Club Malam.
Acarapun perlahan di mulai, dengan penari seksi yang lihai meliakliukan tubuh seksinya di atas panggung.
Sebagian pengunjung berjoget, melantai ikuti alunan DJ. Beberapa yang lain open table ditemani gadis pemandu yang berpakaian minim membentuk tubuh bahkan bagian d**a mereka memang sengaja di buka memperlihatkan belahan kedua bukit kembar yang menyembul keluar. Sedangkan di sudut ruangan terdapat sofa memanjang diisi perempuan-perempuan dengan pakaian kurang bahan. Gadis pemandu akan menari erotis dengan menuangkan isi gelas kosong dengan minuman beralkohol untuk para tamu mereka. Sesekali juga para gadis itu yang minun. Tentu saja pengunjung akan dipaksa membayar itu semua.
Tidak terasa giliran Emi tampil.
"Kita tampikan, EMILYYY ...," teriak seorang MC menyebut nama sang biduan.
"Em, naik!" seru Wawan.
"Hah? Yang di panggil Emily bukan Emi, Om."
Wawan menepuk keningnya.
"Itu nama panggung kamu, Em. Masa mau EMI aja?! Gak laku nama kampung di sini!"
Emi cemberut, nama pemberian kedua orangtua itu adalah sebuah doa. Lah ini malah di ganti seenaknya tanpa selamatan bubur merah bubur putih, pikir Emi.
Sekali lagi sang MC memanggil. Dan akhirnya Emi naik dan maju ke tengah panggung. Musik berdendang, Emi mulai bernyanyi. Suaranya merdu dan goyangannya tidak kalah sama penari-penari sebelumnya.
"Dia baru?" tanya Arron-tamu VVIP salah satu klub malam di Ibu Kota tengah memperhatikan seorang biduan yang sedang melantunkan sebuah lagu dan bergoyang di atas panggung mempesona dirinya seketika.
"Iya, Boss. Mau? Kalau Anda mau saya bisa dapatkan untuk Anda malam ini," jawab sang pemilik Klub.
Arron memutar-mutar isi minuman dalam gelasnya kemudian menyeruputnya.
"Saya mau dia malam ini," pintanya.
"Berani bayar berapa?"
Arron memincing tajam, hanya Yudha yang berani bertanya seperti itu padanya. Pasalnya, ini adalah bisnis lendir sampingannya selain memiliki klub malam.
"Apa dia masih tersegel?" selidik Arron, tersenyum miring.
"Ck! Saya bisa tanyakan sama manajernya nanti kalau Anda siap membayar mahal untuk semalam."
"Tunggu apa lagi?" Arron menggedikan dagunya, memerintah Yudha untuk segera bergerak.
Pemilik klub itu langsung menyingkirkan wanita dalam pangkuannya kemudian beranjak dari sofa yang sedang dia duduki. Apapun yang Arron inginkan harus segera terpenuhi. Pria tampan dan berduit itu selalu berhasil memerintah siapapun.
"Wait!" seru Yudha.
***
Di belakang panggung, Yudha menghampiri Wawan yang sedang duduk dan menghisap rokoknya.
Yudha menggerakan jari telunjuknya agar Wawan mendekatinya. Mengetahui pemilik klub memanggilnya, dengan cepat Wawan menghampiri.
"Biduan kamu siap tidak malam ini menemani tamu VVIP?" tanya Yudha.
"Menemani seperti apa maksud Anda, Pak Yudha?" tanya Wawan balik karena dia juga harus memastikan pekerjaan yang seperti apa untuk anak asuhnya kerjakan.
"ONS sama tamu VVIP klub ini. Bayarannya lumayan, apa lagi kalau dia masih tersegel, Wan!" seru Yudha sembari menghisap rokok elektriknya.
Mata Wawan membola.
"Saya gak tau dia masih perawan apa gak, Pak."
"Terserahlah, mau perawan apa gak, yang penting tamu kita mau dia malam ini. Kamu harus bilang sama dia agar mau! Kalau gak, gak usah tampil lagi di sini!" titah Yudha dengan ancaman mautnya.
Siapa yang tidak mau tampil di klub miliknya. Salah satu jalan menuju kesuksesan adalah dengan tampil di Klub tersebut karena tamu yang datang tidak kaleng-kaleng. Dari pengusaha, pengacara, pejabat pun ada. Semua kelas jetset dan bercuan.
"Ba-baik, saya akan bilang sama dia," jawab Wawan.
Yudha menepuk-nepuk pundak Wawan kemudian pergi. Kembali ke meja dimana Arron menunggunya.
"Beres, Boss! Tapi Manajernya gak tahu biduannya masih perawan atau gak," ungkap Yudha saat dia kembali duduk di sofa.
"Saya bayar seperti biasa, kalau dia masih perawan saya tambahin nanti."
Yudha mengangguk setuju dan mengulurkan tangannya. Keduanya berjabat tangan tanda kesepakatan bisnis lendir tersebut.
***
Satu lagu tidak cukup, seorang pengunjung memberi saweran banyak hingga Emi mau tidak mau menuruti permintaan tamu tersebut dengan menyanyikan satu lagu lagi. Semakin malam semakin ramai dan panas jika para pengunjung itu tidak di batasi oleh beberapa penjaga.
Emi buru-buru kebelakang panggung setelah selesai melantunkan lagu terakhirnya.
Dibelakang panggung dia mengibas-ibaskan uang seratus ribuan di tangannya yang banyak hingga berbentuk kipas, ini pertama kalinya dia menikmati segarnya angin yang keluar dari lembaran uang berwarna merah muda itu. Itu baru yang saweran dari tamu yang hak Emi sepenuhnya. Bayarannya untuk sekali tampil sudah di tangani oleh Wawan dengan pihak klub. Tentu saja tidak penuh di terima Emi karena Wawan manajernya yang mengatur semua, dari mulai jadwal Emi, hingga bayarannya. Potong sana potong sini, Emi hanya menerima setengahnya saja.
"Om ... banyak nih ...," pekik Emi, pamer.
Duduk di kursinya sambil menghitung lembar demi lembar uang berwarna merah muda itu, setelah menghitung dan merapihkan dia masukan ke dalam tasnya.
"Banyak ya, Em?" seru Wawan takjub dengan hasil yang Emi dapat hanya dengan sekali manggung saja.
"Alhamdulillah, banyak banget, Om. Om mau?” Emi hendak memberi uang saweran itu pada Wawan tapi pria mengibaskan tangannya.
"Gak, Em. Itu hak kamu sepenuhnya. Saya cukup dari bagi hasil uang tampil kamu aja," tolak Wawan.
Emi mencebikkan bibirnya, ”Ya sudah kalau begitu." Menutup lagi tasnya.
"Kita sudah selesai kan, Om?" tanya Emi.
"Heum, masih ada satu kerjaan sebenarnya. Tapi itu juga kalau kamu mau," jawab Wawan.
"Mau, mau, Om," jawab Emi tanpa tanya lebih jelas pekerjaan apa yang Wawan maksudkan.