Prolog
Axel melihat Helena memarkir mobilnya.
Wanita itu tampak menawan seperti biasa dengan apa pun yang dikenakannya. Jadi tidak heran kalau semua mata akan tertuju ke arah istrinya ketika wanita itu melangkah.
Axel menarik napas panjang.
Empat tahun lalu, alasan kenapa dirinya menikahi Helena adalah karena Helena tengah mengandung anaknya. Dia bisa saja menyuruh wanita itu menggugurkan kandungannya tapi Axel bukan jenis pria tidak bertanggung jawab seperti itu.
Axel tumbuh dewasa di panti asuhan dan dia berjuang keras dari bawah untuk bisa mendirikan usahanya sendiri dan bekerja keras untuk membawa perusahaannya menjadi berhasil seperti sekarang.
Dia tidak pernah berpikir untuk jatuh cinta atau bahkan menjalin hubungan asmara karena sejak awal dia mendedikasikan seluruh hidupnya untuk pekerjaan.
Axel tidak pernah tergoda pada wanita cantik, bahkan secantik Helena sekalipun, yang kecantikannya bisa disejajarkan dengan model atau bahkan artis. Tidak sama sekali. Dia membangun kekebalan dirinya sendiri terhadap kecantikan yang mematikan seperti itu karena tidak ingin membuat langkah yang salah dalam hidupnya. Dia tidak ingin semua yang telah ia bangun dengan susah payah hancur karena wanita.
Akan tetapi, bagaimanapun juga dirinya tetap seorang pria biasa. Empat tahun lalu, pertama dan satu-satunya kesalahan yang ia lakukan adalah meniduri salah satu karyawan di perusahaannya. Dan wanita itu adalah Helena.
"Maaf, aku telat. Tadi macet," ucap Helena sambil melepas kacamata hitam yang dikenakannya.
Wajah Helana sempurna tanpa cacat, bahkan gerakan kecilnya sekalipun mampu membuat para pengunjung di tempat itu menahan napas.
Tapi itu tidak berlaku bagi Axel.
Empat tahun lamanya mereka menjadi suami istri, entah bagaimana caranya Axel tidak lagi terkejut ataupun terpana melihat wajah cantik istrinya.
"Tidak apa, duduklah dan pesan apa pun yang kau inginkan," ucap Axel.
Helena menggeleng pelan.
"Aku sedang dalam diet ketat. Kopi, s**u dan sejenisnya tidak akan berakibat baik untukku," ucap Helena.
Axel mengabaikan penjelasan Helena. Dia meraih dokumen dari dalam tas dan meletakkan semuanya di atas meja.
"Aku merinci semua yang kau inginkan di dalam. Aku tidak akan mengurangi uang bulananmu bahkan sekalipun kita bercerai. Rumah yang ditempati keluargamu atas namamu akan tetap menjadi milikmu, aku juga memberi kuasa kepadamu atas semua rumahku yang lain, vila, dan mobil yang kau beli dan yang kubelikan untukmu. Aku memenuhi janjiku untuk membuat hidupmu nyaman karena bagaimanapun, kau adalah ibu kandung Zio," ucap Axel.
Helena membaca sekilas surat cerai yang diberikan oleh Axel. Dia tersenyum puas.
"Zio akan bersamamu kan? Aku tidak pandai dengan anak-anak. Kau tahu itu," ucap Helena.
Axel mengerutkan dahinya untuk sesaat. Bahkan sekalipun Helena berubah pikiran dan ingin mengasuh Zio, dia tidak akan mengizinkannya.
Helena tidak pernah peduli kepada Zio sejak dia melahirkan anak mereka. Apa yang dipedulikan oleh wanita itu hanya berbelanja, berlibur dan melakukan kegiatan yang dia senangi. Karena itulah, Axel selalu memastikan Zio mendapat pengasuh yang berpengalaman dan penuh kasih sayang, karena untuk mengharapkan kasih sayang ibu kandungnya, itu tidak mungkin.
Terkadang Axel bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Mungkinkah usia Helena yang masih 22 tahun saat melahirkan Zio adalah usia yang terlampau muda? Hingga wanita itu sama sekali tidak bisa menjadi ibu seperti yang seharusnya?
Jangankan memberi Zio perhatian, Helena selalu saja menunjukkan sikap kesal dan risih setiap kali Zio mendekat atau ingin berada dalam pelukannya.
Tapi Axel pada akhirnya paham. Helena sama sekali tidak menginginkan Zio. Yang di inginkan Helena bukan Zio atau dirinya akan tetapi uangnya dan kenyamanan yang bisa dia berikan kepada wanita itu dengan status sebagai istrinya.
Dan kini, saat dia tidak lagi membutuhkan status itu, Helena meminta perceraian yang sama sekali tidak akan ditolak oleh Axel.
Bagaimanapun, selama empat tahun ini mereka hanya hidup sebagai kolega atau partner dalam pernikahan untuk memberi Zio keluarga yang lengkap sementara waktu dan memberi Helena nama sebagai istrinya beserta semua hal-hal bersifat materi yang membuat Helena bahagia.
"Zio akan menjadi tanggung jawabku. Kau tidak perlu khawatir anakku akan menyusahkanmu di masa depan," ucap Axel. Dia menyebut Zio anaknya karena dia juga paham, menyebut ‘anak mereka’ sudah menjadi beban bagi Helena.
Helena kembali tersenyum. Senyum yang bisa membuat semua orang tersihir kecuali Axel.
"Kau benar-benar bisa diandalkan. Aku tidak pernah salah menilaimu," ucap Helena tenang, bahkan cenderung dingin.
Axel hanya menanggapi datar ucapan Helena.
"Ada yang ingin kutanyakan," ucap Axel akhirnya.
"Silahka," balas Helena sambil membubuhkan tanda tangan di atas surat cerai mereka berdua.
"Kenapa kau tiba-tiba ingin bercerai setelah empat tahun? " tanya Axel.
Helena mengangkat wajahnya dan menatap Axel.
"Kenapa ya? Aku juga tidak tahu pasti. Yang jelas, kalau aku tetap bisa hidup nyaman tanpa harus menikahimu, kenapa aku harus tetap menjadi istrimu? Kau sendiri tahu, aku tidak cocok menjadi ibu rumah tangga," ucap Helena.
Axel menatap Helena datar.
"Apa kau mungkin sudah menemukan pria lain di luar sana? Jika ya, aku tidak akan keberatan selama kau mengatakannya lebih dulu. Bagaimanapun, mental Zio perlu dipersiapkan kalau dia memang harus memiliki ayah tiri," ucap Axel.
Helena menarik napas pelan.
"Kau tahu, satu-satunya kecocokan kita berdua adalah kita tidak terlalu peduli pada kisah romantis. Selama aku bisa hidup nyaman tanpa harus bergantung pada pria lain selain dirimu, aku terlalu malas untuk repot-repot bermain dengan perasaan. Aku suka kebebasan," ucap Helena.
Wanita itu bangkit berdiri dan tersenyum kembali ke arah Axel.
"Jika aku memang menemukan orang yang bisa diandalkan lebih dari dirimu, aku akan memberitahumu lebih dulu," lanjut Helena lagi.
Axel hanya diam menatap kepergian Helena.
Mungkin ini memang lebih baik.
Seperti yang Helena katakan. Wanita itu menyukai kebebasan lebih daripada dirinya sendiri. Dan Helena mencintai dirinya sendiri bahkan lebih dari anak yang dilahirkannya ke dunia ini.
Satu-satunya yang membuat Axel merasa sedih saat ini adalah Zio. Seorang anak selalu membutuhkan ibunya. Bahkan sekalipun Helena dan Zio tidak memiliki kedekatan sebagaimana layaknya ibu dan anak, akan tetapi Axel tahu kalau anaknya malah sangat mendambakan Helena, ibu kandungnya.
Dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk hal itu. Dia terlalu paham dengan pasti bagaimana karakter Helena sekarang. Empat tahun menikah dengan Helena memberinya cukup pemahaman dan keyakinan kalau kejadian yang dulu membawa Zio lahir ke dunia adalah sepenuhnya rencana Helena untuk membuatnya bertanggung jawab terhadap hidup wanita itu, bahkan hidup seluruh keluarganya.
Axel menarik napas panjang. Dia tidak tahu apakah ini yang terbaik.
Mungkin dia akan mengarang cerita kalau Helena sibuk berlibur seperti biasanya untuk mengalihkan perhatian Zio jika anaknya menanyakan tentang Helena.
Rasanya tidak akan begitu sulit bagi Zio mengingat Helena sangat jarang menghabiskan waktu untuk anak mereka. Bahkan bisa dikatakan tidak pernah.
Helena masih sempat melambai ke arahnya sebelum masuk ke dalam mobil sportnya meninggalkan tempat itu, dan Axel merasakan sensasi aneh di hatinya saat melihat hal itu.
Hatinya terasa sangat berat. Namun bukan karena perceraian mereka.
Dia tidak paham sama sekali sampai akhirnya ketika malam tiba dan dirinya menerima pesan tentang kecelakaan yang menimpa Helena.
Axel tidak mencintai wanita itu tapi dia juga tidak membenci Helena sampai mengharapkan hal buruk akan menimpa wanita yang telah memberinya seorang anak tersebut.
Saat itu yang dilakukan Axel pertama kali hanyalah menatap Zio yang tertidur lelap di sampingnya. Zio, malaikat kecilnya yang terlihat lebih serupa dengan Helena dibandingkan dengan dirinya. Putranya yang dilahirkan Helena untuknya.
Axel hanya bisa menarik napas berkali-kali, haruskah dia mengajukan surat cerai yang sudah mereka tandatangani bersama sekarang seperti yang diminta Helena sebelumnya?