Bagian 46 - Anakes si Pandai Besi

1164 Words
Kokytos melanjutkan mencari pohon Oak yang tidak berasa. Ia mencoba semua pohon yang ada di depannya sesuai dengan yang ditunjuk oleh Hamadryad. Ia perlu bantuan Hamadryad untuk mengenali pohon Oak. Bia mencoba melakukan hal yang sama dengan Kokytos. Ia mencolek bagian antara akar dan batang, lalu mencoba mencicipinya. Ia langsung mau muntah.  “Rasanya menjijikkan!” Kata Bia sambil ingin memuntahkannya. Hamadryad melihat Bia. “Itu sudah dicoba Kokytos. Mungkin kenapa itu menjijikkan, karena kau merasakan bekas colekan tangannya!” Kata Hamadryad bercanda. Bia menatapnya tajam karena mendengar alasan itu. “Kau ada-ada saja!” Kata Bia kesal lalu berdiri tegak dan mengikuti Kokytos. Kokytos tidak lelah mencari. Ia tetap melakukannya, padahal pohon yang telah dicobanya sudah lebih dari lima ratusan.  “Sampai kapan kita disini!” Keluh Hamadryad.  “Yang mana lagi?” Tanya Kokytos kepada Hamadryad mengenai pohon Oak yang lain. Ia menunjuk dengan tangannya.  “Meski sudah berkali-kali, masih sulit untuk membedakannya!” Kata Kokytos. Bia melihat Hamadryad. “Bersabarlah! Ini hal yang penting bagiku!”  “Aku tahu! Lagian tuan juga sudah memberikan izin!” Kata Hamadryad dengan sadar bahwa ini adalah pekerjaannya.  Kokytos berteriak lagi. Itu tandanya ia sudah mendapatkan pohon Oak yang tidak berasa. Ia tampak sangat senang saat menemukannya. Ia berlari kencang dan memasukkan benda yang sama bentuknya seperti yang pertama - berbentuk silinder dan berwarna kuning. Tapi, ketika dilihat lebih saksama, kayu Oak lebih panjang sedikit dibanding dengan kayu Ash.  “Sudah selesai!” Kata Kokytos menghempaskan tangannya. Bia dan Hamadryad bengong melihat Kokytos. “Kalian kenapa melihatku seperti ini?” “Tubuhmu besar dan kuat. Tapi, tingkahmu seperti anak-anak!” Ucap Hamadryad dan langsung berjalan. Ia meninggalkannya dan menggelengkan kepalanya.  Kokytos melihat Bia. “Dia kenapa?” “Kau terlihat sangat menikmatinya!” Kata Bia tersenyum. Mereka pun kembali keluar dari ladang.  Mereka melihat Agon masih bersama Hebe. Mereka terlihat kompak. Mereka bersulang minuman anggur dan tampak bahagia. Tawa mereka terdengar seraya mereka mendekat. Mereka pun sampai dan menyapa Agon. “Dapatkan yang kalian cari?” Tanya Agon. “Kami mendapatkannya tuan!” Kata Bia sambil menunduk berterima kasih. “Baguslah!” Katanya sambil tertawa. Ia kemudian memuji Hebe. “Ia teman yang enak untuk berbicara. Kalian tidak salah meninggalkan orang untuk menemaniku!” Katanya kepada Bia dengan tangan menunjuk ke Hebe. “Ini sebuah kehormatan, tuan!” Kata Hebe. “Kalau begitu, kami akan pergi. Terima kasih atas bantuannya!” Kata Bia dengan sopan. “Tidakkah kalian menginap disini beberapa waktu lagi?” Tanyanya. “Tidak tuan, kami harus pergi!” Kata Bia menolak. Bia mengambil keranjang tas yang digendong oleh Hamadryad. Ia menggendong benda itu yang berisi dua buah kayu kuning bersinar hasil dari ladang Pohon milik Agon. Ia permisi sekali lagi kepada mereka berdua dan mengajak Hebe berdiri agar mereka segera berangkat. Mereka pun pergi dari surga bagian ke tujuh, meninggalkan ladang Agon.  “Apa ku bilang, dia tidak akan macam-macam kepada Hebe! Lihatlah!” Kata Bia saat diperjalanan. “Aku hanya khawatir saja!” Kata Kokytos. “Dia pria yang baik! Dia hanya kesepian saja!” Kata Hebe. “Kau tidak di apa-apain bukan?” Tanya Kokytos lagi. “Tidak.. Kami hanya mengobrol. Ia sebenarnya muak dengan para penguji s*****a dan juga pembuatnya. Mereka tidak sesopan kita. Mereka biasa langsung mengambil pohon-pohon miliknya tanpa permisi. Karena itu dia sangat kesal melihat mereka.” Jelas Hebe. “Itu memang tindakan yang tidak terpuji!” Kata Kokytos menanggapi hal itu. “Aku melihat kau sangat bersemangat saat memilih bahan-bahan itu! Kau seperti bukan dirimu yang penuh dengan penyesalan dan keraguan! Aku rasa kau harus mengikuti seperti apa dirimu sebenarnya!” Kata Bia kepada Kokytos. “Maksudmu sebagai pemilih bahan!” “Ya! Wajahmu bersinar saat menemukan bahan yang tepat!” Kata Bia lagi. “Dia memang hebat saat melakukan hal itu. Semua tubuhnya cemerlang seperti seorang dewa!” Kata Hebe. “Aku bahkan tidak menyangka ada bahan bagus di dalam batang kayu yang sudah lapuk. Dan hanya kau yang menyadari itu.” Kata Bia lagi memuji Kokytos. Kokytos diam saja. Ia tetap berjalan tetapi ia tetap berusaha untuk tidak terlalu bereaksi terhadap pujian Bia. Ia juga tidak ingin menyangkal pujian itu. Ia berupaya untuk bersikap netral. “Kita kemana lagi setelah ini?” Tanya Hebe. “Kita akan menemui seseorang. Ia mungkin bisa membantu kita untuk membangkitkan orang tua Kokytos. Aku memang tidak terlalu yakin, cuma tidak salah untuk mencoba.” Kata Bia. “Bahan yang kita bawa itu tidak bisa lama dibiarkan. Kita harus menyempurnakan bahan itu dulu sebelum digunakan. Kalau tidak, bahan kayu itu tidak dapat menyatu!” Kata Kokytos. Ia mau menunda sebentar waktu untuk bertemu seseorang yang bisa membantu mereka membangkitkan ibunya, demi bahan yang baru saja mereka ambil.  “Apa itu tidak masalah?” Tanya Bia. “Bahan ini lebih penting sekarang. Jika kita sampai disana terlalu lama, bahan ini menjadi tidak berguna dan kita harus kembali lagi ke sana.” Kata Kokytos. “Apa yang dikatakannya benar!” Kata Hebe. Mereka pun mencari tempat untuk beristirahat sekaligus setelah dapat mereka akan menyatukan bahan itu di tempat itu. “Kalau bisa kita mencoba untuk tinggal di tempat pandai besi.” Kata Kokytos.  Mereka sampai di perbatasan surga bagian ke tujuh dan surga bagian ke enam. Sepanjang perjalanan mereka mencari seorang pandai besi yang mau menerima mereka tinggal. Mereka menemukan sebuah rumah kecil yang berada di daerah perbatasan surga. Ia seorang kakek yang bernama Anakes.  “Apa yang kalian mau?” “Bolehkah kami menginap di tempatmu sebentar? Kami ingin memakai alat-alat mu untuk membuat bahan yang kami bawa.” Kata Bia. “Siapa kalian?” “Saya adalah Bia, dan mereka berdua adalah teman saya, Kokytos dan Hebe.” “Dari mana kalian berasal?” “Saya berasal dari surga bagian ke empat. Sedangkan mereka berasal dari surga bagian pertama!”  “Siapa tadi nama pria itu?” Tunjuk Anakes ke pria yang berdiri di sebelah Bia. “Kokytos!” Jawab Bia.  Anakes tampak seperti ingin mengingat sesuatu. Ia meninggalkan mereka dan melihat sebuah gulungan di tangannya. Itu adalah gulungan silsilah keluarganya. Setelah melihat isi gulungan itu, ia kembali kepada mereka. “Kau Kokytos!” Kata Anakes sambil memukul kuat pundak Kokytos. Ouch… “Kau anak dari Despion!” Kata Anakes lagi sambil tertawa keras. Ia tampak senang, tapi bagi mereka ia terlihat aneh. Kokytos berbisik pada Bia. “Dia terus memukulku!” Bia langsung mengambil alih pembicaraan. “Apa maksud anda?” Ia tidak tahu apa yang terjadi. Ia juga tidak mengenal Despion. “Despion adalah ibunya. Kami masih satu keturunan! Ibunya memang tidak sempat mengenalkanku kepada nya!” Kata Anakes dan berhenti tertawa. Ia terlihat serius menjelaskannya. Ia dengan senang hati menyuruh mereka masuk dan duduk di rumahnya. Bia merasa beruntung. Anakes tampak tidak akan memberikan izin mereka tinggal. Tapi, setelah mengetahui tentang Kokytos, ia berubah dan lebih ramah.  Bia memastikan apa yang didengarnya dari Anakes.  “Apakah benar itu nama ibumu?” Tanya Bia. Kokytos hanya mengangguk dan ia mengikuti Anakes masuk ke dalam rumahnya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD