Suasana kembali hening, pertanyaan Nana menggantung di udara tanpa jawaban yang jelas. Hingga akhirnya Ganang menghela napas panjang, menatap Nana dengan sorot mata berat. Dia tampak ragu sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk berbicara.
"Nana, ada sesuatu yang perlu kamu tahu," kata Ganang perlahan. Emanuela menggenggam tangan Ganang, seakan memberikan dukungan.
Nana menatap kedua orang tuanya dengan bingung. "Apa itu, Ayah?"
Ganang menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Nana, kamu... kamu sebenarnya adalah anak angkat kami."
Kalimat itu menggantung di udara, membuat waktu seakan berhenti sejenak. Nana merasakan dunia seolah runtuh di sekelilingnya. Dia menatap kedua orang tuanya dengan mata melebar, tak percaya.
"Apa... apa maksud Ayah?" suaranya bergetar, penuh dengan ketidakpercayaan.
Emanuela menundukkan kepalanya, air mata menggenang di matanya. "Maafkan kami, Nana. Kami seharusnya memberitahu lebih awal, tapi kami takut menyakitimu. Kami mencintaimu seperti anak kandung kami sendiri."
Nana merasakan air mata mulai mengalir di pipinya. "Jadi... Shakira...?"
"Shakira adalah anak kandung kami," kata Ganang pelan. "Itu salah satu alasan kenapa kami memberikan izin pernikahan itu. Kami tahu ini tidak adil, dan kami sangat menyesal."
Nana merasa dadanya sesak, seolah-olah dia tidak bisa bernapas. Seluruh dunia yang dia kenal seakan hancur berkeping-keping. Dia bangkit dari kursinya, langkahnya terasa berat dan gemetar.
"Aku butuh waktu sendiri," katanya akhirnya, suaranya hampir tak terdengar.
Ganang dan Emanuela hanya bisa melihat Nana berjalan keluar dari ruang makan, membawa perasaan terluka dan kebingungan yang mendalam.
Nana masuk ke kamarnya dengan langkah lemas, seakan-akan dunia sekelilingnya menjadi kabur. Waktu yang sudah berlalu terus berputar di otaknya, membuat kepalanya terasa berat. Ia duduk di tepi ranjang, tatapannya kosong menatap lantai.
"Jadi ternyata aku hanya anak angkat," bisiknya sangat pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. Rasa nyeri yang tajam menusuk dadanya, membuatnya sulit bernapas.
Ia menghela nafas panjang, berusaha menenangkan dirinya. "Pantas saja kalau begitu," lanjutnya, suara yang keluar hampir seperti bisikan.
Nana memikirkan kembali semua momen saat Shakira selalu mendapatkan perhatian lebih dari Ganang dan Emanuela. Semua potongan puzzle yang tak terjawab sebelumnya kini mulai menyatu, memberikan gambaran yang menyakitkan.
Dengan mata berkaca-kaca, Nana berbaring di ranjangnya, menarik selimut hingga menutupi dirinya. Air mata mengalir bebas di pipinya, dan ia membiarkan dirinya menangis, membiarkan rasa sakit itu keluar.
Di dalam hati, Nana tahu bahwa ia harus kuat. Namun, untuk saat ini, ia membiarkan dirinya merasakan kepedihan itu, mencoba menerima kenyataan yang baru saja diungkapkan padanya.
Setelah pembicaraan dengan Nana, kini Emanuela duduk di sofa ruang tamu, memandangi Ganang yang tengah berdiri dekat jendela. Suasana rumah terasa sunyi setelah makan malam tadi.
"Mas," panggil Emanuela lembut, "sepertinya Nana sangat terpukul mendengarnya. Apa mas tadi melihat ekspresi Nana saat kamu mengatakan ia hanya anak angkat kita?"
Ganang mengangguk perlahan, menatap keluar jendela dengan tatapan kosong. "Ya, tentu saja aku melihatnya. Tapi Nana memang harus segera tahu," jawabnya dengan suara tenang namun tegas. "Kita juga kan sudah merencanakan hal ini sebelumnya. Sebelum Nana menikah, kita akan bilang kenyataan ini karena ayah bukan wali nikahnya. Walau ini mungkin menyakitkan, tapi memang itu kenyataan yang ada."
Emanuela menghela napas berat, merasa bersalah. "Aku tahu, mas. Tapi melihat wajahnya tadi... hatiku ikut sakit."
Ganang berjalan mendekati Emanuela, meletakkan tangannya di bahu istrinya. "Aku juga merasakan hal yang sama, tapi ini demi kebaikan Nana. Dia harus tahu yang sebenarnya. Kita harus memberikan dukungan kepadanya, terutama di saat-saat seperti ini."
Emanuela mengangguk pelan, menyadari bahwa keputusan mereka memang sulit, namun perlu. "Kita akan selalu ada untuknya, mas. Semoga Nana bisa mengerti dan menerima kenyataan ini dengan lapang dada."
Di sisi lain Shakira duduk di dalam mobil Kenzi, wajahnya berseri-seri. "Mas, terima kasih ya sudah mau nambah maharnya. Aku senang sekali," katanya dengan suara penuh kegembiraan. Mereka baru saja pulang dari toko perhiasan, membeli tambahan untuk mahar pernikahan mereka nanti.
Kenzi tersenyum, menatap Shakira dengan lembut. "Iya sayang, sama-sama," jawabnya singkat namun penuh makna.
Mobil Kenzi melaju perlahan menuju rumah Shakira. Sesampainya di depan rumah, Shakira memandang Kenzi dengan mata berbinar. "Nggak mau masuk dulu, kak?"
Kenzi menggelengkan kepala dengan senyum tipis. "Lain kali ya, sayang. Ini sudah terlalu malam."
Shakira mengangguk mengerti. "Baiklah, sayang," ucapnya sebelum turun dari mobil. Ia melambaikan tangan, melihat Kenzi melajukan mobilnya menjauh.
Dengan langkah ringan dan hati yang penuh kebahagiaan, Shakira berjalan menuju pintu rumah. Di kepalanya, ia sudah membayangkan bagaimana ia akan memamerkan perhiasan baru yang Kenzi belikan untuknya. Senyum di wajahnya tak bisa disembunyikan, ia merasa hidupnya begitu sempurna saat ini.
Shakira membuka pintu rumah dengan senyum di wajahnya, namun senyumnya segera menghilang ketika melihat Ganang dan Emanuela menunggunya di ruang tamu. "Eh, Ibu, Ayah! Duh, aku sampai kaget," katanya gugup.
Ganang menatap putrinya dengan tatapan tajam. "Dari mana saja jam segini baru pulang?" tanyanya dengan nada serius.
Shakira berusaha tersenyum, meski gugup. "Aku kan sudah bilang pada Ibu, aku ada keperluan dengan Kak Ken, keperluan untuk pernikahan..."
Emanuela menatap Shakira penuh selidik. "Memang keperluan apa sih sampai pulang selarut ini?"
Shakira cepat-cepat mengeluarkan kotak perhiasan dari dalam tasnya. "Tara!" serunya ceria, sambil membuka kotak itu di depan mata ibunya.
Emanuela melihat perhiasan itu dengan mata berbinar. "Perhiasan?" tanyanya terkejut.
Shakira mengangguk dengan bangga. "Iya, ini akan jadi tambahan untuk maharnya," jelasnya sambil tersenyum.
Nana yang berada di kamarnya, mendengar percakapan mereka dengan jelas. Kamarnya yang dekat dengan ruang tamu membuat setiap kata terdengar hingga ke dalam. Nana merasakan sakit yang kembali mengusik hatinya, tetapi ia mencoba menguatkan diri. Ia duduk di tepi ranjang, menatap hampa ke dinding kamarnya. Kenangan tentang Kenzi dan kebahagiaan yang pernah ia rasakan bersama lelaki itu kembali memenuhi pikirannya, membuatnya semakin merasa terpuruk.
Emanuela lalu menanyak hal pada Shakira yang membuat Shakira tertegun.