Chapter 2

1223 Words
Dentingan piring yang diadukan dengan sendok menemani makan malam ketiga insan itu. “Gladys, kemarin temen mama ada yang bilang liat kamu di pantai. Emang bener?” Gladys mengangguk membenarkan. “Ada birthday party temen.” “Gladys,” Herman berseru. “Iya pah?” “Satu minggu kedepan papa di Singapur. Usahakan hp kamu aktif terus. Entar kalo papa mau pulang, kamu bilang aja kamu mau oleh-oleh apa.” “Iya pah.” Menjadi anak tunggal, Gladys begitu di manja oleh kedua orang tuanya. Herman dan Ana sama-sama bekerja. Herman menjabat sebagai direktur utama di perusahaan keluarganya. Sedangkan Ana sendiri bekerja di BI sebagai salah satu deputi gubernur. Mereka memang selalu sibuk. Tetapi dengan cara apapun mereka akan meluangkan waktu bersama keluarga untuk Gladys. Dan kerena itulah, Gladys sangat menyayangi kedua orang tuanya. Mentari cerah menyambut pagi, mengawali hari dimulainya aktivitas jutaan manusia. Gladys dengan seragam batik khas Pradana, ia padankan dengan aksesoris seperti tas dan jam berwarna hitam. Selesai sarapan, Gladys bersiap melajukan Brio merahnya membelah jalan metropolitan. Sesampainya di parkiran sekolah, ketiga temannya menyapa dan mereka berempat berjalan bersama di koridor. “Dys, masa tadi malem gue kan lewat di Angel Club, dan lo tau gue liat siapa disana? Si valak! Parahnya lagi, kanan kirinya ada om-om.” Lita mengawali dengan jijik. “Makin gedeg aja sama tuh anak. Di sekolah sok nerd, lepas kandang kayak cabe murahan.” Eva menyahuti. “Iya. Tapi gue masih heran sama lo Dys, kita udah tau aibnya dia, tapi kenapa lo gak sebarin? Bukannya lo benci banget sama tuh anak?” Nadia bertanya mewakali uneg-uneg mereka selama ini. “Istirahat nanti bawa ke belakang sekolah.” Gladys pergi memilih mengacuhkan wajah penasaran ketiganya. Materi bahasa Indonesia yang sedang di jelaskan Pak Uci mengalun bergelombang di mata Gladys dan hampir seluruh murid di kelasnya. Berbicara yang tak ada habisnya, masih menyambung bab yang sama sejak pertemuan 3 hari yang lalu. Membosankan. Tetapi setelah bel istirahat mendegam, dalam hati mereka bersorak girang. “Sampai disini pertemuan kita. Silahkan pahami bab dua di rumah, dan pertemuan selanjutnya kita bahas bersama-sama. Sekian, wasalamu'alaikum wr.wb.” seisi kelas menjawab serentak. Seperti permintaan Gladys, Lita dan Eva menggelandang Velly ke belakang sekolah yang sepi.  Di tempat itu banyak terdapat tumpukan kerangka kursi maupun fasilitas belajar lainnya yang sudah rusak. Sama seperti yang sudah-sudah, Gladys akan membuat korbannya takut dulu sebelum memberi hukuman. “Selama ini gue masih terus kasih lo hukuman medium. Tapi makin kesini, kayaknya lo minta yang lebih. Oke, gue kabulin saat ini juga.” Nadia dan Eva mencengkeram kedua tangan Velly kuat. Kakinya sudah terlebih dahulu diikat di kaki kursi. “Gunting,” Lita memberikan alat yang diminta Gladys dengan senyum licik.  Berkawan dengan Gladys, menjadikan ketiganya merasa senang dengan pemandangan ini. Tangan itu mulai menggunting seragam Velly acak, membuat rok dan bajunya bolong dimana-mana. Membuang kaca mata yang Gladys sendiri sampai lupa itu sudah kaca mata yang keberapa yang ia rusaki. Kali ini Gladys punya bonus. Mengambil lipstik merah darah dari saku, ia mencoretkan tebal ke wajah Velly yang saat ini dibanjiri air mata dan geraman tertahan. “Lipstik gue, Dys.” protes Eva melihat lipstik barunya patah karena Gladys menekannya terlalu kuat di wajah Velly. “Ambil punya gue.” Fokusnya kembali pada korban. “Rambut ular. Lo suka banget ya sama style kampung?” sudut bibirnya terangkat. “Kalo rambut model cepak, kira-kira masih bisa dikepang gak yah?” Velly semakin berontak hingga kursi yang didudukinya bergerak brutal. Dengan gunting yang sama, Gladys meraih salah satu kepangnya dan bersiap menggunting. Ketika ujung gunting siap memangkas, sebuah suara menghentikan gerakannya. “Sayang, jadi ini kelakuan kamu selama gak ada aku?” Gladys meyakinkan dirinya bahwa itu bukan orang yang ada dipikirannya sekarang ini. Iya, pasti hanya suaranya yang mirip. Satu-satunya cara mengetahui sebenarnya adalah, Gladys terpaksa berbalik. Tubuhnya menegang kaku. Menelan saliva dengan susah payah, bibirnya terasa kelu. “Kamu nakal ya,” jika suara sama, masih kemungkinan dia bukan orang itu. Tapi rupanya pun sama! Fix, karena itu memang dia. Berhubung kakinya masih normal, dengan langkah cepat dan tergesah-gesah Gladys pergi dari sana. “Gladys! Gladys!” Nadia, Eva dan Lita memanggilnya kuat. “Kenapa sih Gladys?” melepaskan cengkeraman tangan Velly, ketiganya berlari mengejar Gladys. Sosok lelaki penyebab kaburnya ratu bully itu berjalan mendekati Velly yang wujudnya sudah berantakan. “Apa kabar Vel?” Gisatria Pahamkana telah kembali. Cowok berparas tampan berdarah Bandung-Surabaya itu sebelumnya pernah menjadi siswa di SMA Pradana saat kelas sepuluh. Mengambil jurusan IPA, tetapi kelakuan layaknya anak IPS. Terkenal badboy, tetapi berkelas. Berkelas yang dimaksud tidak menyentuh minuman apalagi obat terlarang. Paling tidak dia hanya menghisap batang nikotin yang sekurang-kurangnya satu hari setengah bungkus. Itu juga kalau sedang badmood. Banyak yang menyayangkan kepindahannya ke Surabaya kala itu. Alasannya ia ingin tinggal bersama keluarga ibunya. Fyi, dia adalah anak broken home. Dan dua bulan lalu ibunya meninggal dunia akibat gagal jantung yang dideritanya. Jadilah cowok yang akrab disapa Satria itu kembali lagi ke Jakarta dan tinggal bersama sang ayah. “Turut berduka ya, Sat.” ucap Evan usai Satria menceritakan kepulangannya. “Tapi lo Gila Sat, balik-balik gak ngasih kabar!” Fahri berbicara dengan senyum lebar. “Yo'i. Tau gitu kan gue minta oleh-oleh bang Sat.” Julian berseru di samping Satria. Evan yang bersandar di meja depan melempar kode dengan Satria. Fahri yang melihat itu menangkap sesuatu. “Jangan bilang Evan—” tawa keduanya membenarkan asumsi Fahri. “Parah lu Van.” cecarnya. “Huu! Dudu batur.” Julian mencibir. Lama tidak berjumpa tidak membuat ketiganya canggung dan kembali dalam mode perkenalan. Padahal kalo diukur lamanya mereka berteman, itu juga murni karena mereka sekelas. Keempatnya mulai saling berbagi cerita apa saja yang dianggap patut di ceritakan. Seperti Julian. Cowok berkulit putih itu memulainya. Julian menceritakan omnya yang dua hari lalu datang dari  Medan. Yang mengatakan keluarga Julian dokterholic, cowok itu mengakuinya seratus persen. Seperti kedua orang tua dan masih banyak lagi saudara-saudaranya yang berprofesi sebagai dokter, om Julian itupun menggeluti dunia yang sama. Bedanya omnya itu dokter khusus untuk orang yang psikisnya terganggu. Ia bekerja di rumah sakit jiwa. “Untung bukan om gue yang sakit jiwa.” tambahnya disela-sela bercerita. Jadi, waktu omnya itu datang, di rumah cuma ada Julian seorang. Mulai ngobrol deh mereka, meskipun kebanyakan Julian cuma nyengir lebar doang balesnya. Julian meninggalkan omnya sebentar karena panggilan alam. Saat Julian kembali, ia tak mendapati siapapun di ruang TV. Mencari ke setiap sudut rumah, hasilnya tetap nihil. Tiba-tiba Julian menangkap suara ribut-ribut dari luar. Sontak Julian keluar dan pemandangan yang pertama dilihatnya membuatnya terbahak-bahak. Omnya itu sedang dikerumuni oleh ibu-ibu beraut wajah panik. Tentu saja panik, si dokter ganteng di tengah mereka sedang di aniaya oleh wanita yang setahu Julian tetangga depan rumahnya. Rambutnya dijambak dengan begitu hebatnya hingga Julian meringis beberapa kali saat kepala omnya sampai terhentak kebelakang. Belum lagi tinjuan boombayah di wajahnya. Kasihan. “Dia pikir cewek itu gila karna rambut sama baju cewek itu berantakan. Nah, intuisi dia sebagai dokter orang rada nuntun dia mulai ngomong panjang lebar deh. Niatnya pengin bantu, eh malah ancur deh tuh muka. Hahaha. Sumpah ngakak kalo lo-lo pada liat, ibu komplek cocotnya rame banget.” “Parah sih. Tapi seharusnya om lo ngobatin saudara kayak lo dulu baru orang lain.” komentar Satria. Dan berakhir Julian mengabsen kebun binatang. “Gapura depan di renov ya? Gue datang ampe pangling.” “Pangling sama gapura, apa cewek di banner depan gapura?” Evan merespon. Satria terkekeh. “Yaelah, modal tampang doang dipake. Males gue tiap liat. Sok-sokan megang buku. Cocoknya tuh cewek difoto lagi gorok kucing pake golok. Lagian gue aneh sama sekolah, gak ada model lain apa?” “Hati-hati lo, benci bisa jadi cinta.” “Gak akan!” Fahri menolak tanggapan Evan. “Sat, mending sekarang lo urusin ular lo itu. Semenjak lo pergi, ular lo jadi liar. Lebih gila dari Sandra tau gak!” gemuruh cowok berwajah tegas itu. Entah kenapa emosinya selalu meledak tiap membahas Gladys Ignacia. “Udah.” jawab Satria santai. Mereka mengerutkan dahi menatapnya. “Udah say sayang barusan.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD