Derajat yang berbeda

1608 Words
"Mbak Sona baik-baik aja?" tanya Mbak Nur sambil menatap perempuan cantik itu saat mereka sedang berdua di dapur untuk memasak. Iya, Pesona memang berwajah cantik, bertubuh ideal walaupun memiliki ketidak sempurnaan di kakinya, wajah cantik dan tubuh indahnya mungkin adalah satu-satunya keberuntungan yang dia miliki dari banyaknya ketidak beruntung dalam hidupnya. Tahu diri, itulah yang membuat Pesona mengubur dalam-dalam cita-citanya untuk menjadi seorang pengajar, wanita itu cukup merasa beruntung dirinya bisa menamatkan pendidikan sekolah menengah atas karena kebaikan orang tua Panca lalu bekerja mengabdikan diri di berbagai usaha yang dimiliki oleh keluarga Kartawijaya setelahnya sementara Panca pergi ke luar kota untuk meneruskan jenjang pendidikannya dan di sana jugalah Panca mengenal Ratih wanita yang menjadi istrinya. "Kenapa Mbak Nur tanya begitu, tentu saja aku baik-baik aja," jawab Pesona dengan senyum manisnya sedangkan Mbak Nur yang menatapnya justru merasakan hal lain, wanita itu tahu kalau Pesona menyimpan banyak sekali rahasia dalam hatinya. "Walaupun di sini derajat kita berbeda, tapi kita udah tiga tahun loh Mbak Sona tinggal di rumah yang sama. sedikit banyak aku udah tahu tentang kepribadian Mbak Sona, Dan aku harap Mbak Sona juga bisa menganggap aku seorang teman, Mbak Sona bisa membagi beban berat yang Mbak Sona rasakan walaupun aku nggak bisa bantu tapi seenggaknya aku bisa mendengarkan," kata Mbak Nur dengan begitu lembut sambil sedikit berbisik karena tidak ingin ada orang lain yang mendengarkan pembicaraan mereka, Pesona terdiam pisau yang sedang ia gunakan untuk memotong sayuran mengambang di udara lalu wanita itu tersenyum. "Derajat yang berbeda bagaimana Mbak Nur, kita ini sama loh, kita sama-sama bekerja di rumah ini jadi derajat kita ya sama," jawab Pesona yang memang sama sekali tidak pernah menganggap dirinya lebih baik dari siapapun. "Ya jelas beda dong Mbak Sona, sekarang kan Mbak Sona udah jadi istrinya Pak Panca. Derajatnya Mbak Sona itu ya samanya sama bu Ratih," jawab Mbak Nur yang sudah menjadi asisten rumah tangga keluarga Panca dan Ratih sejak mereka berdua menikah dan menghuni rumah baru mereka ini, mendengar apa yang Mbak Nur katakan Pesona langsung mendelik kaget. "Hus, Mbak Nur jangan ngomong begitu, Aku yang nggak bisa disamain sama Mbak Ratih, selamanya nggak akan pernah sama Mbak Nur," jawab Pesona yang begitu tidak ingin Mbak Nur mengatakan tentang hal itu. "Beda bagaimana toh Mbak Sona? Kalian itu kan sama-sama istrinya Pak Panca, Mbak Sona dinikahi secara resmi, hubungan kalian halal di mata agama justru Pak Panca itu yang berdosa karena cuma menganggap Mbak Sona istri pajangan, padahal pernikahan kalian Kan Sah!" jawab Mbak Nur sambil berbisik, memang perempuan itu mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dan menjadi rahasia besar keluarga Panca dan Ratih tapi tentu saja dia diminta untuk ikut merahasiakannya. "Mbak Nur kan udah tau sendiri apa yang terjadi, jadi Mbak Nur jangan ngomong begitu lagi ya aku nggak enak Nanti dikiranya aku yang punya pikiran begitu," kata Pesona dengan penuh harap agar Mbak Nur yang sudah menjadi seorang sahabat untuknya tidak membahas tentang hal itu. "Hati kamu ini terbuat dari apa toh Mbak Sona? kok bisa-bisanya sih kamu begini, padahal aku tau betul kalau kamu tuh cinta sama Pak Panca, walaupun bu Ratih cemburu tapi kan bu Ratih sendiri yang udah mengiyakan Pak Panca menikahi kamu, seharusnya bu Ratih nggak boleh bersikap seperti kemarin," kata Mbak Nur menyayangkan, Pesona yang berdiri di sebelahnya hanya menghela nafas panjang mendengarnya. "Udah Mbak Nur selesaiin aja masaknya, selain aku nggak mau Mbak Ratih dengar aku juga nggak mau kita membahas tentang hal ini lagi," kata Pesona dengan begitu tegas, dengan wajah yang terlihat begitu prihatin, Mbak Nur menganggukkan kepala sambil menatap wanita yang usianya jauh lebih muda darinya. Mereka berdua lalu fokus menyelesaikan membuat sarapan lalu menyajikan makanan itu di meja makan. "Kamu mau aku bikinin kopi Mas?" Pesona dan Mbak Nur yang sedang membersihkan dapur mendengar suara Ratih yang bertanya pada sang suami, seperti biasa mereka berdua baru akan keluar dari kamar ketika sarapan sudah siap. "Iya, Sayang," jawab Panca dengan begitu lembut, Sona hanya diam mendengarnya, mendengar panggilan sayang Panca untuk sang istri sudah menjadi hal biasa untuknya walaupun setiap kali mendengarnya hati kecil wanita itu terasa dicubit. Mbak Nur keluar dari dapur karena tugasnya sudah selesai wanita itu akan pergi ke belakang dan mengerjakan pekerjaan yang lain sementara Pesona masih di dapur mengelap meja. Ratih memasang wajah masam, sama sekali tidak membalas senyum yang Pesona berikan padahal biasanya mereka akan saling menyapa setiap kali bertemu dan hal itu membuat Pesona semakin tidak enak hati dan merasa malu sejak pembicaraan mereka kemarin, ketika Pesona mengakui jika dirinya sangat mencintai Panca atas desakan Ratih yang dibakar api cemburu. Tidak ada pembicaraan antara kedua wanita itu sama sekali Ratih dalam diam mengambil cangkir mengisinya dengan gula dan kopi lalu mengambil termos yang sudah pesona isi dengan air panas yang ia rebus tadi, Pesona pun hanya diam wanita itu lalu berjalan menuju wastafel untuk mencuci lap yang baru ia gunakan sampai tiba-tiba Ratih menyenggol tubuh Pesona dan berteriak karena termos yang dia pegang jatuh dan air panasnya mengenai tangan dan kakinya juga tangan dan kaki Pesona. "Aaakkkhhh ...." kedua wanita itu terpekik diiringi dengan suara jatuhnya termos yang tadi Ratih pegang, tentu saja Panca langsung berlari memasuki dapur dengan wajah panik mendengar keributan yang terjadi begitu juga dengan Mbak Nur. "Sayang, ada apa?" tanya Panca sambil mendekati sang istri yang sedang mengibas-ngibaskan tangannya yang terkena siraman air panas dan Pesona memegang kakinya yang terkena siraman air panas dari dalam termos yang terjatuh. "Mas, Mbak Sona nyikut tangan aku, padahal Mbak Sona tau Aku lagi pegang air panas," adu Ratih pada sang suami membuat pesona mendelik kaget mendengarnya padahal jelas-jelas tadi ia merasakan jika Ratih lah yang sengaja menyenggolnya. "Mbak Ratih, kok Mbak Ratih gitu? kan tadi Pak Ratih yang sengaja nyenggol aku waktu aku lewat," jawab Pesona yang tidak mengerti dan langsung membela diri, Ratih semakin mendelik kesal menatapnya sementara Panca terlihat bingung menatap kedua wanita itu. "Apa kamu bilang? Aku sengaja nyenggol kamu Mbak? Kamu pikir aku gila mau mencelakai diri aku sendiri? kamu berusaha mengelak, kamu berusaha nyakitin aku terus kamu memutar balikan fakta biar kamu dibela sama Mas Panca gitu?" kata Ratih dengan penuh emosi, Pesona tercengang lalu tanpa sadar menggelengkan kepalanya heran, wanita itu tidak mengerti kenapa Ratih bisa melakukan hal itu padanya menuduh sesuatu yang sama sekali tidak pernah ia lakukan. "Mbak aku sama sekali nggak begitu, ya mungkin tadi Mbak Ratih emang enggak sengaja nyenggol aku tapi bukan aku yang nyenggol Mbak Ratih apalagi sengaja ngelakuin hal itu," jawab Pesona dan Ratih semakin tidak terima mendengarnya. "Mas, kamu lihat kan apa yang Mbak Sona lakuin sama aku?" tanya Ratih mencari pembelaan sang suami Pesona hanya diam kebingungan mendengarnya. "Udah, udah nggak usah diperpanjang lagi. ayo aku obatin tangan kamu, Sayang," kata Panca sambil mengajak sang istri meninggalkan dapur dengan merangkul bahunya, laki-laki itu benar-benar merasa bingung siapa yang harus dia percaya saat ini. "Mbak Nur tolong ambilin salep juga buat Pesona kayaknya kaki dia juga kena air panas," kata Panca ketika akan keluar dari dapur dan melihat Mbak Nur sedari tadi berdiri di sana, Ratih benar-benar kesal mendengarnya tapi wanita itu hanya diam mengajak sang suami pergi meninggalkan dapur. "Mbak Sona nggak apa-apa? ayo kita obatin dulu kakinya," kata Mbak Nur sambil mendekati Pesona yang benar-benar terlihat syok karena hal itu, bukan karena kakinya tersiram air panas tapi karena tahu Ratih berusaha menuduhnya melakukan hal yang sama sekali tidak pernah dia lakukan bahkan berpikiran untuk melakukan sebuah kejahatan saja Pesona tidak pernah. "Aduh Mas perih, panas," keluh Ratih ketika sang suami mengoleskan salep khusus luka bakar di kakinya. "Lain kali hati-hati, atau nanti mas minta aja sama Mbak Nur atau sama Pesona buat bikinin kopi Mas Kalau Mas pengen minum kopi, Jadi kamu nggak usah deket-deket air panas," jawab Panca dengan begitu lembut sambil terus mengoleskan salep khusus luka bakar di kaki sang istri yang sedang ia pangku mereka berada di ruang tengah saat ini. "Apa Mas, kamu minta aku hati-hati? jadi kamu nyalahin aku? kamu nggak percaya sama aku kalau Mbak Sona yang sengaja ngelakuin hal ini?" tanya Ratih dengan penuh emosi menatap sang suami yang duduk di hadapannya sambil memangku kakinya yang sedang ia obati. "Mas enggak nyalahin kamu, Sayang. Tapi Mas juga nggak percaya kalau Pesona sengaja ngelakuin hal itu, Kenapa juga Pesona harus berusaha mencelakai kamu? kalau memang tadi Pesona nyenggol tangan kamu, itu pasti karena dia nggak sengaja," Jawab Panca berusaha menenangkan sang istri dan berharap wanita itu tidak terus salah paham pada Pesona. "Aku kecewa karena kamu nggak percaya sama aku Mas, jelas Mbak Sona itu sengaja Karena Dia pengen nyelakain aku Karena Dia pengen memiliki kamu, jelas-jelas dia ngaku sama aku kalau dia cinta sama kamu Mas!" kata Ratih sambil menahan emosinya, wanita itu memang sengaja ingin memperburuk citra Pesona di hadapan sang suami agar Panca mau mengusir Pesona setelah wanita itu melahirkan anaknya. Walaupun saat semalam dirinya menanyakan pada sang suami Apakah sang suami juga mencintai Pesona suaminya langsung mengatakan tidak tapi Ratih tetap saja merasa ketakutan kalau dia harus kehilangan cinta sang suami yang seharusnya utuh menjadi miliknya. "Tapi Pesona bilang dia sama sekali nggak mencintai Mas waktu Mas tanya, kalau dia memang benar-benar mencintai Mas sudah sewajarnya dia langsung mengaku karena dia juga istri Mas saat ini. dia memang menyayangi Mas tapi hanya sebagai saudara," kata Panca dengan penuh keyakinan, Ratih hanya diam mendengarnya wanita itu tetap yakin kalau Pesona sangat mencintai sang suami terlihat dari cara Pesona menatap foto Panca kemarin. "Saudara pun kalian bukan Mas, Kamu harus ingat kalau dia bukan siapa-siapa kamu. dia cuma anak seorang pembantu," kata Ratih dengan begitu ketus membuat sang suami langsung menatapnya dengan tatapan tajam, "stop membelanya terus-menerus Mas atau aku semakin yakin kalau kamu juga mencintainya!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD