Bab 8: Pernikahanku Terasa Aneh 6

1315 Words
# Axel mendesah pelan untuk ke sekian kalinya. Dia mencoba memejamkan mata tapi entah kenapa dirinya sama sekali tidak bisa terlelap. Pada akhirnya Axel hanya berbaring menatap langit-langit. Sejujurnya Axel benar - benar mengkhawatirkan keadaan Zio. Bagaimana jika sikap Helena membuat Zio kecewa? Meski saat sadar Helena mengingat nama Zio, tapi itu bukan seperti dia ingat kalau Zio adalah putranya, anak yang dia lahirkan empat tahun lalu. Zio adalah segalanya bagi Axel yang tumbuh besar di panti asuhan. Karena Dirinya tidak mengenal kasih sayang orang tua, maka dia juga tidak ingin kalau anaknya mengalami hal yang sama dengannya. Disisi lain, Axel merasa kalau dia tidak bisa memaksa Helena untuk setidaknya menjalankan kewajibannya sebagai ibu Zio karena jauh dalam hatinya dia merasa sangat bersalah pada wanita itu karena meski Helena yang datang ke kamarnya namun dia tidak seharusnya menanggapi wanita yang usianya jauh di bawahnya itu. Di saat gadis lain tengah menikmati kehidupan dan karir mereka, Helena sudah harus mengandung dan melahirkan Zio. Dia sepenuhnya paham dengan penolakan Helena, ditambah lagi, tidak ada cinta di antara mereka. Malam yang mereka lewati adalah sebuah kesalahan meski sebenarnya sebagai orang yang lebih dewasa, Axel menyadari kalau malam itu adalah pencapaian dan pelepasan dari keinginan serakah dalam diri mereka masing-masing. Helena dengan ambisinya akan kekayaan yang dimiliki oleh Axel dan Axel sendiri akan sebuah keluarga utuh di mana dia bisa mewujudkan apa yang tidak pernah bisa dia capai selama ini. Sebuah keluarga yang benar-benar miliknya. Malam ketika kejadian itu, Axel sempat berpikir kalau mungkin dengan cara ini, dia akhirnya bisa mendapatkan sebuah keluarga. Helena datang dari keluarga yang baik, dia terlihat menarik dan dengan bantuan alkohol, bahkan dirinya saat itu merasakan daya tarik yang begitu besar akan Helena. Itulah sebabnya dia tidak pernah menyalahkan Helena. Semua tingkah Helena yang menurut orang lain keterlaluan, dimata Axel hanyalah sesuatu yang biasa dilakukan seorang gadis. Dia menyediakan semua kebutuhan Helena sebagai kompensasi telah memberikan seorang anak untuknya. Ponsel Axel berdering menandakan ada pesan masuk, membuatnya seketika tersadar dari lamunan. Diraihnya ponsel miliknya dan keningnya sedikit berkerut mendapati pesan masuk dari Helena. "Dokter bilang aku sudah bisa pulang besok. Kau akan datang?" Axel menatap pesan itu lama. Kemudian dia tersadar dengan kenyataan kalau Helena masih amnesia. Tentu saja. Jika bukan karena amnesia mana mungkin wanita itu akan mengiriminya pesan? "Tidak. Masih ada pekerjaan di sini." Dia mengetik pesannya dan kemudian mengirimkannya. Dia melihat tanda mengetik di kontak Helena. "Baiklah. Aku bisa pulang dengan Mama dan Papa." Sebuah pesan kembali masuk di ponsel Axel dari Helena. "Oke." Balas Axel pendek. Tapi dia masih menatap layar ponselnya saat melihat logo mengetik kembali di kontak Helena. "Bolehkah aku tidak pulang ke rumahmu dulu?" Tanpa sadar Axel mengerutkan alis tebalnya. Ada rasa kecewa yang menyusup di dalam hatinya. Helena tetaplah Helena, baik hilang ingatan atau tidak, kepribadiannya tidak mungkin berubah semudah itu. Helena selalu lebih senang tinggal di hotel mewah dulu sebelum pulang ke rumah setiap kali dia selesai berlibur. Berada di RS selama beberapa waktu, wajar saja jika Helena ingin bersenang-senang saat keluar. Axel mulai mengetik di layar ponselnya. "Aku akan menyuruh sekretarisku di Jakarta mengurusnya. Pilih saja di hotel mana pun yang kau ingin......" Axel berhenti mengetik saat sebuah pesan baru lebih dulu masuk ke ponselnya dari Helena. "Biarkan aku pulang ke rumah Papa dan Mama. Kau bisa menjemputku saat kau pulang nanti." Axel menatap pesan yang dikirimkan Helena. Dia hampir tidak percaya kalau ternyata tebakannya salah. Dia menghapus semua pesan yang terlanjur diketik sebelumnya. "Oke." Balas Axel akhirnya. Di sisi lain Helena meletakkan ponselnya di atas meja setelah mendapat persetujuan Axel. Nyonya Ratri tampak merengut kesal. "Pokoknya besok kau harus segera keluar dari RS ini. Aku tidak percaya bagaimana seorang perawat bisa bersikap tidak sopan padamu." Helena tersenyum. Dia paham penyebab kekesalan ibunya. Beberapa hari ini, perawat pria baru yang bertugas membantunya dalam terapi tampaknya menaruh perhatian lebih kepadanya. Umumnya perawat dan dokter yang merawatnya sudah tahu kalau dirinya sudah menikah dan memiliki anak, apalagi karena Axel sudah sering datang menjenguknya sejak hari pertama dia sadar dari koma. Akan tetapi, tiga hari terakhir saat dia menjalani terapi ada seorang perawat pria baru yang membantunya. Perawat itu terang-terangan mengatakan kalau dirinya adalah wanita yang menarik dan benar-benar tipe wanita idamannya. Kebetulan juga saat itu ibunya sempat mendengar kalimat perawat pria tersebut. Meski Helena bersikap tegas menolak dengan memperjelas statusnya sebagai istri orang lain, tapi ibunya tampak masih sangat kesal. "Mama, tadinya dia tidak menyangka kalau aku sudah menikah dan bahkan memiliki seorang anak. Sekarang dia sudah tahu kalau aku adalah wanita yang sudah menikah. Aku yakin dia tidak akan berani lagi. Lagi pula, bukannya besok aku memang sudah boleh pulang? Kami tidak akan bertemu lagi dan dia tidak akan punya kesempatan lagi melihatku. Jangan marah lagi," bujuk Helena. Tuan Permana tersenyum. Ini pertama kalinya dia melihat Helena bersikap manis di hadapan dirinya dan istrinya. Putrinya bahkan membujuk istrinya itu padahal dulu keduanya hanya bisa bertengkar setiap saat, setiap waktu. "Apa kau sudah menelepon Axel dan mengingatkan kalau kau akan pulang besok? Dia bilang dia akan menjemputmu?" tanya Tuan Permana. Helena menggeleng. "Dia tidak bisa. Tadi aku baru saja mengirim pesan kepadanya. Katanya dia sibuk sekali dan belum bisa pulang," jawab Helena. "Kau mengirim apa?" tanya Tuan Permana sekali lagi. Dia merasa sepertinya sudah salah mendengar kalau Helena mengirimkan Axel sebuah pesan. Meskipun dia menyuruh Helena menelepon Axel, yang dia maksud sebenarnya adalah menelepon asisten Axel seperti yang selama ini selalu Helena lakukan. Tuan Permana tahu dengan jelas kalau anak dan menantunya tidak pernah saling mengirim pesan sebagaimana layaknya pasangan normal. "Aku mengirim pesan pada Axel." Helena mengulangi ucapannya dengan santai. "Oh, maksudmu asistennya?" Nyonya Ratri menambahkan. Helena mengerutkan dahinya bingung. "Buat apa aku mengirim pesan pada asisten Axel?" Helena malah balik bertanya. Tuan Permana dan Nyonya Ratri saling berpandangan satu sama lain kemudian terdiam. Helena mendesah pelan. "Rupanya aku dan Axel tidak pernah saling berkirim pesan sebelumnya dan aku selalu menghubungi asisten Axel bukannya Axel? Pantas saja, dia bersikap aneh saat aku memintanya bertukar kontak," ujar Helena, sorot matanya terlihat sendu. Ini benar-benar sebuah pernikahan yang terasa aneh. Batinnya. Nyonya Ratri bergegas mendekati Helena. "Dengar Nak. Perbedaan usia kalian memang sangat jauh jadi mungkin karena itu Axel sangat kaku sementara kau sangat aktif. Tapi bukan berarti Axel bukan suami yang baik dan kau bukan istri yang baik. Kalian sudah menikah selama empat tahun, itu bukan masa yang pendek. Hal yang baik kalau kau memulai lebih dulu untuk menghubunginya. Mama bangga padamu," ucap Nyonya Ratri. Di mata Nyonya Ratri, ketika Helena memutuskan untuk mengirim pesan saja pada Axel sudah merupakan kemajuan besar. Jangan sampai Helena berubah pikiran dan kembali hanya menghubungi asisten Axel. Jadi dia berusaha memberi tambahan dorongan pada Helena saat ini. Helena tersenyum. Meski dia mengangguk di hadapan ibunya, hati kecilnya tahu ada hal yang aneh dengan pernikahannya. Jika memang Axel adalah pria yang baik seperti yang dikatakan ibunya, berarti dalam pernikahan mereka selama ini, dirinyalah yang bermasalah. Helena menggigit bibirnya pelan. Tengah malam saat sedang fokus bekerja, Axel tersenyum saat melihat pesan baru dari Helena. "Kau sudah tidur? Kalau ya, kuharap kau membalas pesanku saat kau membacanya besok pagi. Begini, Mama bilang padaku kalau kau adalah suami yang baik dan juga ayah yang sangat baik untuk anak kita. Aku tahu aku tidak ingat apa-apa sekarang, tapi ini sangat menggangguku. Maksudku, kalau kebetulan di masa lalu aku memperlakukanmu dengan kurang baik maka aku ingin minta maaf untuk semuanya. Aku hanya ingin menjalani hidupku dengan tenang dan menjalani pernikahan kita dengan baik. Bagaimana?" Kali ini Axel mengetik sebuah jawaban yang agak panjang dibanding balasan yang dia kirimkan sebelumnya. "Aku memaafkanmu. Aku juga setuju untuk menjalani pernikahan kita dengan baik. Bagaimanapun Zio membutuhkan kita berdua. Tidurlah, ini sudah larut malam." Sekejap kemudian setelah Axel mengirimkan pesan tersebut, sebuah pesan kembali masuk di ponsel miliknya. "Selamat tidur." Dan Axel tanpa sadar tersenyum sambil membalas pesan istrinya. "Oke. Kau juga. Selamat tidur Helena." Dan dia kembali menekuni pekerjaannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD