"Aku nggak abis pikir kok ya bisa bu Ratih ngelakuin hal ini," kata Mbak Nur yang duduk di sebelah Pesona setelah wanita itu selesai mengoleskan salep di kaki wanita itu, "Bu Ratih terbakar api cemburu dan bisa melakukan segala macam cara termasuk memfitnah kamu seperti ini, dia bahkan rela menyakiti dirinya sendiri demi untuk membuat kamu kelihatan buruk di matanya Pak Panca. kamu harus lebih hati-hati Mbak Sona."
Pesona malah tersenyum manis mendengar apa yang Mbak Nur katakan, wanita itu tahu betul jika Mbak Nur pasti merasa khawatir akan dirinya.
"Mbak, itu Mbak Nur tau kalau mbak Ratih lagi ngerasa cemburu. dan rasa cemburu itu manusiawi Mbak, Mbak Nur juga pasti bakalan cemburu kalau suaminya Mbak Nur menikah lagi kan, jadi aku bisa memaklumi apa yang Mbak Ratih rasakan," jawab Pesona dengan begitu lembut wanita yang duduk di sebelahnya menghela nafas berat, Baru kali ini Mbak Nur menyayangkan ada orang yang memiliki hati begitu baik seperti Pesona.
"Ya iya cemburu itu emang manusiawi tapi kan yang enggak manusiawi itu kalau sampai memfitnah seperti apa yang bu Ratih lakukan sama kamu ini," jawab Mbak Nur sambil berbisik lirih, Pesona terdiam sesaat memikirkan apa yang baru saja Mbak Nur katakan dan apa yang Ratih lakukan padanya.
"Mungkin Mbak Ratih cuma lagi khilaf, Mbak, Aku yakin dia nggak akan ngelakuin hal buruk lagi apalagi dia juga nggak mungkin mencelakakan anak mereka yang ada di dalam kandunganku," sahut Pesona, wanita itu tersenyum penuh rasa optimis merasa jika semuanya pasti akan baik-baik saja.
"Ya dia nggak akan nyakitin anak mereka tapi siapa yang bisa menjamin kalau dia nggak akan nyakitin kamu?" tanya Mbak Nur tapi tetap saja di dalam hati Pesona sama sekali tidak ada pikiran buruk jika Ratih akan menyakitinya lagi, Pesona hanya merasa apa yang Ratih lakukan tadi hanya luapan kekesalannya saja dan semuanya akan kembali baik seperti semula setelahnya.
Mbak Nur langsung terdiam tidak lagi melanjutkan kata-katanya dan wanita itu juga bersyukur dia sudah berhenti bicara ketika melihat Panca datang mendekati mereka, Pesona tersenyum lalu langsung menyembunyikan senyumannya itu dari pandangan Panca.
"Kamu nggak apa-apa? coba Mas lihat kaki kamu," kata Panca, Mbak Nur langsung meninggalkan tempat duduknya Wanita itu pergi ke laundry room untuk melakukan tugasnya yang sempat tertunda.
"Aku nggak apa-apa kok, Mas, kaki aku udah disalepin sama Mbak Nur Jadi nggak akan melepuh," jawab Pesona yang enggan menunjukkan kakinya pada Panca, wanita itu merasa segan.
"Maafin ya Ratih ya," kata Panca dengan begitu serius membuat Pesona langsung menatapnya, wanita itu tahu kalau Panca mengetahui jika Ratih sengaja melakukan hal itu untuk memfitnahnya.
"Iya, Mas," jawab Pesona singkat karena memang tidak ada yang bisa wanita itu katakan, juga tidak ada yang bisa wanita itu lakukan selain memaafkan perbuatan Ratih.
"Ya udah kalau gitu Mas berangkat kerja dulu, kamu hati-hati di rumah jaga anak Mas baik-baik dan apapun yang terjadi jangan pernah meninggalkan kami," ucap Panca sembari bangun dari duduknya, Pesona hanya menganggukkan kepala wanita itu lalu mengelus perut buncitnya di mana seorang bayi yang Panca titipkan sedang tumbuh di sana.
Wanita cantik itu menatap ke arah pintu lagi ketika ia melihat Panca kembali padahal baru saja laki-laki itu berjalan keluar.
"Ada apa mas kok balik lagi? ada yang ketinggalan?" tanya Pesona, wanita itu lalu melihat di sekeliling mencari barangkali ada sesuatu milik Panca yang tertinggal di sana, tapi Panca malah kembali duduk di kursi yang ada di sebelah Pesona sambil tersenyum manis.
"Mas tau, Pesona, kalau semua ini begitu berat buat kamu. tapi Mas mohon, Mas minta tolong sekali sama kamu, Kamu tau kan kalau anak ini satu-satunya harapan Mas. Mas sangat mencintai Ratih dan Mas nggak bisa kehilangan dia, Mas akan sangat hancur kalau Bapak sama ibu tetap memisahkan Mas dan Ratih kalau dia nggak bisa ngasih Mas anak laki-laki," kata Panca sambil mengelus perut buncit Pesona, apa yang laki-laki itu katakan memang begitu mengharukan tapi rasanya juga begitu menyakitkan bagi Pesona.
Pesona ikut merasa sedih tiap kali melihat Panca dibenci oleh ayahnya karena Pesona adalah saksi bagaimana Panca begitu menyayangi juragan Prasojo begitupun sebaliknya sejak laki-laki itu masih anak-anak.
Seorang anak laki-laki adalah satu-satunya syarat yang diberikan oleh juragan Prasojo agar mereka mau menerima Panca dan Ratih dan saat ini anak laki-laki itu justru tumbuh di dalam rahimnya dan ia harus terbiasa menahan segala luka setiap kali melihat betapa Panca begitu mencintai Ratih.
***
"Mbak Sona kulit kamu tuh kayak nyala kalau kena sinar matahari gitu," kata Mbak Nur pada Pesona yang sedang membantunya menjemur pakaian di halaman belakang, Pesona tertawa kecil mendengar apa yang Mbak Nur ucapkan.
"Mbak Nur pikir aku ini lampu apa bisa nyala!" jawab wanita itu sambil terkekeh.
"Ya bukan lampu maksud aku itu kulit Mbak Pesona kan kuning langsat, kalo kena matahari itu jadi glowing cantik beda sama kulit aku yang sawo kelewat mateng ini kalau kena matahari makin buluk!" jawab Mbak Nur sambil terkekeh geli, kedua wanita itu tidak menghentikan kegiatan mereka menjemur pakaian di bawah matahari pagi yang bersinar semakin terik.
"Mbak Nur nih ada-ada aja!" sahut Pesona juga sambil tertawa, tawa kedua wanita itu terhenti beserta kegiatan mereka menjemur pakaian saat mendengar suara Ratih yang berjalan tergopoh-gopoh menghampiri mereka.
"Mbak Nur, Mbak Tri datang ayo cepat kamu ke kamar bantu aku pakai perut silikon. dan kamu Mbak Sona cepat masuk kamar, sembunyi jangan keluar apapun Yang terjadi!" perintah Ratih dengan terburu-buru, Pesona dan Mbak Nur pun langsung meninggalkan pekerjaan mereka, kedatangan mbak Tri pagi ini sungguh tidak diduga-duga hingga membuat mereka tidak sempat melakukan persiapan apapun.
Dari keempat kakak perempuan Panca hanya Mbak Tri lah yang sering datang berkunjung ke rumah itu Karena hanya mbak Tri yang memiliki sifat keras seperti Panca, berani melawan perintah ayah mereka sementara ketiga kakak perempuan Panca yang lain begitu tunduk pada sang ayah dan menuruti titahnya untuk tidak menjalin komunikasi dengan Panca dan Ratih.
Pesona langsung masuk ke dalam kamarnya mengunci kamar itu dan berdiam diri di sana karena tidak ingin ada seorang pun melihatnya tengah berbadan dua sekarang terutama Mbak Tri karena semua rencana mereka bisa hancur berantakan jika wanita itu tahu benih Panca saat ini tumbuh di dalam rahimnya bukan di dalam rahim Ratih seperti yang semua orang yakini, sementara itu Ratih yang sudah mengenakan bantalan perut berbahan silikon keluar menemui mbak Tri yang datang bersama sang suami.
"Mbak Tri, mau datang kok nggak bilang dulu? Mas Panca udah berangkat ke kantor," kata Ratih dengan begitu lembut sambil menyalami Mbak Tri dan Mas Agus Sang suami.
"Kami cuma mampir sebentar kok, kami mau ke rumah adiknya Mas Agus karena di sana lagi ada hajatan khitanan anaknya. kami sengaja mampir ke sini buat ngasihin ini. ini cemilan dari ibu, keripik buah dan sayur, kata Ibu wanita hamil itu harus ngemil yang sehat-sehat," kata Mbak Tri sambil memberikan sebuah paper bag yang ia pegang pada adik iparnya, wajah Ratih langsung berubah terlihat bahagia bahkan juga hampir menangis haru.
"Ini buat aku Mbak?" tanya Ratih sambil menatap sang kakak ipar, Mas Agus yang berdiri di sebelah sang istri tersenyum walaupun selama ini laki-laki itu terkenal begitu tegas dan galak sama seperti ayah mertuanya.
"Ya iya yang hamil di rumah Ini kan cuma kamu, jadi ini buat kamu," jawab Mbak Tri Sambil tertawa kecil wanita itu tersenyum bahagia melihat seperti apa kebahagiaan bergambar di wajah Ratih.
"Ini dari Ibu? beneran dari ibu buat aku?" tanya Ratih memastikan membuat senyum di wajah mbak Tri semakin lebar, pasalnya wanita itu tahu jika selama ini Ratih tidak pernah diterima oleh kedua orang tuanya hingga mendapat perhatian seperti itu dari ibunya tentu saja membuat Ratih begitu merasa bahagia.
"Iya, ini bentuk perhatian Ibu buat kamu. itu tandanya kamu udah mulai diterima di hati ibu dan bapak, apalagi sebentar lagi Kamu kan bakalan ngasih mereka cucu laki-laki. anak laki-laki dari anak laki-laki mereka satu-satunya adalah sebuah hal yang sangat diharapkan oleh Ibu dan Bapak dan itu semua bisa menghapuskan segala rasa kecewa mereka di hari yang lalu," jawab Mbak Tri membuat Ratih semakin merasa bahagia, wanita itu lalu memeluk kakak iparnya.
"Oh iya Ibu juga nitipin ini buat Pesona, Pesona di mana?" tanya Mbak Tri sambil melihat ke sekeliling dan tidak melihat Pesona ikut menyambutnya.
Sudah dua kali kedatangan mbak Tri ke rumah itu tapi wanita itu belum memiliki kesempatan untuk bertemu dengan pesona.
"Mbak Sona lagi aku minta buat ke warung Mbak, aku ngidam tengkleng kambing jadi aku minta Mbak Sona buat beli tengkleng kambing tapi karena tengkleng kambing itu laris banget makanya aku nyuruh dia datang awal dan tungguin sampai dapat," jawab Ratih berbohong sama seperti saat kedatangan mbak Tri sebelumnya, waktu itu perut pesona sudah terlihat membesar walaupun belum sebesar sekarang dan Ratih menyuruhnya bersembunyi dengan alasan wanita itu sedang ke pasar.
"Ealah, ibu hamil ini ngidamnya ada-ada aja. Ya udah kalau gitu mbak titip aja ini buat Pesona ya," ucap mbak Tri sambil memberikan bungkusan paper bag lain pada Ratih.
"Ya udah kalau gitu kita permisi, kita nggak mau terlambat datang ke acara hajatan adiknya Mas," Kata mas Agus undur diri, Ratih mengucapkan terima kasih lalu mengantarkan mereka berdua ke teras dan wanita itu langsung masuk ke dalam rumah sambil membawa paper bag yang Ibu mertuanya kirimkan padanya dengan hati gembira.
Mbak Tri dan Mas Agus berjalan bergandengan keluar dari halaman rumah Panca karena mereka memang memarkirkan mobil di pinggir jalan tapi saat itu perhatian mbak Tri tercuri oleh bunga mawar yang bermekaran di halaman samping.
"Mas tunggu dulu ya aku mau minta bunga itu loh, cantik-cantik sekali," kata mbak Tri pada sang suami sambil melepaskan gandengan tangannya Karena Wanita itu langsung berjalan ke halaman samping rumah sang adik, mbak Tri merasa tidak perlu meminta izin hanya untuk beberapa kuntum bunga yang ia petik dari pohonnya.
Mbak Tri langsung berjalan dan mendekati pohon mawar yang tumbuh subur di dekat jendela kamar Pesona wanita itu langsung memetik sekuntum bunga dan melirik ke kamar Pesona ketika melihat sekelebat bayangan di dalam kamar itu, kedua mata mbak Tri terbelalak kaget ketika tanpa sengaja ia melihat Pesona berjalan di dalam kamarnya sambil mengelus perut buncitnya.
"Pesona, Pesona hamil?!"