Bab 6: Pernikahanku Terasa Aneh 4

1642 Words
# Tuan Permana perlahan menarik napas panjang sambil berusaha menyembunyikan rasa bersalah sekaligus kekecewaan yang sekilas membayang di wajahnya. Bagaimanapun Helena tetaplah Helena. Puteri satu-satunya itu mungkin sedang mengalami amnesia saat ini, akan tetapi sifat egois dan tidak pedulinya sama sekali tidak mungkin berubah hanya dalam satu malam. Pada akhirnya Tuan Permana hanya bisa menatap istrinya penuh isyarat yang tentu saja langsung dipahami oleh Nyonya Permana. "Oh ya, mama baru ingat kalau ternyata Axel harus keluar kota beberapa hari ini. Mama merasa tidak tega pada anakmu, cucu mama satu-satunya itu. Kasihan sekali kalau Zio harus ditinggal sendiri di rumah hanya bersama pembantu. Semenjak kau masuk Rumah Sakit, sudah sebulan lebih lho dia lebih sering bersama pembantu dibanding bersama orang tuanya. Apa kau mau mama membawa Zio kesini?" tanya Nyonya Ratri. Tangannya sedikit gemetar membayangkan penolakan yang akan diberikan oleh putrinya sendiri seperti di masa lalu. Meski begitu, Nyonya Ratri tetap merasa kalau Helena yang saat ini sedang kehilangan ingatannya adalah kesempatan terbaik untuk membuatnya dekat dengan sang cucu. Bagaimanapun seorang ibu pasti memiliki naluri untuk dekat dengan anak yang sudah dia lahirkan, tidak mungkin tidak. Itulah yang diharapkan oleh Tuan dan Nyonya Ratri. Helena meraih buah apel yang sudah dikupas dan dipotongkan oleh ibunya di atas piring. Tanpa menengok ke arah kedua orang tuanya, dia menggelengkan kepalanya sambil menikmati apelnya. "Tidak perlu. Pengasuhnya adalah orang-orang yang kompeten dan bertanggung jawab menurut Axel. Akan merepotkan kalau Zio dibawa kesini. Selain itu Rumah Sakit bukan tempat yang baik untuk anak kecil," jawab Helena. Nada suara Helena terdengar ringan dan tanpa beban meski kenyataannya dia sudah lama tidak bertemu dengan anak kandungnya sendiri. Kali ini Nyonya Ratri yang menarik napas panjang. Alasan Helena memang masuk akal tapi bukankah memang Helena selalu seperti ini? Helena sebelumnya memang tidak pernah menyukai atau peduli pada suami dan anaknya. Dan kini kedua orang tuanya akhirnya sadar kalau sikap keras kepala dan tidak peduli tersebut tidak mungkin berubah begitu saja hanya karena dia hilang ingatan seperti sekarang. Hanya saja, Nyonya Ratri tetap merasa kecewa. Bahkan kekecewaan itu tidak bisa diungkapkannya dengan kata-kata dan hanya dipendamnya dalam hati. Nyonya Ratri ingin anaknya memiliki keluarga yang baik demi cucunya. Tidak benar adanya dan tidak seharusnya kalau seorang ibu selalu mengabaikan anak yang sudah dia kandung dan lahirkan. Anak adalah bagian yang tak terpisahkan dari seorang ibu itu sendiri meski Nyonya Ratri menyadari juga kalau Helena mungkin tidak memiliki kesadaran seperti itu. Di sisi lain, Nyonya Ratri tahu kalau bagi Helena, Zio tidak lebih dari sekedar alat untuk memperoleh kemewahan dari Axel. Ini tetap saja terasa sangat kejam untuk anak sekecil Zio yang sudah seharusnya mendapatkan kasih sayang sama besarnya dari kedua orang tuanya. "Jika memang itu yang kau inginkan," ujar Nyonya Ratri akhirnya. Dia mengalah. Dalam keadaan normal, Nyonya Ratri pasti sudah bersikeras mendesak Helena dan berakhir dengan pertengkaran keduanya seperti yang selama ini selalu terjadi sebelum kecelakaan itu terjadi. Zio hampir selalu menjadi topik panas yang membuat Helena menjauhi Nyonya Ratri, ibu kandungnya sendiri. “Jika mama sungguh menyukai Zio, kenapa tidak mama saja yang mengasuhnya? Setidaknya aku tidak perlu membayar pengasuh hanya untuknya. Ini caraku menjadi ibunya. Mama tidak perlu setuju denganku, tapi tolong jangan mengatur apa yang boleh dan apa yang tidak boleh kulakukan sebagai ibunya.” Itu adalah kata-kata yang dilontarkan Helena saat mereka bertengkar hebat setelah