Chapter 4

1303 Words
Tidak semua kata sepi berarti hidup tanpa ada seseorang. Karena hakikat sendiri, bisa terjadi meski ada orang lain di sisi. Dan itu yang dirasakan Gladys. Di sekolah ia punya teman. Tetapi sebatas 'teman' yang berarti sesungguhnya. Yaitu mereka yang hanya ada disaat sebuah rasa tersurat. Di rumah, ia juga punya kedua orang yang berjasa menghadirkannya. Memberi apa saja yang ia mau, dan menjaganya kala tubuhnya melemah terjerat sakit. Tetapi jauh dari itu, tidak ada yang tahu apa yang benar-benar ia butuhkan. Sesuatu yang sederhana. Ia tidak bisa menyalahkan siapapun untuk itu. Karena sejatinya, ialah yang salah. Menyembunyikan hal yang seharusnya ia bagi minimal pada ibu atau ayahnya. Namun niat itu belum juga bisa ia realisasikan. Atau bahkan tidak akan pernah. Memilih mengurung diri dalam kesakitan jauh di dasar sukmanya yang membelenggu tanpa ampun. Sebagai pelampiasan, ia melempar sakitnya pada mereka yang sebenarnya tidak memiliki dosa apapun padanya. Terserah kalian ingin membecinya atau menyebutnya jahat. Ia tidak butuh komentar. Karena yang tahu seberapa sakitnya, hanya dia seorang. “Dia udah sama kita. Lo dimana?” “Gudang kosong jalan melati. Tau kan?” “Gue otw.” Setelah tiga hari izin dengan alasan sakit, dua hari kemudian Velly kembali bersekolah seperti biasa. Bedanya, ia tidak menggunakan embel-embel rambut di kepang. Tetapi kaca mata bundar bergagang hitam masih terpasang baik di matanya. Tidak terlalu heran. Karena sebenarnya Velly pernah tidak mengepang rambutnya. Hanya saja, entah karena bodoh atau apa, semua itu selalu terjadi hanya satu minggu sekali. Seperti sudah terjadwal. Otomatis jika mode nerd nya muncul, Gladys cs pasti bertindak. Seperti sekarang, Nadia, Eva dan Lita membawa paksa Velly sepulang sekolah dengan menutup mulutnya dengan ikatan kain yang kuat. Di dalam mobil Velly duduk diantara Lita dan Eva yang menahan tangannya dan Nadia yang menyetir mobil. Ketiganya seakan tuli oleh geraman Velly yang menahan tangis. Sepuluh menit kemudian mereka sampai dan segera menyeret Velly masuk ke dalam gudang. Seringai jahat Gladys tercetak jelas. Selama di sekolah ia mencoba meredam amarahnya yang bergejolak melihat Velly dengan tampilan biasa. Kebiasaan yang dampaknya buruk sekali—memuncak emosinya. Tanpa aba-aba tangannya menampar pipi kanan Velly. Sebuah tamparan yang menimbulkan keterkejutan semua orang disana. Gladys menarik rambut Velly hingga kedua temannya yang memegang Velly melepasnya cepat. Cewek itu membabi buta menghujani tamparan berulang dengan beberapa kali mendorong bahkan menendang. “Guys, valak bisa mati kalo gini.” wajah Nadia memucat yang tak jauh berbeda dengan Eva dan Lita. “Lo b**o! Bodoh! Kenapa lo selalu membangkang. HAH?! Gue bilang jangan kampungan gini, harusnya lo nurut! Dasar b*****t!” ikatan pada bibirnya ikut tercabut saking ganasnya tarikan Gladys. Cengkeramannya begitu kuat pada rambut Velly. Gadis itu berteriak kesakitan. Meskipun sering kali menyerang Velly, namun kali ini adalah yang terparah. Brutalnya sangat-sangat di luar perkiraan—bahkan untuk tiga orang temannya. Dan saat ini mata mereka seakan