Chapter 1
Gladys Ignacia. Name tag yang melekat pada seragam putih yang dibiarkan keluar begitu saja oleh pemakainya. Dengan seragam ketat diatas lutut, devil berparas ayu itu mencoba menekan mental gadis yang baru saja mengenakan seragam putih abu, yang sekarang ini bersandar takut di dinding toilet.
“Tau siapa gue?”
“K-k-kak Gladys,” cicit adik kelasnya semakin merapatkan diri ke tembok.
“Guys, kalian yakin udah nyebarin brosur aturan gue ke semua anak baru?” Nadia, Eva dan Lita menyeringai melihat raut panik sandraan Gladys.
“Yakin lah, Dys. Dan kayaknya, gue inget sesuatu deh. Junior kita yang cute ini, salah satu yang terima brosur dan lima detik kemudian di buang ke tong sampah. Sadis banget kan?” Nadia mendramatisir.
Gladys mengangkat alis kanannya.
“Jadi gitu. Ck! Maunya dicontohin langsung, ya dek?” memberi isyarat pada gengnya, mereka langsung mengungkung akses penolakan gadis berkepang dua itu.
Gladys maju membuka ikatan kepangnya, sedikit kasar karena gadis itu mencoba memberontak. Membuang kaca mata bundar, lalu Gladys mengambil gunting dari saku belakang roknya. Dengan alat silang tajam itu Gladys menggunting asal rok panjangnya melingkar hingga berbentuk absurd.
Terakhir, Lita mengambil seember air dan menyiram gadis malang tersebut.
“Pertama, jangan pernah lingker-lingker gak jelas rambut lo. Kedua, gue gak suka baju kebesaran. Ketiga, gue jijik liat orang kayak lo!” tekannya emosi. “Lo berubah, lo bebas dari gue.”
Gladys berbalik yang langsung diikuti ketiga temannya, meninggalkan tangisan sendu di dalamnya.
Banyak yang berubah dari SMA Pradana. Satu tahun yang lalu, sekolah itu begitu tenang tanpa adanya kejadian bullying seperti sekarang ini. Paling parah ketika penerimaan siswa baru, sekedip saja Gladys cs menangkap ada yang melanggar aturan yang dibuatnya, maka sasaran itu akan berakhir di tangan mereka.
Karena itu pula, semua yang terceklis melanggar aturan si Ratu Bullying, dengan segera mereka akan merubah penampilan sesuai kemauan Gladys.
Kecuali satu orang. Satu orang yang selalu menjadi incaran Gladys karena membangkang dari peringatan pertama.
Gladys menduduki kelas 12 Bahasa 3. Sederajat dengan Velly, si gadis pembangkang. Untungnya mereka beda kelas. Entah apa yang akan terjadi, andai mereka ditempatkan selama hampir setengah hari di ruangan yang sama.
Mungkin tinggal nama.
“Dys, ada valak noh!”
“Najisin banget tuh, cupu. Gaya aja gitu, tapi di luar ngepet sana-sini. Euyu,”
Duduk melingkar di meja yang di klaim milik mereka, semua murid yang lain menjauhi meja kantin yang terletak di tengah-tengah itu.
Jika pada pelanggar lainnya, terlebih awal senyuman manis Gladys canangkan. Tapi tidak untuk yang satu ini. Gadis yang sedang duduk sendiri di sudut kanan kantin itu sedang memakan semangkuk bakso sambil menunduk.
Deritan kursi menggema melenyapkan hiruk-pikuk kantin. Semua mata tertuju padanya. Sepasang sepatu putihnya melangkah lurus ke arah angka dua jarum jam.
“Enak ya, baksonya?” smirknya tepat di samping telinga Velly. Tubuh Velly menegang, sangat mengenal suara itu.
“Tapi kok warnanya gak menarik gitu,” Gladys berucap kasihan. Dua detik kemudian wajahnya berbinar. “Tenang aja, gue punya bumbu khusus buat peri cantik.” Gladys meraih tiga macam jus dari meja terdekat dan dituangkan ke dalam mangkuk bakso di depan gadis yang kini dilanda ketakutan akut.
Tidak ada yang berani membantu apalagi memprotes tindak semena-mena manusia arogan berjenis kelamin perempuan itu.
Prinsipnya; Teman musuh, otomatis menjadi musuh.
“Tuhkan, warnanya jadi rainbow aduk. Tapi tunggu,” Gladys pergi ke salah satu stan dan membawa bumbu kunyit yang sudah halus.
"Sekarang, pelanginya berganti mentari!” ia girang sendiri.
Desis-desisan mulai terdengar mengomentari kejadian yang sedang terjadi. Kebanyakan bisikan itu berisi merutuki kebebalan Velly yang masih juga berpenampilan yang Gladys benci.
Walaupun mereka tidak tahu kenapa cewek iblis itu sangat benci penampilan seperti itu, masa bodoh tak ingin bertanya. Bagi mereka yang tak ambil pusing, cukup menurut dan tidak perlu berulah. Toh tidak rugi ini.
“Satu tahap lagi, karya Gladys selesai.” mengambil mangkuk full cairan bergumpal, ditumpahkannya tepat di kepala Velly sekaligus.
“Finish!” gelak tawa ketiga teman Gladys bersahutan di dalam kesunyian yang tercipta.
Setelah menciptakan kekacauan, Gladys dan teman-temannya pergi meninggalkan kantin. Barulah mereka yang sedari tadi menjadi penonton menghampiri Velly memberi pertolongan. Yah, walaupun itu telat.
“Gladys makin menjadi.”
“Cantik sih, tapi kelakuan minus banyak.” Dari jauh tiga lelaki yang mau tak mau melihat kejadian tadi mulai berkomentar.
“Fahri, Evan, lo gak tau pepatah yang mengatakan kalo cewek cantik itu bebas ngelakuin apapun? Jadi, walaupun Gladys kayak devil, karna dia cantik, ya bebas.” cowok berambut cepak itu nimbrung.
“Pepatah apaan?” Fahri meringis ngeri.
“Pepatah tuan Julian Victororrianes.” pongah Julian menepuk dadanya dua kali.
Fahri dan Evan mendengkus malas. Mereka semakin yakin kalau Julian itu anak pungut di keluarganya yang semua berhimpun di dunia kedokteran.
Miris.
“Apa ini perbuatan kamu lagi, Gladys?” Reliana, guru BK yang galaknya tingkat lepas ukuran itu, kini bertanya lemah.
“Bingung saya. Kamu gak mikir, sekolah udah berbaik hati nampung kamu dari kelas dua dengan kasus yang sama, berulang, dan lagi-lagi korbannya orang yang sama. Seharusnya kamu berubah! Setidaknya sebagai tanda balas budi kamu terhadap sekolah. Tapi kamu malah—huh! Sebenarnya kamu punya dendam apa sih sama Velly? Dia salah apa sama kamu?” Gladys menunduk memainkan kukunya tanpa merasa terusik sedikitpun dengan pertanyaan yang dilayangkan padanya.
Reliana menggeleng pasrah. Ulahnya begitu anarki, tetapi ketika ditanya penyebabnya apa, murid dihadapannya ini pasti diam.
“Oke. Kalo kamu tetap tidak mau bilang, terpaksa saya akan memberi peringatan terakhir untuk kamu. Jika sekali lagi kamu membully, maka pihak sekolah dengan senang hati mengeluarkan kamu.” Gladys bergumam pelan. Seakan-akan ucapan Reliana hanyalah ucapan biasa.
Bel tanda pulang berbunyi seantero Pradana. Siswa-siswi berbondong-bondong menuju parkiran untuk mengambil kendaraan masing-masing. Ketika Gladys hendak masuk ke mobil, netranya menangkap seorang gadis dengan penampilan mengenaskan sedang mencoba menstater kaki motor beat hitam miliknya.
Senyum Gladys terbit. Menutup kembali pintu mobil, iapun berjalan mendekati Velly.
“Kenapa Vel?” langkah Gladys terhenti tepat saat suara dengan pemiliknya itu bertanya.
“Aku juga gak tau Fahri. Padahal tadi pagi baik-baik aja.”
“Biar gue liat,” Fahri mencoba melakukan hal yang sama pada motor Vely.
Setelah beberapa kali mencoba kick-stater, bunyi mesin pun terdengar. Dengan segera Fahri menggas kencang sembari menekan kedua rem tangan.
“Saran gue lo ke bengkel deh. Aki lo soalnya mulai eror.” jelas Fahri.
“Oh, gitu ya. Makasih ya,” balas Velly segan.
“Pantes lah eror, yang make juga rada-rada.” celetuk Gladys yang sedari tadi muak melihat interaksi keduanya.
Lain hal dengan Velly yang menunduk takut, Fahri menatap jengah pada Gladys.
“Ngapain lo?” tatapan Fahri tak lepas saat Gladys berjalan semakin mendekati Velly. Fahri menarik lengannya lalu menghentaknya kasar.
“Pergi!” keduanya bersitatap sengit.
Bukannya menjauh, Gladys malah menyamping dan mendorong motor Velly hingga jatuh. Fahri semakin murka.
“Lo bener-bener—”
“Fahri! Dia cewek, Ri!” Evan dan Julian datang dan menahan Fahri yang hendak melayangkan pukulan pada Gladys.
“Persetan mau cewek atau cowok!” Fahri mencoba maju yang lagi-lagi di cegah kedua temannya.
“Kendaliin emosi lo!” Evan semakin geram. Deringan ponsel miliknya memecah di antara deru napas Fahri.
“Kenapa Sat?”
Seketika wajah Gladys memucat. Sebisa mungkin menetralkan raut wajahnya agar tidak kentara. Namun pandangannya bertubrukan dengan iris tajam milik Fahri. Jelas sekali Fahri menangkap ekspresinya yang berubah pias.
Tak ingin berlama-lama, Gladys melengos dan berlalu pergi tanpa kata.