Helena mengemukakan niatnya untuk memasukkan Zio ke sekolah asrama segera setelah Zio cukup umur untuk masuk ke Sekolah Dasar, seakan dia memang ingin segera menyingkirkan anaknya sendiri dari pandangan matanya. Sekarang, Nyonya Ratri berusaha untuk tidak mengusik kehidupan putrinya terlalu dalam secara langsung. Dulu dia sudah gagal dan membuat Helena membangun tembok pembatas terhadapnya. Selain itu, alasan utamanya karena Helena sedang dalam kondisi yang tidak memungkinkan dengan amnesia yang dialaminya sekarang. Nyonya Ratri menyadari dengan jelas kalau dirinya masih tidak ingin kehilangan senyuman putrinya setelah semua kedekatan yang mereka rasakan seminggu terakhir yang dimulai semenjak Helena sadar dari koma. Senyuman Helena adalah hal yang sangat berarti bagi kedua orang tua Helena. Perlahan Nyonya Ratri mengulurkan tangannya dan menyentuh anak rambut Helena yang terjatuh di samping wajahnya. Merapikan rambut Helena, sama seperti yang dilakukannya ketika putrinya masih seorang gadis kecil bertahun-tahun yang sudah berlalu. "Mungkin Zio memang tidak harus kesini, tapi tidakkah kau merindukan putramu? Kau menyebut namanya dan nama suamimu begitu kau terbangun. Jauh di dalam hati setiap wanita, ketika dia menjadi seorang ibu, maka akan selalu merindukan anaknya. Kau sebagai mamanya Zio, juga seharusnya memiliki perasaan yang sama." Nyonya Ratri menyentuh pipi Helena lembut dan menatap matanya sembari mencoba memahami apa yang sebenarnya ada di dalam pikiran putrinya saat ini. Nyonya Ratri berharap kalau setidaknya dirinya mampu memunculkan kesan dalam pikiran Helena kalau dia dekat dengan putranya sendiri. Siapa tahu penyakit Helena sekarang adalah kesempatan bagi Zio. Kesempatan untuk bisa memiliki kasih sayang seorang ibu yang tidak pernah dia dapatkan dari ibu kandungnya sendiri sejak dia dilahirkan ke dunia. Saat itu, raut wajah Helena tampak sendu. "Aku juga tidak tahu kenapa hanya Axel dan Zio yang bisa kuingat. Aku bahkan tidak mengingat namaku sendiri dengan jelas tapi aku benar-benar mengingat nama Axel dan Zio, yang ternyata adalah suami dan anakku,” ungkap Helena. Dia mendesah berat. “Hanya saja untuk merindukannya ...” Helena pada akhirnya tidak jadi melanjutkan ucapannya karena sesungguhnya dia tidak bisa benar-benar memutuskan seperti apa perasaannya saat ini. Helena bahkan belum pernah bertemu langsung dengan putranya sendiri, setidaknya setelah dia bangun dari koma dengan kepala kosong tanpa kenangan tentang kejadian yang sudah dia lewati seumur hidupnya. Dengan kondisi seperti itu, bagaimana dia bisa merasa rindu? Kalau boleh jujur, Helena sebenarnya merasa bersyukur saat Axel tidak datang selama beberapa hari. Setelah kejadian saat di kamar mandi waktu itu, situasi di antara mereka berdua terasa amat sangat canggung. "Zio adalah anak yang sangat lucu dan penurut. Kau akan segera menyukainya karena bagaimanapun, dia adalah anak yang kaulahirkan dari rahimmu sendiri. Kau melalui banyak kesukaran saat mengandung Zio," ucap Nyonya Ratri sambil tersenyum. Padahal Nyonya Ratri tahu kalau sesungguhnya hal inilah yang justru membuat Helena jadi kurang menyukai anaknya sendiri. Karena dirinya sangat menderita saat mengandung Zio dan itu membuatnya sangat kesal setiap kali ibunya mengungkit tentang Zio atau bagaimana seharusnya dia memperlakukan anaknya. Nyonya Ratri tahu itu, tapi dia berharap kalau kali ini dirinya akan bisa mengarahkan Helena agar berpikir dengan benar dari sudut pandang seorang ibu seperti yang seharusnya. Helena mengerutkan dahinya. Tampak jelas di wajah cantik itu kalau Helena merasa bersalah karena dia sendiri tidak yakin apakah dia akan bisa menyayangi anaknya nanti seperti yang ibunya katakan. Hal ini membuatnya meragukan, apakah sebelum dia mengalami kecelakaan dirinya adalah seorang ibu yang baik bagi putranya? "Mama, apakah dimasa lalu aku adalah seorang yang telah mengabaikan putraku sendiri?" tanya Helena akhirnya. Nyonya Ratri terdiam. Mengapa Helena bisa menanyakan ini? Apa dia terlalu menekan anaknya? Tuan Permana meletakkan bacaannya dan menatap Helena. "Kenapa kau menanyakan itu?" tanyanya. "Karena jika ya, aku akan berusaha memperbaiknya Papa. Mungkin karena aku masih muda saat menikah sehingga aku tidak benar-benar bisa membesarkan anak dengan baik dan tanpa sadar sudah membuat kesalahan. Aku tidak ingin menjadi ibu yang semakin buruk karena aku tidak bisa mengingat anak dan suamiku sendiri," jelas Helena. Dia kemudian berhenti sejenak dan menarik napas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya lagi. "Aku tidak tahu bagaimana dulu aku memperlakukan kalian, suamiku atau bahkan anakku. Tapi aku tidak bodoh. Maafkan aku Ma, karena tanpa ijin Mama telah membaca sebagian besar pesan yang aku kirimkan pada Mama sebelum kecelakaan terjadi. Aku bahkan tidak mempercayai bagaimana aku bisa mengirim pesan-pesan yang begitu mengerikan seperti itu pada orang tuaku sendiri. Aku benar-benar ingin memperbaikinya. Aku benar-benar minta maaf Ma, Pa.” Kedua mata Helena tampak berkaca-kaca saat ini. “Jadi tolong beri aku waktu dan kesempatan. Aku tidak bisa langsung menjadi dekat pada Axel dan Zio, itu diluar kemampuanku saat ini. Hanya saja, aku akan berusaha. Sama seperti semuanya berusaha untuk tidak melukaiku selama ini dan tetap memperlakukanku dengan baik," lanjut Helena hati-hati. Dia menatap kedua orang tuanya dengan sungguh-sungguh. Nyonya Ratri tertegun mendengar kata-kata Helena. Betapa bodohnya dia meminjamkan ponselnya pada Helena tanpa menghapus riwayat percakapan lama dengan putrinya itu. Semua pertengkaran mereka dimasa lalu telah dibaca oleh Helena yang sekarang memiliki kepribadian yang jauh lebih baik dari Helena yang dulu. Tanpa sadar Nyonya Ratri meneteskan air mata. "Nak, apa ini benar dirimu? Putriku sayang, apakah kau bersungguh-sungguh dengan yang kau ucapkan?" tanya Nyonya Ratri tidak percaya. "Aku mungkin hilang ingatan, tapi aku tetap Helena, anak kalian. Aku bersyukur saat tersadar ternyata aku memiliki orang tua dan keluarga yang peduli kepadaku dan selalu berada di sisiku," ucap Helena. Nyonya Ratri memeluk Helena erat. Air matanya mengalir tanpa mampu dia bendung lagi. Putrinya yang selama ini menaruh jarak yang semakin jauh dengan dirinya kini kembali kepadanya. Helena adalah harta paling berharga untuknya. "Mama mengerti anakku. Mama mengerti," bisik Nyonya Ratri di telinga Helena. Helena merasakan kehangatan dalam dirinya. Karena dia tidak bisa mengingat apa pun, dia juga tidak bisa memahami dirinya sendiri di masa lalu. Apa yang membuatnya mengeluarkan kata-kata tidak sopan kepada kedua orang tuanya yang memperhatikan dirinya sampai seperti ini? Apa yang membuatnya bersikap begitu dingin pada keluarganya sendiri? Helena begitu ingin tahu, meski disisi lain, dia juga merasa ketakutan. Dia takut jika dirinya mengingat segalanya lalu dia akan kembali menyakiti keluarganya, terutama orang tuanya dan juga anaknya. Helena tidak begitu memiliki ikatan perasaan dengan Axel sekarang, selain kenyataan kalau dirinya dan Axel adalah suami istri. Tapi pada orang tuanya berbeda. Seminggu ini, kedua orang tuanya selalu datang menemaninya hampir 24 jam. Bagaimana mungkin dia tidak bisa merasakan kasih sayang mereka yang begitu besar kepadanya? Tentang anaknya, meski dia tidak tahu apakah dia bisa langsung menyayangi anak yang hanya namanya saja yang dia ingat itu, Helena tetap merasa kalau sebagai seorang ibu setidaknya dia harus tetap peduli pada anak yang sudah susah payah dia lahirkan ke dunia ini. Jika tidak, bukankah itu akan sangat kejam?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD