7. Istana

1002 Words
Tak lama berselang, lelaki yang disebut-sebut bernama Paman Ridwan datang memasuki kamar rawat inap Ben. "Selamat sore Tuan Ben," sapanya dan Ben hanya mengangguk. Selanjutnya menoleh ke arahku dan tersenyum. "Mari Nona, saya antar Anda pulang." Aku mengangguk. Meraih tas yang tergeletak di atas sofa lalu kutatap Ben. "Aku pulang dulu," pamitku dan lagi-lagi Ben hanya mengangguk. Tak mau repot-repot hanya sekedar mengatakan sesuatu padaku. Kuikuti langkah kaki Paman Ridwan. Masuk ke dalam lift dan kami berdua hanya saling diam. Meski banyak hal yang ingin kutanyakan, nyatanya mulut ini susah untuk aku buka. Mengenal Paman Ridwan juga baru hari ini. Tak etis rasanya jika aku banyak bertanya segala hal pada seseorang yang baru aku kenal. Lift berhenti dan begitu terbuka aku sudah berada di basement rumah sakit. "Mari Nona!" pinta Paman Ridwan yang menyuruhku untuk keluar dari dalam lift. Aku keluar dan berjalan mengekori Paman Ridwan. Menuju sebuah mobil mewah dan beliau membukakan pintu belakang untukku. "Silahkan masuk, Nona." Dengan sopan dan ramah beliau mempersilahkan Aku menurut tapi rasanya sungguh aneh diperlakukan seperti ini oleh seseorang. Sedari tadi paman Ridwan terlihat begitu hormat kepadaku. Padahal aku ini bukan siapa-siapa. Bahkan panggilan Nona berkali-kali terlontar dari mulutnya. Ya, sudahlah. Buat apa juga aku terlalu mempermasalahkan semua ini. Lebih baik aku mengikuti saja permainan Bara dan juga Ben. Aku masih penasaran dengan tujuan mereka memperlakukanku seperti ini. Memperhatikan sepanjang jalan yang kini kulewati. Aku heran sebenarnya Paman Ridwan akan membawaku pulang ke mana sekarang. Karena jalanan yang dilewati bukanlah jalan menuju apartmen Bara. Rasa cemas mulai merasukiku, duduk dalam gelisah sambil sesekali memperhatikan Paman Ridwan yang duduk di bangku kemudi. Tak lama berselang, kebingunganku semakin menjadi karena mobil memasuki sebuah kawasan perumahan elit dengan terdapatnya beberapa rumah berpagar tinggi bergaya Eropa. Aku sampai dibuat takjub karenanya. Baru kali ini aku memasuki daerah ini, tapi aku tahu jika sebuah kawasan perumahan yang sedang aku lewati ini terkenal sebagai kawasan perumahan orang kaya. Mataku tampak meneliti beberapa rumah besar yang berjajar di sepanjang jalan dan begitu mobil yang dikemudikan Paman Ridwan berbelok di salah satu rumah megah bernunsa warna krem dan emas, aku langsung menegakkan punggungku. Pagar besi yang besar dan tinggi itu terbuka lebar memberi jalan pada mobil Paman Ridwan agar bisa masuk ke dalamnya. Pemandangan pertama saat melewati pagar depan itu adalah sebuah taman yang sangat luas dengan berbagai macam tumbuhan serta bunga-bunga. Aku suka sekali melihat tabebuya yang bermekaran tampak berjejer rapi. Tersentak akan keterkejutanku,   mobil berhenti dan Paman Ridwan keluar dari dalam mobil. Membuka pintu untukku dan mempersilahkanku untuk turun. "Kita sudah sampai.Silahkan turun, Nona." Aku kebingungan tentu saja. Ini rumah siapa? Tanyaku dalam hati. Tak ayal akupun turun dengan sangat berhati-hati. Setelah Paman Ridwan kembali menutup pintu mobil aku tak bisa lagi membendung segala macam tanya yang sudah kupendam sedari tadi. "Paman! Jika aku boleh tahu, ini rumah siapa?" Paman Ridwan menoleh menatapku, lalu tersenyum. "Tentu saja ini rumah Tuan Ben," jawabnya. Aku ternganga, mengagumi rumah mewah yang berada di hadapanku ini. Pilar-pilar besar sebagai penopang rumah dua lantai ini tampak kokoh dan itu semua membuatku berdecak kagum. "Silahkan masuk, Nona!" pinta Paman Ridwan, membawaku masuk ke dalam rumah yang tampak besar dan luas. Dalam hati aku hanya bisa mengagumi. Bahkan rumah ini berkali-kali lipat besarnya dari rumah kedua orang tuaku. Benarkah ini rumah Ben? Sekaya apakah seorang Ben Adriel Dachi? Kugelengkan kepalaku, menghalau semua tanya dalam benak. Dari arah depanku, muncul sesosok perempuan yang mungkin seumuran Paman Ridwan. "Selamat sore, Nona!" sapanya padaku dan aku mengangguk dengan seulas senyum. "Nona Sifa, perkenalkan ini Bibi Rumi. Kepala pelayan di rumah ini." Paman Ridwan mengenalkan perempuan paruh baya itu kepadaku. "Selamat datang di rumah ini, Nona. Mari saya antarkan Anda ke dalam kamar. Agar Nona bisa segera beristirahat." Bibik Rumi tersenyum hangat lalu mempersilahkanku untuk mengikutinya. Aku meninggalkan Paman Ridwan dan mengikuti Bibi Rumi. Menaiki anak tangga yang menjulang dengan gagahnya di hadapanku. Bahkan kaki ini bergetar saat menapakinya. Oh, Tuhan! Mimpi apa aku semalam. Hingga bisa memasuki sebuah rumah yang bisa dibilang seperti istana. Ya, rumah ini bisa dikatakan sebuah istana karena besar dan megahnya. Pintu bercat krem itu dibuka oleh Bibi Rumi. "Silahkan masuk, Nona. Mulai hari ini, kamar ini akan menjadi kamar Anda. Nona bisa beristirahat di dalam. Oh ya, satu lagi. Semua barang-barang Nona sudah saya rapikan juga di dalam Almari," jelasnya dan aku mengangguk. "Terima kasih banyak, Bi." "Sama-sama, Nona. Semoga Anda betah tinggal di rumah ini. Jika Anda membutuhkan bantuan atau sedang membutuhkan sesuatu, Nona bisa memanggil saya melalui intercom yang berada di samping ranjang." Aku hanya manggut-manggut lalu melongokkan kepala ke dalam kamar yang Bibi Rumi katakan adalah kamarku. Mataku membulat sempurna. Benarkah ini kamarku? "Nona!" Aku tersentak kaget. Lalu menoleh pada Bibi Rumi. Wajahku sudah merona karena malu. Bisa-bisanya aku bertingkah kampungan dengan mengagumi keindahan rumah ini. "Ya," jawabku cepat. "Saya permisi dulu. Silahkan Anda masuk ke dalam. Pukul tujuh malam nanti, Anda bisa menuju ke ruang makan untuk menikmati makan malam." "Baiklah, Bi. Terima kasih." Bibi Rumi meninggalkanku. Aku memutuskan masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya. Berjalan mendekati ranjang dengan pandangan menyisir seluruh penjuru ruangan. Benar-benar membuatku terkagum dibuatnya. Kujatuhkan tubuhku di tepi ranjang, mengusap kasur empuk yang dilapisi sprei yang begitu lembut. Mata ini tak lepas mengagumi segala hal yang berada dalam jangkauan penglihatanku. Hingga saat pandanganku tertuju pada sebuah foto berbingkai yang cukup besar tertempel di salah satu dinding kamar, aku beranjak berdiri. Menghadap pada foto tersebut. Tampak tiga orang yang berada di dalam foto itu. Seorang wanita yang sangat cantik diapit oleh dua orang pria. Salah satu pria yang aku kenal adalah Ben. Dan satu lagi seorang pria seusia almarhum Papa yang kutebak adalah papanya Ben. Aku masih enggan mengalihkan tatapan dari foto keluarga tersebut. Seolah ada sebuah ketertarikan melihat keharmonisan keluarga Ben. Namun, kenapa di rumah ini tadi tampak sepi. Ke mana perginya kedua orang tua Ben. Kenapa tak terlihat olehku tadi. Ah, nanti saja aku akan tanyakan pada Bibi Rumi. Karena aku terlalu penasaran pada sosok Ben dan keluarganya yang sama sekali tak aku ketahui asal usulnya.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD