1. Awal Cerita
Aku menatap pantulan diriku di cermin sambil menyisir rambut panjangku, ekor mata ini sesekali melirik lelaki yang baru saja masuk ke dalam kamar. Wajahnya tampak lelah. Tanpa berucap sepatah katapun, Bara melepas begitu saja kemeja yang melekat di tubuh atletisnya. Buru-buru aku memalingkan muka. Tampak semburat merah yang menjalari kedua pipiku. Tentu saja aku malu demi melihat seorang lelaki yang tanpa baju berada di sekitarku.
Tapi, Bara tetap mengacuhkanku dan seolah tak menganggap jika ada aku di dalam kamar ini. Lelaki itu kini sudah masuk ke dalam kamar mandi. Kuhela napasku dan beranjak dari dudukku. Kubaringkan tubuh ini di atas ranjang lalu menarik selimut hingga batas dagu. Berusaha memejamkan mata agar aku tak perlu berbasa basi atau mengobrol dengannya.
Rasanya memang aneh, setiap berdua dengan Bara, aku selalu merasakan kecanggungan. Maklumlah. .. meski dulu aku pernah mengenalnya, akan tetapi baru setelah menikah aku dekat dengannya.
Bara Raditya, itulah nama yang tersemat pada diri pria yang satu minggu lalu mengucapkan ijab qabul di depan penghulu. Rasanya sungguh mustahil aku yang tiba-tiba sudah menyandang gelar sebagai seorang istri. Padahal, tak ada sedikit pun di benakku untuk menikah secepat ini.
Umurku belum genap dua puluh lima tahun. Tapi karena paksaan Mama yang menginginkan aku menikah dengan anak sahabat baik almarhum Papa. Aku tak bisa menolaknya jika alasan yang mereka berikan menyangkut wasiat Papa sebelum beliau meninggal.
Seorang pemuda yang jarak usianya sekitar empat tahun di atasku. Pengusaha muda sekaligus arsitek terkenal di kalangan industri properti di kota tempat tinggalku.
Ceklek. Suara pintu kamar mandi yang terbuka membuatku segera menutup mata. Apalagi jika bukan pura-pura tidur. Inilah yang selalu kulakukan hampir di setiap malam. Hanya karena aku belum siap menyandang status sebagai istri sesungguhnya untuk Bara, jadi aku selalu berusaha mencari cara untuk menghindar darinya.
Bukan aku tak tahu kewajiban seorang istri pada suami. Tapi ini semua karena aku belum siap saja melakukan tugasku sebagai seorang istri. Dan sepertinya, Bara tidak keberatan dengan semua yang kulakukan ini. Nyatanya, lelaki itu sama sekali tak pernah membahas mengenai hubungan intim antara sepasang suami istri.
Jangankan membahas hal sensitif seperti itu, menegurku saja rasanya juga enggan ia lakukan. Apakah aku merasa beruntung dengan semua perlakuannya padaku? Tentu saja iya. Dengan dia bersikap acuh padaku, setidaknya akan memudahkanku untuk tak terlalu takut menghadapinya.
Kuraskan seseorang yang menghampiri ranjang, setelahnya menjauh kembali. Kubuka sedikit kelopak mataku. Meliriknya yang sedang menata bantal di atas sofa. Aku merasa lega. Ternyata Bara kembali tidur di atas sofa. Tanpa kuminta, selama kami menikah lelaki itu memilih untuk tidak tidur seranjang denganku. Dan ia memilih untuk tidur di atas sofa.
Sebenarnya aku kasihan melihatnya. Bagaimana tidak, jika sofa yang ia tiduri besarnya tak sebanding dengan besar tubuhnya. Bahkan setiap pagi, tanpa Bara sadari, aku sering mengamatinya yang sedang mengeluhkan pinggang atau punggungnya yang bisa aku tebak pastilah terasa kebas dan pegal.
Sibuk memikirkan tentangku dan juga Bara, tak terasa mata ini sudah terpejam sepenuhnya.
***
Pagi ini aku sudah bersiap untuk berangkat kerja. Kulirik sofa yang kini sedang dibersihkan oleh Bara. Aku diam saja dan memilih segera keluar dari dalam kamar. Sejak resmi menikah dengan Bara, kami tinggal di sebuah apartmen yang tak begitu luas milik Bara. Karena di apartmen ini hanya ada satu buah kamar, oleh sebab itulah mau tidak mau aku dan Bara harus tetap tidur di satu kamar yang sama. Meskipun pada kenyataannya kita tak pernah tidur di satu ranjang.
Aku sendiri tak tahu kenapa Bara enggan berdekatan denganku. Memang benar pernikahanku dengannya, karena sebuah perjodohan. Dan di antara aku dan Bara tidak ada rasa saling mencintai. Namun, apakah Bara juga tidak ingin menjalani hubungan pernikahan yang lebih baik lagi? Itulah yang masih menjadi tanya dalam diriku. Jika melihat dari sikapnya, aku tahu ia belum bisa menerima kehadiranku. Tapi bukan dia saja yang harus terpaksa menjalani pernikahan ini. Aku pun juga merasa keberatan karena harus menerima kehadiran seorang laki-laki yang telah menyandang gelar sebagai suamiku.
Setelah aku keluar dari dalam kamar, menuju pantry dan melakukan tugasku membuat sarapan. Pagi ini aku sedikit malas. Hanya membuat roti panggang dengan selai coklat ditambah teh hangat yang sudah aku campur dengan madu. Kutata sarapan yang telah aku buat di atas meja mini bar. Kurasakan kehadiran Bara, karena aroma maskulin yang telah familiar menyergap di indera penciumanku.
Tanpa kuminta, lelaki itu sudah duduk di sebelahku lalu menyesap teh hangatnya. Selalu seperti ini. Kami berdua seperti orang yang tak saling mengenal, yang dipaksa hidup berdekatan. Aku pun tak peduli dengan apa yang ia lakukan. Memilih menikmati sarapanku. Kugigit roti panggang yang coklat lumernya langsung memenuhi rongga mulutku. Aku benar-benar menikmati rasa manis bercampur gurih dari roti yang telah aku olesi mentega, daripada repot- repot memikirkan suramnya masa depanku kelak.
"Terima kasih sarapannya. Aku berangkat dulu."
Kuhentikan kunyahanku lalu menoleh ke samping. Mendapati Bara yang kini sudah beranjak berdiri. Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan terima kasih dari mulutnya. Menatap pungung Bara yang kini sudah menjauh dan hilang di balik pintu.
Lagi-lagi aku menghela napas. Kuletakkan sisa sarapan yang masih belum habis. Rasanya sudah tak ada lagi nafsu untuk menghabiskannya. Aku berdiri dan membawa sisa makananku, membuangnya ke dalam tong sampah. Setelahnya, kubereskan bekas sarapan Bara yang kini sudah habis tak tersisa, membawanya ke dalam wastafel lalu mencucinya.
Sebelum aku meninggalkan apartemen Bara, kupastikan semua dalam kondisi bersih dan rapi. Bagaimanapun juga aku menumpang di tempat ini. Jadi harus tahu diri bagaimana cara menempatkan posisi. Setelah semua beres dan tak ada lagi yang perlu kukerjakan, kembali masuk ke dalam kamar. Mengambil ponsel lalu kumasukkan ke dalam tas kerja. Pukul tujuh pagi dan aku harus segera bergegas berangkat ke kantor.
Sudah dua tahun ini tepatnya setelah aku lulus kuliah, aku diterima bekerja menjadi seorang staf akuntansi di sebuah perusahaan periklanan. Sebuah perusahaan yang tidak terlalu besar, di mana kantornya berada di salah satu gedung pencakar langit yang lokasinya tak jauh dari apartmen Bara. Tentu saja perusahaan tempatku bekerja itu hanya menyewa di gedung perkantoran tersebut. Dan di gedung itu pula ada banyak bermacam-macam perusahaan. Salah satunya adalah perusahaan milik Bara.
Meski selama ini aku dan Bara berada di satu tempat yang sama, tapi hampir tidak pernah kami bersua. Bahkan aku baru mengetahuinya setelah mendengar cerita dari papanya Bara yang kini telah menjadi papa mertuaku. Saat itu aku tak sengaja bertemu dengan Om Bastian, papanya Bara. Dan beliau mengatakan jika Bara juga berkantor di gedung yang sama dengan tempatku bekerja selama ini.