davin menghela napas panjang, lalu mengangguk dengan berat hati. "Baiklah."
Davin tersenyum lebar. "Nah, begitu dong, Ayah. Aku ini anak bungsu Ayah."
Ayahnya hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis. "Kamu memang selalu punya cara untuk mendapatkan apa yang kamu mau, Davin."
Davin mengangkat tangan, "Sudah kan, Ayah bicaranya? Aku ingin istirahat, aku belum tidur sama sekali."
Ayah Davin berseru, "Hentikan kegiatan buruk itu, Davin. Begadang itu tidak baik dan buruk untuk kesehatan."
Davin mengangguk, "Iya, Ayah. Aku akan menguranginya secara perlahan. Aku ke kamar dulu ya."
Ayah Davin mengangguk. Davin pun pergi ke kamarnya. Setelah kepergian Davin, ayahnya berkata pada istrinya, "Sayang, anakmu yang satu itu beda dengan kakak-kakaknya."
Ibu Davin tersenyum dan menjawab, "Anak kita, mas. Dia juga hasil kerja sama kita."
Ayah Davin tertawa, "Mana wajahnya yang paling mirip denganku ya?" Ibu Davin pun tersenyum dan berkata, “mengaku sendiri ternyata.”
Sementara itu Davin masuk ke dalam kamarnya yang luas. Tanpa membuang waktu, ia langsung menuju ranjang dan merebahkan diri, terlelap tidur pagi itu.
Davin adalah anak ketiga dari tiga bersaudara. Kakak pertamanya laki-laki bernama Bara, dan kakak keduanya perempuan bernama Citra. Kedua kakaknya itu sudah menikah, keduanya dijodohkan oleh ayah dan ibu mereka. Davin merasa lega karena setidaknya ia memiliki kebebasan untuk memilih jodohnya sendiri. Namun, dibalik semua itu, ia tahu tanggung jawab besar menantinya setelah setuju untuk kuliah sesuai keinginan orang tuanya.
Sementara itu di tempat lain Nana duduk di kamarnya, menghapus foto-fotonya bersama Kenzi di laptop. Satu per satu momen kebersamaan mereka terhapus, meninggalkan perasaan perih di dadanya. Setiap foto mengingatkan Nana akan betapa Kenzi pernah berarti baginya, membuat luka pengkhianatan semakin terasa.
Nana ingat bagaimana mereka pertama kali bertemu di sebuah acara seminar, di mana Nana menjadi moderator. Kenzi tertarik padanya dan mulai mendekatinya hingga mereka akhirnya berpacaran. Saat itu, Kenzi belum memiliki pekerjaan karena dipecat dari perusahaan sebelumnya. Nana pun merekomendasikan Kenzi untuk bekerja di perusahaan tempatnya bekerja, hingga akhirnya Kenzi diterima dan berhasil menduduki posisi wakil manajer.
Sambil menghapus foto-foto itu, Nana berkata pada dirinya sendiri, "Aku akan menghapus semuanya. Ini yang terbaik untukku!" Air mata perlahan menetes di pipinya, namun ia tetap melanjutkan menghapus foto-foto tersebut, mencoba menguatkan hati dan melupakan rasa sakit yang mendalam.
Setelah menghapus semua foto, Nana merenung di depan laptop yang kini kosong dari kenangan. Pikirannya kacau, dan ia mulai mempertanyakan keputusan keluarganya.
"Aku heran pada ayah dan ibu," gumam Nana pelan. "Kenapa mereka begitu saja memberikan izin Shakira menikah dengan Kenzi? Ya, aku tahu sejak dulu Shakira memang lebih diperhatikan oleh mereka, tapi ini pernikahan! Seharusnya mereka tidak memberikan restu. Ini namanya pilih kasih."
Nana menghela napas dalam-dalam, merasakan perih yang tak kunjung hilang. "Sepertinya aku harus menanyakan ini pada ayah dan ibu," pikirnya. "Secepatnya."
Malam harinya, di rumah Ganang, suasana meja makan terasa sunyi. Nana duduk di antara kedua orang tuanya, Ganang dan Emanuela. Biasanya, Shakira selalu hadir di meja makan ini, tapi malam ini, dia tidak terlihat.
Ketiganya makan dalam diam, tidak ada satupun yang berbicara. Nana merasakan keheningan itu dan sebenarnya ingin menanyakan banyak hal, tetapi dia menahan diri. Ini pertama kalinya Shakira tidak ada saat makan malam, dan biasanya, Ganang memastikan kedua putrinya pulang saat magrib. Namun, malam ini berbeda.
Ganang melirik Nana sejenak sebelum akhirnya berbicara, "Nana, ada yang ingin kamu bicarakan?"
Nana menelan makanannya dan meletakkan sendoknya. "Iya, Ayah. Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan." Dia mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Kenapa Ayah dan Ibu memberikan izin Shakira menikah dengan Kenzi? Ini sangat menyakitkan untukku."
Ganang dan Emanuela saling bertukar pandang. Emanuela menggenggam tangan Nana, mencoba memberikan kekuatan. "Nana, kita tahu ini sulit untukmu," kata Emanuela pelan. "Kami hanya mencoba melakukan yang terbaik untuk semua orang."
Nana mengerutkan keningnya, merasa frustasi. "Tapi ini tentang pernikahan, Bu. Kenapa Shakira lebih diutamakan? Aku ini kakaknya."
Ganang menghela napas panjang, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. "Nana, keputusan ini bukanlah sesuatu yang kami buat dengan mudah. Kami tahu ini tidak adil bagimu, tapi kami harus mempertimbangkan banyak hal."
Nana menatap kedua orang tuanya, mencari jawaban lebih dalam. "Tapi apakah ini benar-benar yang terbaik? Untuk siapa?"
Suasana kembali hening, pertanyaan Nana menggantung di udara tanpa jawaban yang jelas. Hingga akhirnya Ganang mengatakan hal yang membuat Nana kaget.