Desahan dan erangan tidak dapat tertahan lagi, saat Arron membombardir tanpa ampun bagian bawah tubuh Emi.
Kamar mewah sebuah hotel semakin memanas dengan lantunan desahan sang biduan yang Arron booking untuk semalaman ini. Suara indah Emi saat bernyanyi di atas panggung sama indahnya saat wanita itu mendesah di atas ranjang, ini yang Arron suka.
Indra pengecap Arron tepat sekali bermain di area sensitif yang membawa Emi terbang tinggi entah sampai langit yang keberapa.
"Ahhh ...." Desahan itu berulang keluar dari bibir mungil yang saat ini tengah terbuka begitu sensual, sesekali Emi mengigit bibir bawahnya untuk menahan gairah ketika indra mengecap Arron menusuk masuk ke dalam miliknya dan bermain liar di sana.
"Ahhh ...." Kembali terdengar desahan itu berubah menjadi erangan ketika satu jari Arron menerobos masuk ke dalam milik Emi dan mengaduknya cepat.
Emi meremas seprai dengan d**a membusung dan kepala menengadah, dia hampir sampai dan merasa bagian dalam tubuhnya akan meledak di bawah sana.
"Ahhh ...," erang Emi dengan pinggul terangkat bersamaan keluarnya cairan bening dari dalam tubuhnya.
"Yes, Baby. Keluarkan semuanya." Arron menyeringai puas melihat pemandangan tersebut. Tubuh mungil Emi bergetar dan mengejang sesekali karena saraf tubuhnya baru saja melewati yang namanya puncak kepuasan.
Napas sang biduan tersengal, setelah habis semua cairan itu tubuhnya langsung terjatuh kembali ke kasur. Seperti tidak bertulang rasanya, dengkulnya lemas.
"Kamu seksi saat di atas panggung dan di atas ranjang ternyata," puji Arron tanpa segan membuat wajah Emi semerah tomat.
Sebagai seorang biduan dia memang harus memakai pakaian yang seksi, agar banyak kaum adam yang tertarik padanya dan memberikan saweran yang banyak saat dia melantunkan sebuah lagu dan bergoyang mengikuti irama musik.
"Tapi, saya ingin tahu. Apakah goyangan kamu di atas panggung sama hebatnya saat di atas ranjang?"
Glek!
Emi menelan salivanya kasar, dia memang biduan yang selalu menemani pria bernyanyi, ngobrol dan minum sampai mabuk. Tapi tidak sampai ke atas ranjang. Ini pertama kalinya. Ya, Emi memutuskan memberikan hak pertama pada Arron karena dia dijebak oleh Wawan dengan ancaman akan di telantarkan di Ibu Kota. Apa jadinya Emi yang masih polos, lugu ini sendirian di Kota besar ini. Kedua orangtuanya juga memintanya untuk pulang kampung kalau sudah sukses.
Nasi sudah menjadi bubur, menyelam sambil minum air. Perumpamaan yang tepat saat ini. Nyemplung sekalian lah, basah ... basah deh!
"Tu-tunggu dulu, Tuan." Emi menahan perut Arron yang hendak maju.
"Kenapa?" tanya Arron dengan kening menyernyit.
"Heum, bisa lakukan pelan?"
Arron mendengus tawa. Permintaan Emi terdengar lucu. Sang biduan terlihat seperti anak gadis yang baru pertama kali melakukan hubungan intim dengan seorang pria, pikirnya.
"Aku tidak bisa berjanji," sahut Arron.
Wajah Emi seketika pucat, milik Arron yang sudah siap di bawah sana terlihat sangat besar, berurat dan panjang.
Menyeramkan dimata sang biduan.
Emi tidak dapat membayangkan benda tumpul sebesar itu masuk ke dalam miliknya. Pasalnya, ini pertama kalinya.
Tubuh mungil biduan itu menggeliat ketika Arron mengusap kejantanannya di permukaan lubang surga milik Emi sebelum dia memasukannya ke dalam. Tanda perkenalan itu cukup beberapa kali Arron lakukan dan kemudian ...
Jleb!
"AKHHH!" Emi berteriak frustrasi karena Arron langsung membenamkan miliknya tanpa aba-aba. Rasanya tidak dapat di ungkapkan dengan kata-kata. Teriakan dan ekspresi wajah sang biduan cukup menggambarkan.
"Kamu?" Kening Arron menyernyit saat dia menyadari kalau dirinya adalah pria pertama untuk sang biduan. Merobek selaput terdalam rahim sang biduan.
Kepala Emi menggeleng. Sementara Arron bingung dengan kode yang wanita itu berikan.
"Mau kita lanjutkan?" tanya Arron. Pasalnya, dia juga tidak mau memaksa jika memang lawan mainnya tidak ingin.
"Tidak, heum ... maksud saya iya, lanjutkan. Tapi perlahan," desis Emi.
"Baiklah, saya akan lakukan perlahan. Sakitnya hanya sebentar, tidak lama kamu akan merasa sesuatu yang berbeda."
Emi menatap kedua mata Arron memastikan ucapan pria itu benar.
Perlahan Arron menggerakan pinggulnya, memberikan gesekan lembut miliknya yang sudah terbenam di dalam lubang surga milik Emi.
Meringis, menahan rasa sakit bercampur ngilu di bagian bawah tubuhnya. Tapi lambat laun ... tunggu ... rasa sakit itu seketika menghilang dan berubah menjadi rasa yang begitu nikmat Emi rasakan. Tubuhnya mulai beradaptasi dengan benda tumpul itu.
Rasanya nikmat ... sangat nikmat ...
"Ahhh ...."
Melihat ekspresi dan desahan sang biduan yang mulai menikmati permainannya, Arron mulai mempercepat ritme gerakannya. Dia terus memacu tubuh mungil yang saat Ini tengah ikut bergoyang mengimbangi dirinya.
Kedua bukit kembar yang masih ranum itu pun ikut bergoyang dan membuat Arron gemas, tangannya tidak dia biarkan menganggur tentunya. Remasan gemas dia berikan di keduanya, bergantian. Tidak cukup itu. Arron sesekali menghisapnya dan menggigit nakal puncak bukit kembar yang masih berwarna merah muda itu dengan gemasnya. Kombinasi permainan yang liar hingga membuat Emily bak cacing kepanasan di sana, menggeliat.
"Tuan ... saya mau ... Shhhh ...," desis Emi.
"Sebut nama saya, Emily!"
"Arron ... Ahhh!" Emily tidak dapat menahan. Dia mencapai lebih dulu puncak kepuasannya.
Tapi tidak lama Arron menyusul.
"Ohhh ... Emily!" erang Arron dengan tubuh mengngejang di sertai hentakan kuat bersamaan dia menembakan cairan kental miliknya di dalam sana.
Arron menarik miliknya, bersamaan dengan itu cairan kental miliknya meleleh keluar dari lubang surga dunia milik Emi. Putih bercampur warna merah darah perawan sang biduan ada di sana.
"Bagaimana bisa kamu masih tersegel sampai sekarang?" tanya Arron dengan napas masih memburu.