#
Helena sebenarnya ingin membantu Nyonya Ratri menyiapkan makan malam tapi ibunya malah menolak.
"Meskipun Mama dan Papamu ini bukan orang kaya, kami tidak pernah membiarkanmu mengerjakan pekerjaan rumah jadi bagaimana mungkin kau bisa membantu Mama dan Papa memasak? Salah kami sampai kau bahkan tidak bisa menggoreng ikan. Serahkan saja pada Mama dan Papa."
Itulah yang dikatakan Nyonya Ratri.
Meski demikian, yang terjadi dalam penilaian Helena adalah Ayahnyalah yang memasak dan membersihkan rumah, bahkan sampai membersihkan kamar tamu yang akan digunakan oleh Helena dan Zio sementara Ibunya hanya menjadi 'pemandu sorak' yang memberi semangat dan menawarkan kopi serta kecupan di pipi pada Ayahnya.
Meski seperti itu, Ayahnya terlihat sangat bersemangat mengerjakan semua pekerjaan rumah dengan ‘sedikit’ bantuan dari Ibunya. Helena sendiri hanya bisa mendesah pelan melihat keceriaan kedua orang tuanya. Dia senang tapi juga merasa kaget karena tidak menyangka kalau kedua orang tuanya tidak hanya kompak tapi juga mesra di usia mereka yang tidak muda lagi.
Pada akhirnya, Helena paham kenapa dia sama sekali tidak bisa mengerjakan pekerjaan rumah dan memasak. Itu semua karena Ibunya sendiri sepertinya tidak bisa melakukan kedua hal itu dengan benar dikarenakan Ayahnya yang selalu mengerjakan segalanya.
Tuan Permana, Ayahnya benar-benar memanjakan Ibunya sampai keterlaluan dan sepertinya kedua orang tuanya itu juga memanjakan dirinya sampai di tahap yang keterlaluan juga sehingga dia bahkan mengikuti jejak Ibunya dengan sempurna.
Disisi lain, Helena dipaksa untuk duduk sambil menonton TV bersama Zio.
Tentu saja, dia tidak begitu fokus menonton. Acara TV hanya membuat sakit kepalanya kambuh. Sehingga pada akhirnya Helena hanya menggonta-ganti saluran TV tanpa minat.
Zio sendiri tampak sibuk dengan rubik kayu yang sejak tadi tidak pernah lepas dari tangannya, seakan-akan benda itu adalah segalanya dalam hidupnya saat ini
Meski begitu Helena tentu saja sadar kalau anak itu sering kali meliriknya diam-diam.
"Zio, apa ada yang ingin kau tonton?" tanya Helena lembut. Dia mulai memusatkan perhatiannya pada anak kecil itu sambil berkali-kali meyakinkan dirinya sendiri kalau makhluk menggemaskan di depannya itu adalah anak yang sudah dia lahirkan ke dunia ini.
Zio menghentikan aktivitasnya. Dia menatap Helena untuk beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk pelan dengan malu-malu. Wajahnya bersemu merah, namun binar di matanya menunjukkan kalau dia menjadi sangat bersemangat saat ini.
Zio kemudian duduk di sisi sofa panjang yang satu sementara Helena disisi yang satunya lagi, membiarkan ruang kosong di antara keduanya tidak terisi.
Helena menepuk pelan tempat kosong di sampingnya. Membuat perhatian Zio kembali terarah kepadanya.
"Kemarilah, apa kau tidak ingin turun di dekat Mama?" tanya Helena.
Zio mengerjap menatap Helena selama beberapa saat sebelum akhirnya sebuah senyuman tipis yang sangat samar terukir di wajahnya. Dia turun dari sofa dan menggerakkan kaki kecilnya beberapa langkah ke arah Helena.
Namun setelah berada di dekat Helena, tanpa disangka Zio malah menyerahkan rubik di tangannya kepada Helena.
Awalnya Helena sedikit bingung saat menerima rubik yang disodorkan putranya, namun kemudian dia menjadi sedikit tercengang.
"Kau mengerjakan ini sendiri? Kau pasti jenius," ujar Helena tidak percaya. Dia menatap Zio dengan bangga. Dia ternyata sudah melahirkan seorang anak laki-laki yang tidak hanya imut dan menggemaskan tapi juga pintar.
Zio mengangguk mantap. Pujian Helena membuat wajahnya memerah tapi sorot matanya menyala oleh kegembiraan.
"Sejak dari rumah sampai sini, aku sudah empat kali berhasil karena ini sangat mudah. Mama lihat kan? Aku anak yang pintar," ucap Zio penuh percaya diri, kalimatnya sama sekali tidak cadel. Sekali lagi Zio menyodorkan rubiknya dengan bangga ke hadapan Helena.
Meski masih belum genap lima tahun, namun Zio memiliki tatapan yang cemerlang dan pikiran yang fokus. Dia bahkan mengucapkan banyak kata dengan lancar tanpa ada yang salah dan itu sesuatu yang cukup mengesankan untuk anak seusianya.
Helena menyentuh pipi gembul Zio dengan gemas. Dia harus menahan diri sebisa mungkin untuk tidak mencubit pipi putranya dan berakhir membuat anak itu ketakutan atau menjauh darinya. Dia tidak menginginkan hal itu. Tidak di hari pertama mereka bertemu.
"Iya, Mama lihat kok. Tampaknya anak Mama ini tidak hanya pintar tapi juga jenius," ucap Helena. Itu adalah pujian yang tulus bagi putranya.
Zio menatap Helena sekali lagi, kemudian tempat kosong di samping Helena. Hal itu terjadi beberapa kali seakan dia memang ingin memastikan kalau Helena benar-benar mengizinkannya untuk duduk di situ.
Merasa kalau putranya itu ragu-ragu, Helena meraih pinggang putranya dan mendudukkannya di sampingnya. Aroma sampo bayi yang lembut dan harum menyeruak ke hidungnya saat berada dekat dengan Zio. Itu membuat Helena merasa senang, jadi dia mengecup puncak kepala Zio secara spontan.
Tindakan spontan Helena membuat Zio diam-diam mengulum senyum bahagia dan menyamankan diri bersandar dalam pelukan Ibunya.
Dia tidak pernah dipeluk seperti ini sebelumnya oleh sang Ibu, jadi ini adalah pengalaman pertamanya.
Zio mengira kalau sikap Ibunya yang semakin menerimanya saat ini karena dirinya pasti sudah tumbuh lebih tinggi dan terlihat dewasa jadi Ibunya tidak lagi menyuruhnya menjauh. Dia jadi ingin segera tumbuh menjadi lebih tinggi lagi, agar Ibunya mau terus memeluknya seperti sekarang.
"Nah, acara apa yang ingin kau tonton? Kalau tidak salah tadi ada acara anak-anak. Kau suka baby TV?" tanya Helena lagi.
Zio tersenyum malu-malu. Sebagai anak kecil, dia tidak bisa menyembunyikan ekspresi bahagia di wajahnya. Namun dia kemudian menyadari sesuatu yang membuat kegembiraannya mulai berubah menjadi kekhawatiran.
"Aku sudah dewasa Mama, tidak menonton acara anak-anak lagi," ucap Zio pelan. dia memilin jarinya sendiri karena gelisah. Jangan sampai Mamanya tahu kalau dirinya masih suka menonton film kartun.
Helena tertawa.
Tingkah Zio terasa lucu dalam pandangannya.
Awalnya Helena memiliki sedikit ketakutan kalau putranya mungkin menolaknya. Kalau dirinya mungkin bukan ibu yang baik untuk anaknya di masa lalu.
Entah kenapa Helena memiliki perasaan yang sangat mengganggu seperti itu. Tapi melihat bagaimana Zio begitu nyaman di dekatnya saat ini, dia akhirnya memutuskan kalau tampaknya dia hanya terlalu khawatir.
"Baiklah kalau begitu. Tapi setahu Mama, orang dewasa juga banyak kok yang suka dengan film kartun dan itu sama sekali tidak masalah," ucap Helena.
Zio menengadah menatap wajah mamanya.
"Benarkah?" tanyanya memastikan.
Helena mengangguk yakin. Dia sengaja membuat ekspresi wajah yang bisa membuat Zio terkesan dan tidak merasa ragu.
"Iya. Memangnya Zio tidak percaya dengan ucapan Mama?" Helena malah balik bertanya.
Zio menggeleng kuat. Dia tidak pernah meragukan Ibunya sama sekali. Bagi anak itu, semua yang dikatakan oleh Ibunya adalah sesuatu yang sudah pasti benar. Usianya masih terlalu kecil untuk menilai antara benar dan salah.
Helena meraih kembali remote dan mengarahkan benda itu ke TV di depan mereka.
"Nah, sekarang Zio ingin menonton acara apa?" tanya Helena lagi.
Dia sangat menikmati ekspresi malu-malu dan ragu di wajah putranya. Alis tebal Zio bahkan sangat mirip dengan Axel ketika dia tengah berpikir keras.
"Uhm, Paw Patrol, channel 40," ucap Zio akhirnya.
Helena menekan saluran nomor 40 dan wajah seketika Zio berubah antusias.
Meski begitu, sesekali Zio tetap mendongak menatap Helena. Seakan dia harus memastikan kalau Ibunya itu tidak akan menghilang tiba-tiba.
Helena menyadari hal tersebut dan dia berpikir kalau mungkin Zio pasti merasa sangat kehilangan karena dirinya dirawat di Rumah Sakit selama hampir satu bulan.
Bagaimanapun, seorang anak adalah yang paling membutuhkan Ibunya. Meski dia hilang ingatan, hal mendasar seperti itu tidak mungkin tidak dia tidak tahu.
"Kepala Zio akan sakit kalau Zio sering mendongak seperti itu. Mama tidak akan ke mana-mana jadi menontonlah dengan tenang," ucap Helena.
"Benarkah?" tanya Zio lagi.
"Iya, benar." Helena memastikan.
"Mama tidak akan pergi-pergi lagi kan?" Zio tampak masih ragu. Pertanyaan yang dia ajukan menyiratkan kekhawatirannya selama ini.
"Memangnya Mama sering pergi-pergi?" Helena balas bertanya.
Zio mengangguk.
"Mama selalu liburan dan Papa selalu kerja. Tapi papa sering membawaku ke tempat kerja, jadi aku tidak khawatir. Tapi mama tidak pernah membawaku dan Mama selalu liburan sendirian. Jadi, aku khawatir," ucap Zio polos.
Helena terdiam.
Zio masih menatap Helena dengan tatapan seorang anak kecil yang tidak mungkin mengatakan kebohongan.
Helena merasa dadanya sedikit sakit karena dia bahkan tidak ingat apa yang sudah dia lakukan dulu.
Apa dia sudah menelantarkan putranya sendiri? Apa benar dia sering meninggalkan keluarganya?
Sikap Axel saat mereka bertemu untuk pertama kalinya begitu dia sadar dari koma, isi pesan singkat dari dirinya di ponsel Mamanya, dan kini anaknya juga mengisyaratkan betapa jahatnya dia dulu.
Tapi kenapa? Kalau memang dirinya adalah orang yang seperti itu, kenapa dia tidak bisa memahami dirinya sendiri? Apa alasan dia melakukan semua hal yang terasa bertentangan dengan perasaannya saat ini? Seharusnya dia memiliki alasan bukan?
Helena mengalihkan tatapannya ke sekeliling ruangan yang ditata rapi dan penuh kehangatan. Dia berani bertaruh kalau suasana di rumah kedua orang tuanya tersebut bisa membuat siapa saja menjadi ingin tinggal lebih lama di rumah itu. Rumah kedua orang tuanya yang lembut dan sangat menyayanginya
Selain itu, Axel yang meskipun kaku dan terlihat datar tapi sebenarnya cukup tampan untuk ukuran pria yang usianya jauh di atasnya.
Helena merasa wajar saja kalau dulu dirinya bisa jatuh cinta pada ayah anaknya tersebut meski perbedaan usia mereka sangat jauh. Selain tampan dan penuh kharisma, Axel juga kaya raya sedangkan Helena sadar dengan benar kalau dia sendiri cantik dan menarik.
Jika memang dirinya dan Axel dulu tidak saling mencintai, tidak mungkin dirinya bisa melahirkan Zio ke dunia ini kan?
Hanya saja pertanyaan Zio barusan, membuat Helena kembali meragukan pemikirannya sendiri.
Jika dia memang sering meninggalkan anak dan suaminya dulu, apa mungkin mereka menikah bukan karena cinta?
Tapi Axel tidak terlihat seperti seorang pria yang akan memaksa seorang wanita untuk menikah dengannya. Jika demikian, dia mulai merasa kalau bisa saja, dirinyalah yang paling bermasalah selama ini.