Napas Emi pun terengah, dia tidak dapat menjawab pertanyaan Arron saat ini.
Arron menjatuhkan tubuhnya di samping Emi, miring menatap wajah sang biduan dari samping. Kemudian dia menarik tubuh mungil yang masih bermandikan peluh itu ke dalam dekapannya dan mencium pelipis Emi. Aksi terakhir yang Arron lakukan membuat dirinya sendiri bingung. pasalnya, dia tidak pernah sekalipun mencium kening atau pelipis teman kencannya, setelah dia mendapatkan kepuasannya Arron akan pergi ke kamar mandi meninggalkan wanita jalang itu untuk membersihkan dirinya. Tapi dengan Emi dia tidak melakukannya, bahkan dia ingin merengkuh tubuh mungil itu dalam dekapannya.
Keringat keduanya sudah mulai mengering dan napas keduanya pun hampir kembali normal.
Tapi tiba-tiba ...
"Heum, Em. Apa kamu masih kuat?"
Mata yang sedang terpejam itu sontak kembali terbuka dan membola. Karena kalimat yang baru saja terlontar dari mulut Arron. Emi tahu kemana arah pertanyaan itu akan berakhir.
Kedipan dan anggukan kecil Emi cukup sebagai jawaban.
Arron kembali mengukung Emi di bawah tubuh atletisnya. Kembali menstimulasi tubuh yang mulai menjadi candunya itu dengan permainannya.
Tubuh mungil dengan kulit putih yang sudah ada beberapa tanda kepemilikan di beberapa bagian itu kembali di serang oleh Arron. Seperti candu, Arron ketagihan mencicipi lagi tubuh sang biduan. Seperti ingin memakan habis tubuh Emi tanpa menyisakan sedikitpun. Dia meraup kedua bukit kembar milik Emi bergantian kiri dan kanan dengan rakusnya hingga sang empunya merasa perih pada puncaknya karena Arron begitu kencang dan bernafsu menghisapnya.
Puas dengan bagian atas tubuh Emi, Arron mulai ke inti permainannya.
Kamar hotel itu kembali memanas dan menggema suara lengkingan sang biduan, suara merdu di panggung sama seksinya saat Emi mengerang di atas ranjang, goyangannya pun tidak kalah.
Emi kembali mengerang ketika Arron menghentakan miliknya lebih dalam dan kuat ketika pria dewasa itu menembakan cairan kental miliknya di dalam.
Gairah besar yang Arron miliki malam ini membuat pria itu lupa akan pengaman yang biasa dia pakai jika berhubungan dengan wanita. Malam ini entah sudah berapa kali dia menyemburkan bibit unggulnya memenuhi rahim Emi.
Tubuh mungil Emi bergetar, saraf-saraf tubuhnya merespon begitu karena dia mencapai puncak kenikmatannya lagi dan lagi.
Hingga hampir subuh keduanya melakukan dengan berbagai macam gaya, membuat Emi akhirnya tak berdaya dan langsung tertidur setelah Arron puas.
***
Esok paginya,
Emi meringis ketika bangun, seluruh tubuhnya rasanya sakit bukan main.
Masih di dalam selimut, tanpa busana, hanya wajah mungilnya saja yang terlihat karena Emi menutupi semua tubuhnya dengan selimutnya. Biduan yang baru saja melepas segelnya itu membuka matanya dan mencari sosok pria yang sudah merengut keperawannya dalam semalam.
Pria itu tidak ada di kasur. Tapi suara gemericik air membuat Emi tahu dimana pria itu berada.
Emi meremas selimutnya saat mengingat apa yang sudah dia lakukan di sana. Seketika matanya memanas. Kemudian, dia menangis.
Bersamaan dengan itu Arron baru selesai mandi, dia keluar hanya dengan handuk melilit di pinggangnya dan handuk kecil yang dia pakai untuk mengeringkan rambutnya.
Tatapannya bertemu dengan kedua mata Emi yang merah dan berair.
Kening Arron menyernyit, kenapa sang biduan menangis? Padahal semalam dia merasa kalau Emi pun menikmati permainan panas mereka. Sungguh dia tidak menyukai air mata wanita. Baginya itu hanya senjata kaum hawa agar kaum adam kasihan. Arron bukan pria seperti itu.
"Kenapa kamu menangis? Menyesal sudah tidur dengan saya?" sindir Arron.
Emi mengusap air matanya dengan cepat. Sementara Arron memakai kembali pakaiannya.
Matahari mulai menampakan diri, Arron harus pergi untuk menjalankan bisnisnya. Akan tetapi, sebelum pergi. Dia mengeluarkan selembar Cek dan menulis nominal di sana disertai tandatanganya.
"Ini bonus untuk kamu karena sudah memuaskanku semalaman." Arron meletakan Cek tersebut di atas selimut yang Emi peluk.
"Itu di luar bayaran kamu, soal itu saya sudah transfer ke Manager kamu." Tutup Arron.
Kemudian dia pergi.
Emi memang dari kampung tapi dia cukup pintar dan mengetahui salah satu alat transaksi yang berupa Cek tersebut. Entah harus sedih atau senang, nominal 50 Juta yang tertera di Cek tersebut adalah kompensasi sebagai hilangnya mahkota berharga yang selama hampir 20 tahun lebih ini dia jaga betul.
Emi meremas dan memeluk selimut dengan geram saat sejenak benaknya mengingat kejadian semalam.
(Flashback On)
"Eh! Tapi pekerjaannya apa, Om?" tanya Emi pada Wawan saat keluar lift menuju sebuah kamar hotel yang terbilang mewah itu.
Langkah kaki Wawan berhenti sejenak dan berbalik menghadap Emi yang sejak tadi berjalan di belakangnya.
"Menemani tamu VVIP Klub tadi, Em," jawab Wawan.
Emi ternganga.
"Me-Menemani yang kaya bagaimana?" Emi terbata.
"Ck! Kaya biasa di kampung kalau ada pesta hajat orang kaya, temenin mereka ngobrol sambil minum sampai mabuk, terus kamu rayu-rayu sedikit biar uangnya keluar."
Sontak wajah Emi merona, dia memang sering melakukan hal itu agar dapat uang saweran lebih banyak dari tamu-tamu pesta itu. Tapi di sana kondisinya banyak orang, Emi tidak sendirian, ada biduan lainnya juga. Dan kalau yang punya pesta mengakhiri pestanya mereka semua bubar, pulang dengan jalan sempoyongan, dan Emi pun pulang ke rumahnya.
"Tapi, Om—"
"Em! Ini bukan saatnya debat dan menolak, kamu harus melakukan apa yang tamu VVIP itu minta, apapun itu. Atau karier nyanyi kamu tamat sampai di sini dan kamu pulang kampung!"
Ultimatum yang Wawan ucapkan barusan membuat Emi tidak memiliki pilihan selain kembali mengikuti langkah kaki Wawan menuju sebuah kamar.
Setibanya di depan pintu kamar, kedua mata Emi sampai tidak berkedip saat pintu kamar tersebut terbuka, seorang pria berparas campuran dengan tubuh ideal dan atletis muncul.
'Inikah pria yang harus aku temani di dalam kamar malam ini?' bathin Emi berbisik.