8. Mendadak Tuan Putri

1008 Words
Puas menatap foto keluarga Ben, aku mengitari seluruh penjuru kamar ini yang luasnya bisa tiga kali lipat dari kamar kosku waktu itu. Sebuah ranjang king size, dengan satu buah sofa panjang terletak di sudut kamar. Satu ruangan berpintu yang aku yakini adalah kamar mandi. Penasaran, aku mendekat dan tanganku perlahan memutar handel pintu yang juga berwarna krem itu. Lagi-lagi aku harus dibuat ternganga mendapati kamar mandi mewah khas orang kaya. Jika bisanya aku hanya melihatnya melalui layar televisi dari sebuah serial drama yamg sering aku tonton, tapi kini aku bisa menyaksikannya sendiri. Sebuah ruangan yang didominasi warna emas yang terkesan mewah. Kulangkahkan kaki untuk memasukinya, aroma terapi yang menguar di indera penciumanku, begitu sanggup menenangkan hatiku. Kamar mandi yang sangat mewah dilengkapi dengan Jacuzzi dan sebuah lorong yang merupakan walk in closet. Ingin rasanya aku berendam di dalam Jacuzzi yang tampak menggoda itu, dan tanpa berpikir panjang kulangkahkan kakiku mendekatinya. Mengisinya dengan air hangat. Kutuang sabun aroma terapi. Dan dengan cepat aku mulai melepas satu persatu baju yang melekat di tubuhku. Entah berapa lama aku berendam sampai-sampai aku ketiduran. Setelah selesai mengguyur tubuhku, dengan memakai bathrobe aku memasuki walk in closet yang terdapat beberapa lemari berjajar rapi. Aku mulai kebingungan untuk memilih baju ganti. Lemari mana yang harus aku buka. Satu persatu mulai aku teliti dan aku harus berdecak takjub mendapati banyak sekali terdapat baju-baju milik lelaki serta semua accessories dan perlengkapannya. Apakah ini semua milik Ben? Tanyaku dalam hati. Hingga pada saat aku mambuka entah lemari ke berapa, barulah aku mendapati beberapa baju wanita tergantung rapi di sana. Lalu aku kembali membuka lemari selanjutnya karena baju-baju wanita di lemari yang sebelumnya bukanlah milikku. Dan di sinilah rupanya baju milikku berada. Aku tersenyum lega mendapati bajuku sudah tertata rapi di dalam sana. Kuambil salah satu baju rumahan yang biasa kukenakan. Entahlah, aku sendiri tak tahu baju rumahan orang kaya itu seperti apa. Aku tak mau mengimbangi mereka. Dan menjadi diri sendiri rasanya akan lebih baik. Setelah memakai pakaian yang cukup rapi menurutku, hanya dress berlengan pendek dengan panjang selutut, aku keluar dari dalam kamar mandi. Duduk di depan meja rias dan mulai menyisir rambut panjangku. Membuka tas dan mengambil bedak serta lipstik yang selalu kubawa ke mana-mana. Setelah selesai aku berniat turun ke lantai satu. Berharap bertemu dengan entah siapa saja. Benarkah Ben tak lagi memiliki orang tua? Lantaran saat pernikahanku tadi tak ada satupun keluarga Ben yang menghadiri. Hanya dua orang saksi yang merupakan Paman Ridwan dan satu lagi seseorang yang jika aku tak salah, bernama Theo, orang kepercayaan Ben. Aku mulai menuruni anak tangga dengan sangat berhati-hati. Bahkan cukup kuat aku berpegangan agar tak terjatuh nanti. Terlihat kampungan memang. Karena baru kali ini aku mendapati tangga yang begitu mewah dan tampak licin mengkilap karena tangga tersebut terbuat dari batu marmer yang sangat indah. Aku menolehkan kepala ke kanan dan ke kiri. Bingung harus menuju ke arah mana sekarang. Aku belum tahu seluk beluk rumah ini. Jadi wajar jika aku seperti orang bodoh yang hanya bisa berdiri mematung tanpa tahu harus berbuat apalagi. "Nona!" sapaan seseorang membuatku segera menolehkan kepala. Ternyata Bibi Rumi yang memanggil namaku. "Bibi." "Nona, ini jadwal Anda untuk makan malam. Mari ikut saya. Sebenarnya tadi saya ingin menjemput Nona di kamar. Tapi ternyata Nona sudah berada di sini." Aku hanya tersenyum menanggapi. Bibi Rumi terlalu sopan bersikap padaku, membuatku semakin canggung saja. Kuikuti langkah kakinya hingga berhenti di sebuah ruang makan yang juga tak kalah luasnya. Berada di tengah-tengah rungan dengan meja marmer besar yang dikelilingi beberapa kursi. Di atas meja makan, tepatnya di salah satu bagian sisinya sudah terhidang beberapa makanan. Hanya saja yang membuatku bertanya-tanya, tak ada siapa-siapa di sana. "Bibi, kenapa ruang makan sepi sekali. Bukankah tadi Bibi mengatakan ini adalah saatnya jam makan malam." Seolah tahu akan kebingunganku, Bibi Rumi tersenyum. "Nona, memang seperti inilah kondisi rumah ini setiap harinya. Tidak ada siapa-siapa karena Tuan Ben masih di rawat di rumah sakit." "Jadi ... aku harus makan malam sendirian?" tanyaku. Rasanya ngeri sendiri jika aku harus makan seorang diri di ruang makan yang luas ini. "Bibi temani aku saja. Karena aku tak terbiasa makan seorang diri." Bohongku. Padahal biasanya aku juga makan sendirian kecuali di kantor saat jam makan siang. Barulah aku akan menikmati makanan bersama teman-teman. "Baiklah. Bibi akan temani. Lagipula selagi Tuan Ben tidak ada," jawabnya yang membuat aku semakin bingung saja. "Silahkan, Nona." Bibi Rumi menarik kursi untukku. "Terima kasih, Bi." jawabku lalu duduk di kursi tersebut. Dengan sigap Bibi Rumi meraih piring dan mengisinya dengan nasi. "Nona ingin makan apa?" tawarnya padaku. Astaga! Jadi, beliau sedang melayaniku? Aku sempat terbengong dibuatnya. Seorang Sifa Ayunda sejak kapan makan dilayani seperti layaknya seorang putri? Bahkan semenjak kecil, meski aku terlahir sebagai anak tunggal. Nyatanya Papa dan Mama selalu mendidik kemandirian padaku. Dan aku terbiasa melakukan semua sendiri tanpa harus dilayani seperti ini. Rasanya sangat aneh memang. "Nona!" panggilan Bibi Rumi menyadarkanku kembali ke dunia nyata. "Ya, Bi." "Nona ingin makan dengan lauk apa?" tanyanya lagi. "Beri aku telor saja, Bi. Sama sayur yang banyak." Aku memang pecinta sayur. Lebih suka memakan sayur daripada lauk pauknya. "Hanya ini saja Nona? Tidak mau nambah apa-apa lagi?" Aku menggeleng. Aku lebih suka makan dengan porsi sedikit dan apabila masih lapar tinggal tambah lagi. Daripada langsung mengambil dalam porsi banyak lalu berakhir kekenyangan dan bersisa, rasanya sangat bersalah karena harus terpaksa membuang makanan. Aku tahu bagaimana susahnya mencari uang. Jadi tak akan aku menghambur-hamburkan uang apalagi membuang makanan. Karena masih banyak orang di luar sana yang tidak bisa makan. Jadi jangan sampai kita yang diberi kecukupan justru sesuka hati membuangnya. Bibi Rumi meletakkan piring bersama sendoknya di hadapanku. "Silahkan dimakan Nona," ucapnya lalu beliau duduk di sampingku. Kukira Bibi Rumi akan meyuapiku sekalian, tapi rupanya tidak. Sangat konyol memang pemikiranku barusan. Karena semua yang terjadi satu hari ini benar-benar merupakan kejutan buatku. Siapa yang akan menyangka jika dalam waktu satu hari, tiba-tiba aku menjadi seorang putri yang hidup di istana mewah dan segalanya serba dilayani. Aku terkekeh sendiri, membuat Bibi Rumi menatapku sekilas sebelum akhirnya aku memilih menyantap makan malamku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD