Chapter 3

996 Words
Gladys benar-benar gusar akan peristiwa yang pasti berdampak tidak baik untuknya. Lain dengan mereka yang mayoritas berbahagia atas kepulangan cowok most wanted Pradana, Gladys sepertinya yang sendirian setres memikirkan. Kenapa dia pulang? Sementarakah? Apa selamanya? Ia takut. Tetapi bukan takut pada lelaki itu! Otaknya membawa lintasan masa lalu itu lagi. Mencengkeram kuat rambut hitam sepunggungnya, Gladys sungguh tidak ingin ingat kejadian kelam itu. Semua karena cowok itu. Kenapa juga dia harus kembali?! Napasnya tersengal-sengal layaknya orang sehabis lomba lari. Meneguk saliva kuat, matanya mendeteksi seluruh sudut kamarnya. Alunan dering ponsel khas I-phone di atas nakas menyentaknya. Dengan tergesah meraih benda pipih itu, lalu diletakkan di telinga kirinya. “Kamu lagi dimana nak?” “Kamar, Pah.” terputus ia masih mencoba menguasai diri. “Tadi pagi mama telpon, dia mungkin pulang larut hari ini. Mama lupa kasih tau kamu pas kamu berangkat, makanya nelpon papa. Takut lupa katanya.” “Iya, Pah.” “Jangan suka ngelamun, nak. Gak baik. Apa mau papa transfer uang buat main bareng temen-temen kamu?” Gladys berangsur menguasai kegusarannya. Gadis itu menggeleng. “Lagi pengen sendiri Pah.” “Ya sudah. Papa tutup telponnya, ya? Kamu hati-hati.” sambungan terputus setelah Gladys menjawab salam Herman. Hening. Setelah semua ini, ia terpaksa harus memakai taktik lama. Muslihat yang sama seperti saat ia masih awal-awal menjadi junior. Suasana kantin pagi ini tidak seperti biasanya. Jika selama ini meja milik Gladys cs itu tidak tersentuh, saat ini dengan santainya keempat cowok bertubuh tinggi sudah nangkring disana. Riuh kantin semakin menjadi ketika objek pembicaraan terlihat memasuki area kantin. “Satria mulai lagi. Kayaknya spekulasi kalo dia suka sama lo bener deh, Dys.” “Sangsi gue dia balik karna lo.” Eva menimpali ucapan Nadia. Gladys hanya berdecak menanggapi ocehan teman-temannya. Sebenarnya, pergi dari tempat itu adalah keinginannya. Tetapi apa yang akan dikatakan junior-junior nya jika melihat dia menghindar? Sangat bukan dirinya. Dan untuk seseorang yang lebih meninggikan harga diri, kakinya melangkah mendekati Satria yang sedang ria membicarakan sesuatu hal yang Gladys tidak tau itu apa. Dan lihat, senyum manis khas Satria terbit ketika mengetahui Gladys tepat disampingnya. “Hei,” Satria bangkit. Tak kunjung dijawab, mata cowok itu melihat ke belakang Gladys. “Cecunguk baru? Iya lupa, Sandra udah out ya.” yang disebut merasa tak suka dengan sebutan itu meski yang kelihatan selama ini itu memang adanya. “Pindah. Ini tempat gue.” suruh Gladys menghindari sepasang iris coklat di depannya. “Oh... Jadi ini tempat kamu,” cowok itu mangut-mangut. Matanya memperhatikan Gladys dari atas sampai bawah, intens. Tangan Gladys mengepal kuat. Ingin sekali mencolok mata c***l itu dengan garpu. Satria memberi gerakan kepala kepada sahabat-sahabatnya. Evan dan Julian ikut saja. Sementara Fahri, ia sempat memberi penolakan dengan plototan yang kemudian harus pasrah juga pada akhirnya. Sontak itu semua mengundang perhatian lebih dari penghuni kantin akan sikap mengalah Satria. Keangkuhan atas kemenangan tak langsung itu Eva, Lita dan Nadia tampilkan ketika menduduki bangku single yang sebelumnya ditempati para cowok berparas handsome. Keadaan mulai berangsur normal. Tak lagi berfokus pada Gladys dan Satria. Mereka memilih pindah tempat di meja samping kiri dekat dengan Gladys cs. “Cewek sekarang kebanyakan pendek. Tau Elsa anak Garuda? Beuh, pengen dikekepin mulu rasanya.” “Yang kata lo kayak berbi?” Fahri meyakinkan ingatannya untuk ucapan random Julian. Julian mengangguk yakin. “Cewek mungil lagi tranding topic emang.” “Boncel?” “Bukan boncel Van, tapi tingginya rata-rata 140 senti meteran.” Julian menyangkal Evan. Jika mereka sibuk dengan topik cewek mungil, lain Satria yang hanya fokus memandang Gladys dari samping. Baginya, Gadis itu tidak banyak berubah. Kulitnya masih seputih s**u. Matanya tidak terlalu besar, bulu mata lentik, hidung mancung kecil. Hanya satu yang berbeda. Cewek itu makin cantik. “Mau gue kenalin gak bang Sat?” tawar Julian menginterupsi Satria. “Hashtag gue gak ikut tren. Enak juga cewek yang tingginya dibawah gue dikit. Sekitar 160 lah.” ujarnya sambil tak lepas dari Gladys. Posisi mereka tidak terlalu jauh, masih dapat mendengar suara masing-masing dengan jelas. Dan dilihat dari gelagat Gladys, gamblang sekali ia tidak nyaman. Julian bersiul. “Enaknya bos?” “Gak capek nunduk aja.” mereka terkekeh usil. “Kalo mau gitu ya bro,” Julian menanggapi bahagia. Ya, dia memang paling suka topik beginian. Cowok bermata sipit itu memonyongkan bibir yang digeplak kemudian dari samping. “t*i lo!” Fahri terbahak. Risi. Gladys tidak tuli sampai tak mendengar obrolan absurd kumpulan cowok itu. Menanggapi teman-temannya dengan sesekali tersenyum paksa. Ia berusaha pura-pura tidak dengar saja. “Ciri jelasnya?” lanjut Julian. “Udah ada kok.” “Ciri orangnya kalo gitu.” “Menarik. Enak dipandang, tapi gak berani megang. Galak soalnya.” “Si bang Sat kena virus mata gogok lo di Surabaya? Tajem bener.” hanya itu saja meja yang dihuni keempat kaum adam itu bahagia. Brak! Tawa mereka terhenti. Memaling ke sumber gebrakan. “Gue ke kelas duluan.” Gladys bertolak ke kelas. Mereka yang semeja dengan Gladys saling melempar tatapan bertanya. “Lagi pms kali.” Nadia bersuara. Kemudian melanjutkan makan tak terusik kepergian Gladys. Setiap tingkat sekolah pasti ada penghujungnya. Contohnya pendidikan tingkat menengah. Menjadi murid akhir yang diduduki kelas duabelas selalu mendapat wanti-wanti dari awal. Dibiasakan menghadapi Ujian yang sudah berbasis komputer, belum lagi jajaran tugas yang bahkan sudah menumpuk di awal. Memang tidak dikumpulkan sekarang. Tetapi ucapan guru berbanding terbalik, yang seolah mendesak mereka untuk segera menyelesaikan. Katanya agar tidak repot karena pasti banyak tugas juga dari guru lainnya. Oleh karena itu, siswa bersangkutan mau tidak mau harus membuat tugas yang rata-rata diberikan secara berkelompok. Minoritas ada yang langsung mengerjakan. Itupun bagi kelompok yang didalamnya terdapat siswa normal, yang ingin mendapat nilai. Apalagi zaman globalisasi sekarang. Mayoritas tak acuh saat diperingati, memilih ngaret dan akan terlilit saat waktunya mepet. Paling parah mereka yang sok berkuasa. Menjadi benalu memerintah sesuka hati. “Kezel gue banyak tugas gini. Mending juga ke mall, happy shoping.” kata Eva sibuk memberi cat merah pada kukunya. “Bener banget. Belom lagi si Bujan, ngapain coba ada drama-drama segala. Dipikir kita artis apa suruh akting.” Bujan sebutan asal dari mereka untuk guru Seni Budaya yang berstatus Janda. Sepulang sekolah mereka pergi dan berkumpul di rumah Nadia. “Oh iya Dys, kenapa gue ngerasa lo diem mulu ya hari ini. Lo sakit? PMS?” Lita merebahkan diri di samping Gladys. “Gak papa.” “Oh gue tau! Lo badmood karna si valak gak masuk ya?” “Belom juga diapa-apain udah sakit. Cabe cupu emang.” Nadia mencibir. Ting! Gladys meraih ponselnya yang berbunyi tanda pesan masuk. Ini Satria Save ya “Siapa?” tanya Nadia menangkap raut masamnya. “Gak penting.” Mengabaikan pesan itu, Gladys langsung memblokir kontak yang bahkan belum memiliki nama tersebut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD