Pria itu terlihat kuat. Berapa botol minuman yang harus Emi cekoki sampai dia mabuk dan tidak sadarkan diri nanti?
Emi tersentak ketika Wawan menarik tangannya lalu mendorong memaksanya masuk ke dalam.
"Silahkan," ajak Arron memberi jalan Emi kemudian dia menutup pintu, menghiraukan Wawan yang berdiri di depannya.
Arron tahu kalau Emi canggung, bagaimana tidak canggung kalau hanya berdua saja di dalam kamar hotel yang super mewah itu dengan pria asing yang baru dia kenal.
"Duduk!" titahnya.
"Saya Arron, kamu Emily bukan?" Arron membuka percakapan sekaligus sebotol minuman dan menuangnya ke dalam dua gelas.
Mata Emi terus memperhatikan setiap pergerakan Arron, botol minuman yang pria itu pegang saja bermerk mahal, kandungan alkoholnya tinggi bukan Bir biasa seperti di kampungnya.
Arron memberikan satu gelas minuman haram itu pada Emi, mau tidak mau gadis lugu itu menerimanya dengan senyum tipis tapi cukup menambah manis wajahnya.
Tring!
"Ini untuk merayakan pertemuan kita, saya suka penampilan kamu di panggung tadi makanya saya minta Yudha untuk bicara sama Manager kamu itu agar kamu bisa menemani saya malam ini," ungkap Arron seraya menyeruput minumannya sedikit.
Kedua alis Arron terangkat, memberi tanda agar Emi pun ikut meminum minuman yang ada di pegangnya. Emi pun menurut.
Minuman itu baru menempel di bibir saja gadis itu meringis, membuat Arron mengulum senyumnya.
"Kamu belum pernah minum ini?" tanyanya. Emi langsung menggeleng.
Dia menarik napas dalam, "Saya baru di Kota ini, di Kampung tidak ada minuman sepahit ini, Tuan Arron," jawab Emi dalam satu tarikan napas.
Arron tertawa lepas.
"Okay kalau begitu kamu harus biasakan mulai sekarang, karena pekerjaan kamu sekarang mengharuskan mengenal semua ini, Emily."
Arron menyodorkan minuman itu untuk Emi minum. Dalam satu tenggak langsung membuat tenggorokannya panas. Tidak lama tubuh Emily memanas meski pendingin ruangan itu bekerja dengan baik. Perlahan kepalanya pun mulai berat dan dia tidak bisa mengontrol dirinya.
Efek sedikit minuman laknat itu membuat Emi lebih cepat dekat dengan Arron, rasa canggung dan takut sudah hilang begitu saja berganti dengan rasa nyaman saat berbincang dengan pria dewasa itu.
Tubuh Emi jatuh dalam pangkuan Arron saat gadis itu hendak menuangkan lagi minuman beralkohol itu ke gelas Arron.
Emi terpaku saat wajahnya hanya berjarak beberapa inchi saja dengan tamu VVIP tersebut. Hembusan napas Arron dapat dia rasakan.
Kemudian, sebuah ciuman basah pun tidak dapat Emi tolak, Arron menahan tengkuk Emi dan memperdalam ciumannya. Indra pengecap keduanya langsung saling bertautan di dalam sana.
Masih di pangkuan Arron, Emi mendongak memberi akses pria itu agar leluasa menjelajah leher jenjangnya.
"Ahhh," desis Emi tertahan, dia masih malu untuk mengeluarkan suaranya.
Tapi tidak lama, Emi tidak kuasa menahan hasratnya. Sebuah desahan yang begitu merdu meluncur begitu saja.
"Ahhh ...." Emi meremas rambut pria yang tengah asik menghisap kedua bukit kembarnya dengan rakus itu.
Kedua bukit kembar yang masih indah dengan puncak berwarna merah muda itu membuat Arron tidak kuasa untuk tidak berekplore di area sana.
"Shhhttt ... Ahhh ..., Tuan," rintih Emi karena hisapan Arron dan pria itu menggodanya dengan gigitan kecil di puncaknya, kembali menghisapnya kuat dan ...
Plop!
"Apa kamu menyukainya?" ujar Arron serak. Emi mengangguk sambil mengigit bibir bawahnya.
"Kalau begitu kita lanjutkan."
Arron beranjak bersama Emi dalam gendongannya, pria itu membawa tubuh mungil Emi seperti membawa boneka kecil saja. Kemudian dia menaruh tubuh sang biduan di atas kasur dan mengukungnya di bawah tubuh atletisnya.
(Flashback Off)
Emi meraung mengingat kejadian selanjutnya yang membuat dirinya ternoda malam itu.
***
Puas menangis, akhirnya tangis Emi terhenti. Sudah tidak ada artinya lagi menangis terus bukan? Malah tambah masalah. Kepalanya sekarang pusing.
"Shhhttt, ouch!" rintih Emi ketika dia hendak turun dari kasur, selain kepalanya yang pusing, dia juga merasa bagian bawah tubuhnya sakit. Bagaimana tidak sakit, ini pertama kalinya dan pria asing itu memiliki senjata yang begitu besar ditambah mereka melakukannya berulang kali.
Emi tertatih menuju kamar mandi, sesekali dia meringis menahan rasa perih di sana.
"Emang sesakit ini ya?" monolog Emi.
Banyak cerita dari teman seusianya yang sudah menikah di usia muda katanya malam pertama itu enak, apa enaknya kalau sekarang rasa sakit yang tertinggal, pikir Emi.
Emi menghela napas lega saat dia membenamkan dirinya di bathtub yang sudah berisi air hangat. Seketika tubuhnya menjadi relaks.
"Enak banget orang kaya, mau mandi air hangat aja tinggal buka keran, gak perlu lagi masak air dulu sepanci." Biduan itu kembali bermonolog.
Bukan hanya air hangat, dia juga merasakan sensasi mandi dengan busa yang melimpah ruah hingga menutupi bathtub dan tubuhnya.
Emi menyelesaikan ritual mandinya setelah ujung jemarinya keriput karena terlalu lama berendam. Dia membersihkan diri kemudian memakai bathrub yang tersedia di sana.
"Ya ampun, Tuan Arron sadis banget," gerutunya ketika dia baru menyadari beberapa tanda merah kepemilikan di dadanya. Bukan hanya itu, kedua puncak bukit kembarnya pun merah di sekelilingnya, menyisakan rasa perih saat tersentuh. Hisapan Arron benar-benar bernafsu semalam.
Emi kembali memakai pakaiannya dan langsung bergegas keluar kamar hotel setelah rapih.
Sesampainya di lobby hotel dia bingung harus kemana, di ambilnya ponsel dalam tasnya dan menghubungi Wawan.
"Iya, Em?" jawab Wawan di seberang sana dengan suara serak, pria itu baru bangun tidur.
"Om, jemput Emi di hotel sekarang!"
Masa bodoh dengan status pria itu, mau manager atau siapa kek Emi sudah tidak respect lagi sama Wawan. Pria paling berengsek yang Emi kenal.
"O-oke, tunggu ya, setengah jam lagi sampai," sahut Wawan panik. Pria itu langsung bergegas setelah mematikan sambungan telpon dari sang biduan.