Bagian 56 - Kutukan Attis dan Kibelle

2236 Words
Eidothea dan Anthousai mencoba membuat baju dari daun monster tersebut. Anthousai mulai membentuk daun-daun tersebut dan Eidothea melihat cara Anthousai mengerjakannya. Ia membuat rok pendek dengan atasan yang simple. Anthousai mencobanya, dan menanyakan pendapat Eidothea. “Sangat cantik!” Kata Eidothea. “Aku menggunakan rok pendek agar terlihat berbeda dengan bajumu.” Kata Anthousai sambil berputar-putar. “Aku juga ingin baju seperti itu!” Kata Eidothea yang bersiap-siap memotong daun monster lagi. “Aku rasa aku sudah terlalu lama di sini. Aku harus pulang!” Kata Anthousai. Ia melambai dan langsung pergi. Eidothea berteriak memanggil namanya. “Apakah kau akan kembali lagi?”  “Ya!” Jawab Anthousai dari jauh. Eidothea mendengar dengan jelas jawabannya. Eidothea kembali seorang diri. Tapi itu tidak berlangsung lama. Attis datang kembali melihat keadaan Eidothea. Ia sebenarnya tidak sabar untuk bertemu dengannya. Ia melihat Eidothea sedang membuat baju sendiri dengan tangannya. Ia duduk di bawah pohon beringin yang rindang di sebelah tumbuhan monster. Eidothea menyadari kedatangan Attis. Ia berdiri dan berlari memeluk Attis. Di tangan Attis ada ember dan juga pisau tajam. Karena pelukan itu, ia tidak punya tenaga untuk menahan beban ember tersebut. Ember itu pun terjatuh. Kalau di lihat dari samping, kita juga bisa melihat matanya yang sedikit keluar karena groginya. “Kau tidak perlu memelukku sebegitunya!” Kata Attis dengan pelan mendorong Eidothea. “Maaf!” Kata Eidothea dan kembali duduk di tempat sebelumnya ia membuat baju. Rancangan baju pertamanya ia perlihatkan kepada Attis. “Cantik bukan?” Tanya Eidothea. “Itu cantik!” Ucap Attis mengambil ember yang dijatuhkannya dan duduk disebelah Attis. Saat Attis mengajarkannya cara yang benar untuk membuat baju, Anthousai datang dan melihat kejadian itu. Ia melihat ayahnya bersama dengan Eidothea sedang bermesraan. Ia melabrak mereka berdua dan berkata dengan kasar kepada ayahnya. “Aku akan beritahu hal ini kepada ibu!” Kata Anthousai. Attis tidak tahu mengapa putrinya Anthousai merasa sangat kesal. Ia memang menyukai Eidothea, tapi mereka tidak berpacaran saat itu. Eidothea hanya mengatakan hal-hal lucu yang membuat Attis tertawa terbahak-bahak. Attis mengejar anaknya yang berjalan ke arah rumah mereka, keluar hutan. Attis tidak sempat mengejar anaknya dan menghentikannya. Tapi, ia tahu kemana tujuan dari Anthousai.  Ia sampai di rumah mereka di dekat hutan.  Kibelle adalah istri dari Attis. Mereka memiliki ratusan anak dan juga cucu yang terpencar di wilayah surga bagian ketiga. Saat Anthousai melihat ke rumah mereka, ibunya tahu bahwa semua orang telah pergi, hanya tinggal dia seorang. Ia melihat ibunya sedang b******a dengan Hamadryad yang ahli dalam bidang pohon. Ia tinggal di surga wilayah ketujuh dan bekerja dengan Agon, pemilik ladang Pohon Oak dan Pohon Ash. Anthousai sangat marah. Ia mengutuki ibunya bersama dengan Hamadryad. Ia melihat ayahnya datang. Attis melihat kejadian tersebut bahwa istrinya selingkuh. Attis merasa patah hati. Ia tidak sangka bahwa Kibelle akan tidur dengan pria lain.  Anthousai tidak bisa berkata lagi. Ia sudah muak dengan kedua orangtuanya. Tanpa berkata sedikitpun, ia kembali kepada Eidothea dan menceritakan apa yang telah terjadi dengannya. Ia tidak mempermasalahkan Eidothea karena ayahnya menyukainya. Ia tidak menemukan sahabat lain selain Eidothea sehingga ia tidak marah padanya.  “Kalian adalah wanita perawan. Aku tidak mempermasalahkannya!” Kata Anthousai. Ia tahu bahwa Eidothea lahir dalam keadaan tidak tahu apa-apa. Ia sama seperti bayi yang baru lahir yang perlu belajar tentang kehidupan. “Aku tidak mengerti maksudmu!” Kata Eidothea kepada Anthousai. “Apakah kau mau membantuku? Aku ingin mengabadikan cinta kedua orang tuaku! Aku ingin mereka tetap bersama selama-lamanya.” Pinta Anthousai. “Apa yang bisa kulakukan?” “Kau bisa menyatukan mereka di hutan ini!” Kata Anthousai yang mengusap air matanya dan tidak ingin menangis lagi. Idenya untuk menyatukan mereka di hutan membuatnya mendapatkan harapan. “Aku mungkin bisa mewujudkannya. Tapi, ia akan terperangkap di dalam jiwa tanaman. Ia akan tumbuh menjadi tanaman lain yang tidak bisa muncul semaunya. Ia tidak akan tumbuh setiap tahun, tapi akan selalu ada!” Kata Eidothea kepadanya.  Anthousai setuju dengan syarat yang diberikan oleh Eidothea. Ia tidak menunggu lama lagi dan bertanya apa syarat-syaratnya.  “Kita akan membuat sebuah ramuan yang harus mereka minum. Ada tiga ramuan. Ramuan yang pertama adalah ramuan akar dari pohon cemara yang berair yang ada di sisi selatan hutan. Akar pada pohon cemara yang besar itu akan mengikat mereka berdua untuk selalu tinggal di dalam hutan ini saja dan tidak akan pergi. Ramuan kedua adalah batang Rhododendron. Batang Rhododendron bisa membuat mereka menjadi tumbuhan yang hidup di dalam hutan dan tidak akan ada yang bisa mengembalikan mereka lagi. Yang tidak adalah Pohon bergetar yang terletak di danau di tengah hutan. Ini adalah yang tersulit, karena kita harus menyelam dan mengambil pohon yang tumbuh di dasar danau tersebut. Kita akan mengambil daunnya dan memberikan kepada mereka untuk dimakan. Dengan begitu, pohon itu akan menjadi pohon kutukan yang abadi yang akan muncul hanya pada kondisi tertentu.” Jelas Eidothea. “Itu sangat sulit!” Kata Anthousai. Meski begitu, mereka tetap mencarinya. Pertama-tama mereka mencari akar pohon cemara yang tergenang air di sisi selatan hutan. Mereka melihat pohon-pohon yang ada disitu sangat besar. Ada kabut yang menyelimuti sebagian dari batang pohon. Mereka harus menggali dengan tangan mereka, tetapi sangat sulit karena adanya air yang menggenangi pohon itu. Mereka tetap mencoba tetapi tidak berhasil. Mereka kelelahan. Anthousai mulai menyerah karena mereka sama sekali tidak ada kemajuan. Tanah yang mereka gali kembali seperti semula ketika sudah dikorek. Eidothea melihat jari telunjuknya. Ia memutar-mutar jari telunjuk di tangan kanannya, lalu menekuknya ke atas dan ke bawah terus menerus selama beberapa waktu. Saat sudah merasa cukup, ia mendorong salah satu pohon cemara itu hingga akarnya naik ke permukaan. Suara dentuman keras terdengar karena pohon itu tumbang ke tanah. Anthousai sangat senang. Ia dengan mudah mengambil akar dari pohon cemara meski baju mereka sudah koyak-koyak karena terlalu banyaknya gerakan. Mereka pergi dulu beristirahat dan memperbaiki baju mereka, setelah itu kembali lagi untuk mencari pohon yang kedua.  Pohon kedua yang mereka cari adalah pohon Rhododendron. Pohon itu tidak terlalu besar dan tersembunyi di dalam hutan. Ia memiliki daun yang sangat lebat berwarna hijau. Di bagian ujung ranting, daun-daunnya berwarna merah dan akan semakin lama semakin merapat membentuk gumpalan merah. Dari luar, hanya tampak daun merah yang bergumpal. Daun yang merah ini tampak seperti bunga ketika melihatnya dari jauh. Hanya sedikit daun hijau yang menyembul keluar. Batangnya berwarna merah batu bata dan dikarenakan batang ini pendek, maka hanya sepertiga batangnya saja yang bisa terlihat karena ditutupi oleh lebatnya daun tersebut. “Kau pernah melihat pohon ini?” Tanya Anthousai yang menyeret akar pohon cemara di belakangnya.  “Tidak pernah! Aku tidak tahu itu!” Jawab Eidothea dengan bangganya. “Lalu bagaimana kita mencarinya?”  “Biasanya dia di antara dua pohon yang sama besar.” Kata Eidothea lalu menuju sebuah pohon yang tinggi dan naik ke atasnya. Ia meninggalkan Anthousai di bawah. “Aku ingin melihatnya dari atas. Sebentar!” Kata Eidothea di dari atas pohon. Eidothea turun dan tahu arah selanjutnya ia pergi. Saat sudah bingung kemana pergi, Eidothea naik lagi keatas pohon dan mengamati dua pohon yang sama tingginya. Ia berkali-kali melakukannya hingga akhirnya sampai disana. “Yang mana pohon itu?” Tanya Anthousai. “Aku akan coba memegang daunnya, dan kita akan tahu yang mana!” Jawab Eidothea yang melihat ke arah akar yang dibawa oleh Anthousai. “Aku tidak lelah!” Kata Anthousai langsung. “Baiklah kalau begitu. Aku juga merasa kau memang benar-benar tidak lelah!” Kata Eidothea yang mengejeknya. Padahal sebenarnya, ia tampak sangat bosan dan sedikit lelah. Eidothea mendekati pohon dan mulai memeriksa satu persatu pohon tersebut. Ia menyentuh satu daun, lalu berpindah ke tempat lain hingga mendapatkan apa yang dicarinya.  “Ini!” Tunjuknya  Anthousai sangat senang. Ia melompat menuju Eidothea. “Benarkah? Inikah pohonnya?” Katanya Anthousai melihat ke atas ke arah daunnya yang indah. Ia melihat daun-daun nya yang merah dari kejauhan, tapi saat melihat isi dalamnya dipenuhi dengan warna hijau.  “Ya!” “Kita akan mengambil batang nya yang berwarna asing ini!” Tunjuk Anthousai. “Ya!” Kata Eidothea dan memotong batang tersebut dengan dua jari yaitu jari telunjuk dan tengahnya. Ia menyuruh Anthousai berdiri di belakang nya agar tidak tertimpa pohon tersebut.  Saat sudah selesai, Eidothea melihat Anthousai.  “Aku tahu.. aku tahu!” Kata Anthousai yang mengerti maksud dari Eidothea agar membawa batang tersebut lagi. Ia kemudian mendekapnya di dadanya sedangkan akar pohon cemara diseretnya dengan tangan kanannya. Mereka kembali berjalan.  Mereka kemudian mencari yang paling sulit ditemukan yaitu daun pohon bergetar. Pohon itu tumbuh di dasar danau. Ia berukuran seperti pohon biasa tetapi dapat tumbuh di dalam air. Ia bukan sejenis rumput, melainkan pohon yang tumbuh di air tawar. “Ini yang paling sulit. Hanya kamu yang bisa melakukannya!” Kata Eidothea. “Mengapa hanya aku?”  “Karena hanya kamu yang bisa menyelam. Aku tidak bisa menyelam!”  Mereka sampai dengan cepat. Jarak pohon Rhododendron dengan danau yang ada di tengah-tengah hutan tidaklah jauh. Eidothea menunjuk danau tersebut. “Silahkan!” “Aku memang bisa! Tapi, aku tidak tahu bagaimana caranya mencari pohon itu! Di dalam itu gelap, tidak akan bisa terlihat!” Kata Anthousai. “Aku tidak bisa terlalu banyak memberikan saran, karena aku juga tidak tahu keadaan di dalam.” Kata Eidothea. Anthousai tidak banyak bicara lagi. Ia menyerahkan kedua bahan yang dibawa nya di sebelah Eidothea lalu ia masuk ke dalam danau. Ia menyelam di kegelapan danau yang berlumpur dan gelap. Ia hanya melihat kegelapan dan tidak ada apa-apa di dalam danau itu. Ia kemudian kembali ke permukaan dan mengatakan apa yang dilihatnya kepada Eidothea. “Aku tidak bisa melihat apa-apa. Di dasar danau ini hanya ada lumpur yang hitam pekat!” Teriaknya kepada Eidothea dengan memunculkan kepalanya saja ke permukaan. “Aku rasa ada sedikit kesalahan atau kau bisa masuk ke tempat yang lebih dalam!”   “Menembus lumpur?” “Mungkin!” Anthousai kembali menyelam dan menembus lumpur tersebut. Ternyata di balik lumpur tersebut ada sebuah titik yang bercahaya. Ia menyelam lebih dalam, dan ternyata memang benar. Ia bisa melihat jelas daun pohon berwarna keemasan. Ia terpukau dengan keindahan pohon itu. Ia mencoba memetik daunnya, tetapi tidak bisa, seperti tersangkut. Ia mencoba menarik lagi, tetap tidak bisa. Ia mencoba menarik daun yang lain, tidak bisa juga. Ia mengitari pohon itu hingga kebagian batang, tapi tidak ada sesuatu yang membantunya melihat kenapa daun pohon itu tidak bisa dicabut. Ia mencoba mencabut lagi daun di dekatnya, sedikit dalam di antara ranting-rantingnya, tapi tetap tidak bisa. Ia mencoba mengambil daun lebih banyak sekaligus, dan tidak bisa. Ia mencoba sekuat tenaga, tetapi menyadari bahwa ada yang bergerak di bagian batang pohon. Ia menggerakkan daun itu lagi dan memang ada yang bergerak di antara batangnya. Ia menarik satu daun panjang, ternyata gerakan yang ada di batang terhubung dengan apa yang ada di akar. Ia langsung menyelam ke akar. Ternyata akarnya tidak seperti akar yang di tanah yang masuk ke tanah dan terperangkap disana. Akar pohon itu hanya masuk kedalam lumpur dan mudah dicabut. Ia melihat benang-benang pita, lalu mencabut salah satunya. Ia melakukan banyak kerusakan di bagian akar dan daun-daunnya mulai terlepas. Akarnya seperti benang-benang yang menjaga daun tidak akan rontok. Ketika akarnya dirusak, benang-benang akar yang mengikat daun akan tercabut. Ia dengan cepat mengejar salah satu daun dan membawanya ke permukaan. Ia bisa melihat arah jalan untuk kembali karena daun-daun pohon bergetar bercahaya. Tapi, saat ia mengangkat daun itu ke permukaan dan memberikannya kepada Eidothea, daun tersebut tidak bercahaya lagi, melainkan berwarna hitam. “Kerja bagus!” Kata Eidothea. Lalu mereka pergi mencari tempat untuk membuat ramuan tersebut.  Eidothea lagi-lagi membuat keajaiban. Ia menyatukan jari tangan kanannya. Jari telunjuk dan jari tengahnya mengeluarkan api. Ia mulai membakar akar pohon cemara yang pertama kali mereka ambil. “Kedua jari kananmu itu sangat berguna. Ada ada hal lain yang bisa dilakukan selain memotong dan juga mengeluarkan api?” Tanya Anthousai serius.  Eidothea menjawab. “Jika dipisah itu mungkin berguna. Jari telunjuk digunakan untuk mengorek hidung yang penuh kotoran!” Anthousai tertawa terpingkal-pingkal. “Itukah hal pertama yang kau pelajari dari dilahirkan hingga sekarang?” Eidothea tertawa juga. “Aku hanya bercanda!” Mereka menghabiskan banyak waktu untuk membuat ramuan itu. Saat sudah selesai, Eidothea memberikannya kepada Anthousai. Ada tiga ramuan yang harus diminum oleh orang tuanya secara berurutan. Setiap ramuan diminum berdasarkan urutan pencarian mereka terhadap bahan-bahan itu.  Anthousai membawa ramuan itu dan memberikannya kepada ayahnya. Setelah mereka meminumnya, kedua tubuh mereka menyatu dan tiba-tiba terangkat ke atas rumah mereka. Dengan tubuh sempurna, mereka berdua masuk ke dalam hutan. Saat berada di dalam hutan, mereka kemudian berdiri tetapi tidak bisa bergerak. Anthousai mengejar mereka ke dalam hutan. Ia menemukannya dengan mudah, karena ada cahaya yang tertinggal yang membawa mereka. Ia mengikuti cahaya tersebut. Ia melihat orang tuanya yang dempet dan kebingungan. “Apa yang kau lakukan kepada kami?” Tanya Attis dengan kesal saat melihat Anthousai.  Kibelle lebih marah lagi. Ia berteriak dengan keras karena kesalnya. Suaranya tak jelas dan air liurnya berjatuhan. “Ini akibat dari kebodohan kalian. Kalian seharusnya menyatu dan tidak berselingkuh. Sebelum kelakuan kalian ditemui di wilayah ini, aku akan menjadikan kalian sebagai kisah cinta yang abadi yang dikenang di dalam hutan ini!” Kata Anthousai. Eidothea melihat dari kejauhan. Ia tidak menampakkan dirinya di hadapan Attis dan juga Kibelle. Ia tidak ingin ada kesalahpahaman di antara mereka. Saat melihat ke kanannya, ia melihat seorang anak kecil. Ia adalah cucu dari Attis dan Kibelle yang pertama. Namanya adalah Hebe. Ia menjadi saksi dari kekejaman Anthousai kepada kedua kakek dan neneknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD