9. Mewah Tapi Tak Nyaman

1022 Words
Kupijit pelipisku yang kini mulai berdenyut nyeri. Tidak bisa tidur semalaman membuat kepalaku hampir pecah rasanya. Ternyata, tidur di kamar mewah tak menjamin jika aku bisa tidur nyenyak. Karena yang terjadi padaku semalaman hanya bisa membolak-balikkan badan di atas kasur empuk yang kutiduri. Mendesah lirih karena teringat jika sekarang adalah hari Senin. Hari di mana aku sangat malas untuk pergi bekerja. Karena di hari Senin banyak sekali pekerjaan serta aneka meeting yang tak ada habisnya. Meski aku hanya staff biasa, tapi tenagaku selalu dibutuhkan sebagai notulen. Aku bangkit dari atas ranjang dan begitu saja menuju kamar mandi. Berharap setelah mandi aku menjadi segar kembali. Dan pusing di kepala bisa kembali mereda. Kali ini aku tidak lagi berendam karena sudah dapat dipastikan jika di pagi hari aku selalu takut kesiangan. Selesai mandi, mencari baju kerjaku dan mengenakannya cepat. Keluar dari dalam kamar mandi segera mengeluarkan peralatan make-up yang berada di dalam tas milikku. Entahlah, sampai kapan aku akan tinggal di istana ini. Baru satu malam saja aku sudah tidak betah. Namun, sepertinya aku tak akan bisa lagi kembali ke apartemen Bara karena ternyata barang-barangku termasuk di dalamnya ada baju, tas, sepatu serta beberapa accesories milikku sudah berpindah tempat. Semua sudah ada di rumah ini. Aku memang tidak memiliki banyak barang-barang pribadi karena sebelum menikah dengan Bara, aku hanya tinggal di tempat kos sempit yang tidak bisa diisi oleh banyak barang. Selesai dengan rutinitas pagiku, meraih hand bag milikku lalu keluar kamar. Aku terkejut mendapati beberapa orang berseragam pelayan yang nampak di lantai dua rumah ini. Ada yang sedang menyapu dan mengelap debu di beberapa barang serta pajangan di lantai dua. Melihatku, mereka hanya tersenyum lalu menunduk hormat. Aku sendiri ikut terenyum, rasanya aneh memang. Ah, sudahlah buat apa aku memusingkan perihal orang-orang itu. Menuruni anak tangga hingga di lantai satu. Ternyata ada lagi beberapa perempuan berseragam pelayan yang ku hitung jumlahnya ada empat orang. Bibi Rumi menyambutku, "Selamat pagi, Nona. Apa kabar Anda pagi ini? Apakah tidur Anda semalam nyenyak?" Rentetan pertanyaan terlontar dari mulut kepala pelayan, satu-satunya orang yang aku kenal di rumah ini. Apalagi yang aku lakukan jika bukan tersenyum, "Sedikit susah tidur saja, Bi. Mungkin karena belum terbiasa tinggal di rumah ini," jawabku singkat. "Silahkan, Nona. Sarapan Anda sudah saya siapkan." "Terima kasih." Duduk di meja makan dengan ditemani Bibi Rumi. Sarapan ala orang kaya yang terhidang di atas piring langsung aku santap. Ini sudah pukul tujuh pagi dan aku tak mau terlambat berangkat ke kantor. Setelah selesai menghabiskan sarapan serta s**u hangatku, Bibi Rumi berkata padaku. "Paman Ridwan sedang menunggu Anda di depan, Nona." Aku menoleh menatap Bibi Rumi. "Jadi Paman Ridwan yang akan mengantarku pergi ke kantor?" Bibi Rumi mengangguk. "Sesuai dengan yang Tuan Ben perintahkan. Paman Ridwan akan mengantar ke mana pun Nona akan pergi." Aku mengerti. Jadi mulai sekarang aku akan dikawal oleh Paman Ridwan ke mana pun aku pergi. Baiklah, sampai di sini aku sudah tahu akan seperti apa hidupku nanti. Terkurung di dalam istana mewah dan menjadi ... ah, entahlah. Aku tak sanggup mengatakannya. Semua hanya menyakiti hatiku saja. Tidak Bara, tidak Ben. Keduanya sama saja. *** Kujatuhkan tubuhku di atas kursi kerja, begitu aku memasuki ruang kerja tempat aku mengais rejeki selama ini. Bukannya pusingku reda tapi justru semakin berdenyut saja. Ya, Tuhan! Hidupku kenapa semakin rumit saja. Jika aku tahu akan seperti ini jadinya, mungkin aku tak akan mau mengikuti apa kemauan Bara. Bahkan siapa sebenarnya seorang Ben aku tidak tahu apa-apa. Yang jelas istana megah yang menjadi tempat tinggalku saat ini, bukanlah tempat yang aman dan nyaman untukku tinggal. Argh ... kurasa tempat kosku yang sempit dan kecil itu tetap tempat ternyaman buatku. Ehem Deheman seseorang mengagetkanku dan ketika aku mendongak, Yuli dengan kedua tangan bersadekap di depan d**a menatapku tajam. "Kau kenapa lagi, Si?" tanyanya yang kujawab hanya dengan gelengan kepala saja. "Semalam, aku tidak bisa tidur. Sekarang kepalaku sakit sekali." "Kau jadi pergi mengunjungi mamamu?" tanya Yuli lagi dan aku hanya nyengir. Ya, aku telah berbohong padanya. Sejak aku pindah ke apartemen Bara, Yuli tidak tahu jika aku sudah tidak tinggal di tempat kos lagi. Dan karena Yuli mengatakan akan mengajakku pergi saat weekend kemarin, terpaksa aku berbohong mengatakan jika aku akan mengunjungi Mama. Aku beranjak berdiri, tapi Yuli menahan tanganku. "Mau ke mana?" "Sepertinya aku butuh kopi saat ini." Dan Yuli hanya menggelengkan kepala sembari melepas cekalan tangannya. *** Seperti biasa jika hari Senin maka pekerjaanku sudah tak bisa terhitung lagi berapa banyaknya. Sangat menguras tenagaku dan begitu jam pulang kantor tiba, aku tak mau menunggu apa-apa lagi. Karena aku ingin segera pulang dan merebahkan punggungku yang terasa pegal. Tas kerja sudah berada di tangan, aku keluar dari ruang kerja tanpa beban. Bergandengan tangan bersama Yuli memasuki lift. Kami berpisah, karena Yuli menuju basemant dan aku menuju lobi. Teringat akan Paman Ridwan, benar saja, saat langkah kakiku memasuki lobi gedung, tampak Paman Ridwan sedang menungguku di depan. Gegas aku keluar lobi dan menghampiri sopir pribadi Ben yang kini dialih fungsikan semantara untuk menjadi sopir pribadiku. "Selamat sore, Nona." "Sore, Paman. Maaf telah membuat Paman menungguku." "Tidak apa, Nona. Silakan masuk." Pintu mobil terbuka lebar. Setelah aku masuk ke dalam mobil, Paman Ridwan melakukan hal yang sama. Selanjutnya mobil bergerak meninggalkan gedung perkantoran tempatku bekerja. Aku sudah tahu ke mana Paman Ridwan akan membawaku. Ya, ini adalah jalan menuju rumah sakit. Mungkin saja Ben ingin bertemu denganku. Aku hanya menurut dan mengikuti ke mana Paman Ridwan membawaku. Hingga sampai di rumah sakit, tak perlu menunggu Paman Ridwan membuka pintu, aku sudah melakukannya sendiri. "Aku akan ke dalam ruang perawatan Ben sendiri saja. Paman tidak perlu mengantarku." "Tapi, Nona ...." protes Paman Ridwan yang tak kuhiraukan karena kini aku sudah keluar dari dalam mobil. Meninggalkan Paman Ridwan begitu saja. Meski baru dua kali aku mengunjungi Ben di rumah sakit ini, tapi aku masih hafal di mana letak kamar Ben berada. Tidak perlu Paman Ridwan selalu mengawalku ke mana pun aku berada. Dan kenapa Paman Ridwan membawaku ke tempat ini, pasti karena Ben yang memintanya. Meski lelah, aku tetap melangkahkan kaki dengan cepat menuju ruang rawat inap Ben. Lelaki yang mulai kemarin telah menikahiku. Dan lelaki yang telah menjadi suami keduaku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD