Kedua mata indah yang dibingkai bulu mata lentik itu sedikit membola ketika mendengar apa yang Panca katakan padanya, pesona benar-benar merasa ketakutan ketika mendengar pertanyaan apakah dirinya benar-benar mencintai laki-laki itu dan dari nada bicara Panca yang ia dengar dia tahu jika Panca tidak bisa menerimanya, laki-laki itu begitu terkejut dan seolah berusaha mengelakkan jika memang kenyataan jawaban dari pertanyaannya adalah iya.
"Aku nggak pernah tau apa itu cinta Mas, Aku bahkan nggak tau apakah hati aku bisa jatuh cinta atau enggak. sejak simbok meninggal aku udah nggak pernah lagi merasakan apa itu cinta dan sejak itu pun aku nggak pernah merasakannya lagi," jawab Pesona, Panca tetap menatapnya karena laki-laki itu tahu itu bukanlah jawaban dari pertanyaannya.
"Saat bapak dan simbok masih hidup, aku selalu dididik untuk menjadi orang yang tahu diri Lalu setelah mereka berdua meninggal kehidupanku semakin menempaku untuk menjadi orang yang tau diri, jangankan untuk mencintai seseorang untuk merasa layak diterima oleh mereka pun aku sulit. aku terlalu hina Mas, jadi aku nggak pernah membiarkan hati aku untuk mencintai siapapun," sambung Pesona sambil memberanikan diri untuk menatap wajah Panca yang sedari tadi tidak pernah mengalihkan pandangannya dari wanita itu.
"Ya sudah, kalau begitu lupakan pertanyaan Mas tadi. dan untuk masalah kamu sama Ratih Mas juga minta kamu lebih pengertian sama dia ya, walaupun kita sama-sama tahu kalau hubungan kita seperti apa, tapi yang namanya perempuan itu tetap memiliki rasa cemburu dan Mas minta kamu maafkan apapun yang sudah dia katakan pada kamu. Mas nggak mau ada ribut-ribut lagi di rumah apalagi sampai kamu pergi dan membahayakan diri kamu sendiri dan anak kami seperti tadi," kata Panca meminta pengertian, Pesona hanya bisa mengangguk karena memang hanya itu yang harus ia lakukan.
"Iya, Mas. Aku minta maaf, aku juga akan minta maaf sama Mbak Ratih besok," jawab Pesona lirih, Panca menganggukkan kepala sambil tersenyum lalu laki-laki itu pergi meninggalkan kamar sang istri muda, istri yang hanya ia nikahi tanpa pernah ia sentuh sedikitpun.
Wanita cantik itu termenung menatap pintu kamarnya yang baru saja Panca tutup dari luar, dia mengelus perut buncitnya di mana putra dari laki-laki yang sangat ia cintai sedang tumbuh di sana.
Rasanya sakit tapi Pesona sudah terbiasa seakan rasa sakit adalah makanan sehari-hari untuk hatinya bahkan sejak Ia dilahirkan, dan Panca adalah satu-satunya orang yang bisa menghilangkan rasa sakit hati itu, rasa sakit ketika dirinya dihina, rasa sakit ketika dirinya mendapat cemoohan dari orang orang di sekitarnya.
"Heh, anak pincang enggak usah sekolah. Buat apa kamu sekolah, anak pincang kayak kamu enggak bakalan bisa jadi orang berguna!"
"Udah pincang nggak punya orang tua, lebih baik kamu di kandang kerbaunya juragan Prasojo saja sana nggak usah sekolah!"
"Aku juga mau sekolah, walaupun aku pincang tapi aku punya cita-cita. aku mau jadi guru!"
"Hah? jadi guru mana ada anak yang mau jadi murid orang pincang kayak kamu!"
"Dasar nggak tau diri! udah pincang, miskin, nggak punya orang tua pengen jadi guru!"
"Heh! jangan ganggu dia!"
Ketiga anak yang sedang merundung Pesona langsung berlari ketika mendengar teriakan Panca yang datang sambil mengendarai sepedanya, tapi karena kejahilannya salah satu anak tersebut mendorong Pesona kecil sebelum ia berlari hingga gadis kecil itu tersungkur di atas tanah bebatuan membuat lututnya lecet dan berdarah. Pesona menangis bukan hanya karena lututnya yang terluka tapi hatinya yang jauh lebih berdarah-darah saat ini.
"Lutut kamu sakit? Kamu bisa bonceng sepeda sampai ke sekolah?" Pesona kecil hanya menggelengkan kepala mendengar apa yang Panca kecil tanyakan.
Lalu yang terjadi kemudian adalah Panca kecil menggendong Pesona kecil di punggungnya sampai ke sekolah dan sepanjang perjalanan itu Panca menghibur hati Pesona dengan berbagai ucapan penuh semangat untuk membesarkan hati Pesona yang tengah terluka.
Sejak saat itu bahkan jauh sebelumnya hanya Panca yang bisa membesarkan hati Pesona menghibur hati gadis kecil itu yang selalu terluka, di dalam hati kecil Pesona hanya ada cinta Panca yang besar tapi sama sekali tidak terlihat karena selalu berusaha ia tutupi dengan kesadaran dirinya.
Pesona hanya bisa menangis saat ini merasakan hatinya begitu terluka tapi dia sadar diri, cintanya hanya sebuah pemujaan yang tidak akan pernah mendapat balasan, cintanya hanya sebuah perasaan yang bisa membuatnya ribuan kali lebih terluka tapi Pesona tetap mempertahankannya karena memang hati itu tidak tahu harus bagaimana, sedari kecil hati itu hanya diisi oleh cinta Panca.
Sementara Pesona menangis di dalam kamarnya, Walaupun dia tidak tahu apa yang harus dia tangisi Karena ia merasa ini adalah nasibnya, di dalam kamarnya Ratih menyambut sang suami yang baru saja kembali dari kamar istri mudanya.
"Mas, Mbak Sona ngomong apa sama kamu?" tanya Ratih sambil menggenggam tangan sang suami dan dapat terlihat dari sorot matanya jika wanita itu benar-benar merasa ketakutan saat ini.
"Dia nggak ngomong apa-apa, Sayang, sekarang kamu jelasin sama Mas apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Panca sembari mengajak sang istri untuk duduk di tepi ranjang mereka.
"Kamu tanya apa yang terjadi Mas? yang kamu tanyain penyebab hari ini Mbak Sona pergi dari rumah kan, tapi kamu nggak menyadari kalau sebenarnya masalah yang terjadi di rumah tangga kita udah lama. bahkan masalah itu udah terjadi jauh sebelum kita berumah tangga, Mbak Sona itu mencintai kamu Mas, Apa kamu nggak ngerasa?" Panca langsung menggelengkan kepala mendengar apa yang istrinya tanyakan.
"Karena kamu tau pesona itu bukan adik kandungku makanya kamu merasa begini, kamu juga ngeliat kakak-kakak perempuanku semua mencintai dan menyayangiku maka seperti itu pula yang Pesona rasakan padaku, kami tumbuh bersama-sama, Sayang, sejak kecil Pesona sebatang kara dan aku nggak punya adik perempuan makanya kami sudah saling menyayangi seperti saudara," kata Panca dengan begitu lembut sambil menggenggam tangan sang istri meminta agar wanita itu mengerti bagaimana hubungannya dengan Pesona.
"Mungkin kamu menganggapnya seperti itu Mas, tapi nggak dengan Mbak Sona, dia udah mengakui semuanya sama aku Mas dia mengakui kalau dia mencintai kamu, dan itu sangat membuat hatiku sakit. kamu pikir ada perempuan yang enggak merasa sakit saat ada orang lain mengakui kalau dia sangat mencintai suaminya?" tanya Ratih dengan suara bergetar kedua mata wanita cantik itu berkaca-kaca saat menatap kedua mata Sang suami yang terlihat teduh dan sedikit menyipit karena senyumnya.
"Kamu cuma lagi ngerasa cemburu, kamu cemburu bukan hanya karena merasa Pesona mencintai Mas, tapi kamu juga ngerasa cemburu karena sekarang benih Mas sedang tumbuh di dalam rahim Pesona. Mas ngerti banget perasaan kamu Sayang, mungkin kamu juga merasa nggak percaya diri karena kamu merasa nggak bisa ngasih keturunan buat Mas. tapi kamu harus tau kalau cuma kamu satu-satunya orang yang ada di dalam hati Mas, cuma Kamu orang yang Mas cintai, cuma kamu Sayang," tutur Panca dengan begitu lembut, laki-laki itu lalu menarik sang istri ke dalam pelukan untuk menenangkan hatinya agar tidak lagi dikuasai oleh rasa cemburunya, karena yang Panca yakini saat ini adalah Pesona tidak mungkin mencintainya walaupun keyakinan itu sedikit goyah ketika menatap mata Pesona tadi.
"Kalau begitu aku mau minta sesuatu Mas," ucap Ratih sambil melepaskan pelukannya di tubuh kekar sang suami, Panca tersenyum, menganggukkan kepala sambil menatap wajah suami istri yang begitu dicintainya.
"Kamu bilang aja, Sayang, kamu mau apa Mas akan berikan yang penting hati kamu bisa lebih tenang," jawab Panca dengan begitu lembut.
"Aku mau setelah Mbak Sona melahirkan anak kita, kamu langsung menceraikannya dan minta dia pergi dari rumah ini," pinta Ratih yang memang begitu merasa terancam dengan keberadaan Pesona di rumah mereka.
"Mas pasti akan menceraikan Pesona, Sayang, karena kamu tau sendiri kan Apa alasan Mas menikahinya. tapi Mas enggak bisa kalau harus minta dia pergi dari rumah ini, Kamu ingat kan dia ada di rumah ini karena syarat dari Romo untuk pernikahan kita," jawab Panca mengingatkan akan perjanjian yang sudah Ratih sepakati sebelum mereka menikah dulu.
"Tentu aja aku ingat Mas, sampai saat ini pun aku nggak pernah lupa kalau kedua orang tua kamu itu memang nggak merestui Pernikahan kita," jawab Ratih jelas kesedihan selalu membayangi wajahnya ketika mengingat tentang hal itu.
"kenapa kamu masih bahas soal itu, Sayang? kan sekarang mereka sudah menerima kamu dan mereka sedang bahagia menanti anak kita," jawab Panca, sang istri malah berdecak kecil mendengar apa yang laki-laki itu katakan.
"Lalu mereka akan membuangku, dan berusaha memisahkan kita seperti dulu kalau mereka tau kalau aku nggak mengandung anak kamu, mereka pasti akan ribuan kali lebih membenciku kalau tau tentang kebohongan kita!" Ratih menangis ketika mengucapkan kemungkinan yang begitu memilukan itu, membayangkannya saja sudah membuat hatinya begitu terluka apalagi jika hal itu sampai terjadi.
"Karena itu kita nggak boleh meminta Pesona untuk pergi dari rumah ini, Mas akan menceraikannya tapi kita harus mempertahankan Pesona di sini," jawab Panca, laki-laki itu juga tidak pernah tahu jika kehidupan rumah tangganya akan sesulit ini, Yang laki-laki itu tahu hanyalah ia harus melakukan apapun untuk mempertahankan rumah tangganya dengan wanita yang paling ia cintai, wanita yang sudah ia perjuangkan walau harus menentang kedua orang tua yang sangat dihormati dan Panca tidak menyadari sama sekali jika di sisi lain dia juga menyakiti hati seorang wanita yang sangat mencintainya.
Panca adalah seorang putra bungsu, Putra satu-satunya dari keluarga Prasodjo Kartawijaya, keluarga berdarah Jawa yang sangat kental dengan adat dan budaya, keluarga sesepuh di tanah mereka tinggal, tapi Panca jatuh cinta pada seorang wanita yang secara garis keturunan dan silsilah tidak boleh Panca nikahi hingga pernikahan mereka begitu ditentang oleh keluarga Panca.
Namum, laki-laki itu benar-benar memperjuangkan cintanya meskipun menentang hukum adat istiadat keluarga yang begitu dijunjung tinggi oleh orang tuanya, keluarga Panca akhirnya membiarkan laki-laki itu menikahi Ratih walau dengan berat hati tapi meminta Panca keluar dari rumah mereka, meminta Panca pergi dari tanah leluhur mereka tapi tetap meminta Pesona untuk ikut dengan Panca dan menjaga laki-laki itu.
Orang tua pesona adalah abdi dalem keluarga Prasojo Kartawijaya, ayahnya Nurdin meninggal karena kecelakaan kerja ketika Pesona baru berusia 4 tahun, dan nahasnya nasib Pesona karena Mirah sang ibu yang memang sudah tidak sehat sejak masa mudanya meninggal 3 tahun kemudian lalu Pesona hidup diasuh oleh para abdi dalem keluarga Prasojo Kartawijaya hingga Gadis itu pun menjadi pengabdi di keluarga itu, juga pengabdi cinta Panca tanpa ada seorang pun yang mengetahuinya.
"Mas aku nggak akan bisa menahan kecemburuan setelah aku tau kalau mbak Sona itu mencintai kamu, aku mohon Mas, minta Mbak Sona pergi dari rumah ini tanpa keluarga kamu tau," pinta Ratih dengan begitu memelas, dia hanyalah seorang istri yang sedang merasa cemburu saat ini.
"Mas enggak bisa, Sayang."
"Kenapa Mas, apa karena kamu juga mencintai Mbak Sona?"