ingin keluar. Gladys duduk diatas d**a Velly, mencekam leher Velly beringas. “Lepasin, Dys! Lo bisa bunuh dia.” mereka mencoba menarik lengan Gladys. Berhasil. Gladys terpental terduduk di lantai. Tatapannya bengis menyorot Velly yang terbatuk menarik napas. Dari kantong rok hitamnya ia meraih sesuatu. Kali ini bukan gunting yang biasanya ia gunakan. Melainkan sebuah pisau lipat yang satu sisinya begitu klimis. Terlihat begitu mengkilap dan tajam. Sontak Nadia, Eva dan Lita semakin waspada dengan menjauhi Velly dari Gladys yang sepertinya tengah kerasukan. Nadia bertugas mencengkeram Gladys. “LEPASIN GUE!” tanpa sengaja pisau itu melukai pergelangan Nadia, menyebabkan cengkeraman pada tangan Gladys terlepas berakhir dengan ringisan. Seperti kesetanan Gadis itu menghampiri Velly yang beringsut takut menghindarinya dalam awasan Eva dan Lita. Pancaran matanya berbeda dari biasanya. Kekalutan tersirat jelas. “LEPASIN!” seseorang merengkuh tubuhnya dengan melempar pisau lipat itu terlebih dahulu. “Bawa Velly pergi. BURUAN!” ia adalah Satria. Mereka berempat menuruti Satria keluar dari gudang. “KENAPA KALIAN BAWA DIA! GUE BILANG BALIK....!!!!” “Sadar Dys, sadar!” Satria mencoba menahannya. Tatapan membunuh berbalik kearahnya. “LO b******n! b******k! KALIAN SEMUA BRENGSEK...!!!” “Hei, hei, hei. Denger gue! Tenangin emosi lo,” Gladys hendak menjauh ke arah luar yang masih bisa dicegah Satria. Direngkuhnya tubuh itu. Gladys memberontak mendorong Satria, namun gagal karena bagaimanapun tenaganya kalah dari Satria. Beberapa saat berlalu akhirnya cewek itu diam dari berontak. “Rumah kamu masih sama?” yang ditanya tak merespon apapun. Matanya lurus—kosong. Satria memaklumi. Ia mencari tahu lewat teman-teman Gladys. Setelah mengetahui alamat rumah Gladys yang ternyata beda dari yang dulu, dengan lekas ia membawa Gadis itu melaju pergi dengan mobil milik Gladys. Sampai di depan rumah mimimalis bertingkat dua sesuai info yang ia dapat, tak tunggu lama Satria memencet bel yang setengah menit berikutnya pintu berwarna kayu mengkilat itu terbuka. Asisten rumah tangga yang membukakan pintu sempat menyemprot Satria banyak pertanyaan tentang keadaan anak majikannya itu. Tetapi tidak digubrisnya dengan langsung menanyakan keberadaan kamar gadis di sampingnya. Membuka pintu kamar, Satria mengiring Gladys masuk lalu mendudukkannya di ranjang berukuran king. Mereka sama-sama tak berniat membuka suara memecah keheningan. Hanya hembusan napas samar keduanya beradu di ruangan serba pink itu. Satria menatap gadis dihadapannya serba salah. Cowok itu sedikit turun menumpuhkan satu lututnya di lantai. Satria menghela napas sebelum berucap. “Jangan ulangi lagi, ya?” “Gak papa kalo emang lo mau bully Velly, tapi jangan sampai kayak tadi lagi. Dia pasti punya alasan kenapa dia ngelakuin hal yang lo gak suka. Lagian siapa yang mau sakit cuma karna penampilan?” “Lo harus belajar lupain itu, Dys. Lo gak boleh gini terus.” Gladys langsung menatap Satria tajam. “Per.gi,” desisnya. “Itu udah tiga tahun lalu. Lo pasti bisa kalo lo mencoba.” “PERGI!!!” Gladys memukulinya asal. Cukup lama membiarkan, Satria menghentikan kedua tanganya. “Oke, oke. Gue pergi.” Satria beranjak menuju pintu. Sebelum benar-benar pergi, ia berbalik sekali lagi. “Maaf.” Dan ketika punggung itu menghilang di balik pintu, butir bening demi butir tak dapat ia bendung lagi. Menahan erangan, lirih dalam sunyi. Semua kembali seperti semula. Nadia sebagai satu-satunya teman yang berada di kelas yang sama, menyapanya biasa. Seolah-olah kejadian kemarin tidak nyata adanya. Biarlah begini. Untuk pelajaran, mereka bertiga sepakat tidak akan menurut jika Gladys meminta hal yang sama di luar sekolah. Sangat berbahaya. “Dys, ini coklat—dari Satria.” Nadia menyodorkan ragu cokelat berkemasan ungu persegi panjang sedang. Lama Gladys hanya melihat cokelat yang diletakkan di hadapannya. “Dia bilang, lo gak suka kacang. Makanya kagak beli yang balok.” Nadia pikir, apapun yang ia katakan Gladys mana sudi menyentuh apalagi memakan cokelat dari Satria. Namun dugaannya meleset. Gladys tidak hanya menyentuhnya, bahkan sekarang ia memakannya dengan pelan—menikmati sembari tangan kiri memainkan ponsel. Gladys menengok ke kanan karena merasa Nadia terus memperhatikannya. “Kenapa?” Nadia nyengir paksa sembari menggeleng cepat. “Enak ya coklatnya,” hanya angkatan bahu sekali sebagai jawaban. Di kelas lain, tepatnya kelas XII IPA 2, sedang free class mata pelajaran Bahasa Inggris. Kelas yang di tempati Satria, Evan, Fahri dan Julian begitu ribut dengan 35 murid di dalamnya. “Pantes aja kemarin si Velly aman ampe bel pulang. Ternyata diserangnya di luar.” kata Julian setelah Satria menceritakan kejadian bully itu. Hari itu Satria curiga ketika Velly di bawa paksa sepulang sekolah. Satria mengikuti mobil Nadia dan saat masuk, benar saja firasatnya. Karena tidak mungkin membawa Gladys dengan kondisinya saat itu dengan motor sportnya, Satria menghubungi Julian untuk mengambil motornya di tempat kejadian. Jika saja Julian tidak memaksanya untuk bicara, ia tidak akan ember seperti ini. “Gue rasa, Gladys bakal kayak dulu lagi.” “Yang dia jadiin si Sandra tameng.” Lanjut Evan. Sandra adalah senior mereka saat mereka kelas sepuluh. Dia sebelas duabelas sama Gladys. Bedanya, Sandra tidak pandang muluk. Siapapun orang yang dianggapnya mengganggu, ia langsung akan melabraknya. Tapi itu, di luar jam sekolah. Dari awal MOS, Gladys sengaja mendekati kakak kelasnya itu untuk mendapat bantuan. Merasa ia belum dapat kuasa karena masih menginjak kelas paling bawah, iapun memanfaatkan Sandra. “Apa itu karna elo Sat?” “Mungkin.” “Dari dulu gue heran, sebenernya lo sama devil itu punya hubungan apa? Tuh cewek keliatan sukar banget kalo deket lo. Lo pernah problem?” Satria menatap Fahri lama. Sedikit kurang nyaman. Hingga suara Julian berhasil mengalihkan pertanyaan yang enggan ia jawab. “Jelaslah Gladys gak mau deket Satria, lirik jauh aja omesnya jalan. Apalagi yang di depan mata.” Evan dan Satria terkekeh membenarkan. Bedanya, Evan merespon tulus, sedangkan Satria memberi hambar. Tingkah laku seseorang tidak selalu sama dalam artian sebenarnya. Bisa jadi yang ditunjukkan, dilakukan untuk menutupi hal yang sesungguhnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD