Part 3

1905 Words
Kunci hati seseorang wanita ada pada telinganya, maka katakanlah kata-kata yang menyenangkan hatinya. •••• "Saya terima nikah dan kawinnya Adela Aznii binti Rudi Sanjaya dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." Ijab qobul itu terus saja perputar secara otomatis di kepala Adela—seperti tak bisa berhenti maupun dihentikan. Kemarin siang, dirinya telah resmi menjadi istri seorang pria bernama Rayhan—seminggu setelah pertengkaran antara dirinya dan sang ayah. Lucu sekali, Adela yang tak pernah menginginkan akan memiliki hubungan pernikahan seperti ini malah sekarang sudah menjadi seorang istri. Secepat itu semuanya terjadi, Adela saja hampir tak mempercayai kenyataan ini. Usai salat subuh dan tadarus Al-Qur'an bersama. Zafina dan Adela menuju dapur untuk menyiapkan sarapan—yap, di malam pengantinnya Adela memilih melarikan diri dan menginap di rumah Zafina. Tidak ada yang bisa mencegah kepergiannya, sang ayah ataupun suaminya—Sebenarnya Adela jarang sekali tadarus Al-Qur'an, Zafina-lah yang selalu mengingatkan dan sedikit membumbui kalimatnya dengan paksaan agar gadis itu menyisihkan waktu untuk membaca ayat suci Al-Qur'an. Tidak akan rugi bagi mereka yang mengamalkannya. "Bacalah oleh kalian Al-Qur'an. Karena ia (Al-Qur'an) akan datang pada Hari Kiamat kelak sebagai pemberi syafa'at bagi orang-orang yang rajin membacanya." [HR. Muslim 804] Zafina selalu mengatakan kalau Al-Qur'an merupakan obat paling manjur saat kita merasa tidak tenang, dilanda ketakutan, maupun sedang marah. Dan yang paling penting dapat mengetahui segala sesuatunya, baik dari ketauhidan, hukum, kisah, akhlak, ilmu, pengetahuan, janji, peringatan, dan lain sebagainya. "Gak usah melamun gitu, ini sudah kehendak Allah, Del. Takdir elu, dah." Adela mendengus kesal. Kena angin apa sahabatnya itu sekarang berbicara mengenai takdir? "Lo ingat gak kata pak Ustadz minggu lalu ceramah di masjid depan komplek? Semua yang terjadi pada diri kita, semua sudah tertulis di kitab Lauhul Mahfudz. Sebelum kita diwujudkan di atas muka bumi ini sudah tertulis semuanya di kitab Lauhul Mahfudz." "Ceramah mulu ah! Bosen gue!" desisnya nampak tak terima. Pagi ini nampak tidak seperti biasanya, Zafina yang selalu berpihak dan mendukungnya. "Lo tau sendiri kan, gue ogah nikah. Lah sekarang malah dijodoh-jodohin. Parahnya udah dinikahin! Botak ae lagi yang enggak kepala gue ini, Za, saking stres nya." "Gue benci namanya pernikahan. Gue belum siap masuk ke dalam ikatan suci itu. Gue takut, Za, gue takut!" Zafina memutar bolanya jengah. "Lebay lo ah! Santai aja lagi!" "Santai, santai. Pala lo santai!" Zafina terkekeh. "Pakai ketawain segala! Kalau lo di posisi gue juga pasti bakalan galau kayak gini. Bukannya ngebantu malah ngetawain! Belum pernah dicabein tuh mulut, huh?" omel Adela kesal sampai ke ubun-ubun. "Iya, iya, maaf deh ...." "Gue tuh takut, Za, gimana coba kalau suami gue itu sebelas-duabelasan sama kelakuan bokap gue? Dari kecil udah setiap hari makanan gue sakit hati. Gue gak siap dan gak mau semua yang ada di masalalu terulang lagi." Adela mengusap air mata yang tak dapat lagi dia bendung. Teringat masa lalu yang begitu menyesakkan d**a. Inilah kelemahan Adela, masih terbelenggu dalam pahitnya masalalu. Dia belum bisa keluar dari zona tersebut. Bukan ... bukannya belum bisa, tapi memang gadis itu tak pernah mencoba beranjak dari zona tersebut. Zafina menghentikan kegiatannya, memotong sayuran. Tangis Adela menjadi kelemahan Zafina. Entah kenapa setiap kali sahabatnya tersebut menangis, dia dapat merasakan sesak yang sama. Zafina menarik kursi bar dapurnya, di sebelah Adela, lalu mengusap punggung Adela. Zafina beri waktu untuk Adela menangis, agar sesak yang dirasanya sedikit berkurang. "Salah ya, Za, gue kayak gini?" tanya Adela disela-sela tangisnya. Zafina menghela napasnya, kemudian menggeleng sambil tersenyum. "Gak salah. Tapi mau sampai kapan lo takut sama masalalu?" Gadis itu mencoba menenangkan Adela yang sudah dari semalam tak henti menangis itu. "Gue ... gue gak siap, Za. Gue gak siap sakit hati kayak nyokap gue. Takut ... takut kalau takdir gue sama kayak nyokap!" "Huts! Siapa yang bilang kalau takdir lo bakal sama kayak takdir nyokap lo? Bilang sama gue!" Adela menggeleng. "Ada Allah, Del. Ngapain lo harus takut. Lo serahin semuanya sama yang Maha Kuasa. Gue yakin skenario Allah lebih indah dari segalanya. Ingat ya, Del, Allah memberi apa yang lo butuhkan bukan apa yang lo inginkan. Gak ada cobaan, berarti Allah sudah gak sayang sama lo. Yang lebih penting itu gak mungkin ada masalah, kalau gak ada jalan keluarnya. Percaya sama gue." Adela menghentikan isak tangisnya, gadis itu menatap Zafina yang tengah tersenyum manis padanya, seolah tengah memberi kekuatan padanya. "Makasih, ya, Za. Lo selalu ada buat gue. Lo masih menyayangi gue, sedang lo tau bener gimana kelakuan gue sama elu. Gue masih kekanak-kanakan, dan seenaknya sama elu. Makasih selalu di sini, dan gak pernah berubah meski tau banyaknya kekurangan gue." Zafina membalas pelukan Adela, menepuk-nepuk punggung gadis itu. Inilah yang Zafina suka dari sosok Adela. Selalu kuat dan selalu berusaha menjadi lebih baik. "Udah ah gak usah cengeng-cengengan kayak gini. Masih pagi juga!" Kemudian mencubit ujung hidup Adela. "Gak usah deh niat mau samaan sama orang China, main sipit-sipitan mata!" Adela mengerucurkan bibir. "Resek lo ah! Gue kan lagi sedih ini." "Udah ah, sedih mulu dah. Sini ... mending bantuin gue iris bawang!" Adela menghapus jejak air matanya. "Gue jelek banget ya, Za, kalau nangis kayak gini." "Iya jelek! Nangis aja terus, gak pa-pa gue mah ikhlas. Itung-itung ya biar kecantikan gue di atas elu gitu." Zafina tergelak. Adela bangkit dari tempat duduknya, menghampiri Zafina yang tengah menggoreng ayam. Tanpa dosa Adela memukul kepala sahabatnya itu hingga sang empu meringis. "Syaland lo, Adela!" maki Zafina. "Sakit! Gak boong gue!" Adela tergelak. Dirinya merasa menang atas kekesalan Zafina. Adela menghela napasnya, dirangkulnya Zafina yang masih cemberut itu. Gadis itu sudah merasa lebih tenang sekarang. Berharap semoga takdir membawanya pada taman kebahagiaan yang selama ini dia harapkan. •••• "Za, bukain noh pintu, di luar ada tamu tuh. Gue lagi kebelet nih!" Kemudian terdengar suara pintu yang dikunci. Adela sudah menghilang di balik tembok kamar mandi. Zafina yang tengah dalam posisi nyamannya membaca majalah terpaksa harus beranjak. "Nyebelin banget lo, Del, gue lagi enak-enakan juga!" teriak Zafina rada kesal sebelum melangkah meninggalkan kamarnya. Terdengar suara gelak tawa Adela dari dalam sana. Zafina melebarkan matanya ketika pintu utama telah terbuka lebar. Menampilkan sosok seorang pria yang begitu tampan, ditambah postur tubuhnya yang ideal. Dari cara berpakaiannya juga rapih sekali. Astaga! Segera gadis itu menyadarkan diri dari pemikiran bodohnya. Ingat, Za, pria tampan di hadapan lo itu suami sahabat lo sendiri, suami Adela! "Mas R-Rayhan?" ucap Zafina sebelum mempersilakan pria itu masuk. Dia masih terkejut dengan kedatangan Rayhan. Zafina yakin, kalau Adela tahu kedatangan suaminya, pasti akan mengamuk gadis bar-bar yang satu itu. Rayhan mengangguk sambil menyunggingkan senyum. Aduh, manisnya. Hanya Adela yang tak tertarik dengan pesona pria itu. "Mari masuk, Mas!" ucap Zafina mempersilakan dengan sopan pria itu untuk masuk ke dalam rumahnya. "Duduk dulu, Mas, biar aku panggilkan Adela di kamar." Baru saja tiba di depan kamarnya, Zafina langsung menarik tangan Adela secara paksa—membawa gadis itu ke lantai bawah. "Apa, sih, Za ... kok pakai tarik-tarik segala?" decak Adela ketika mereka berhasil menuruni satu persatu undakan tangga. Belum sempat Zafina menjawab, mata Adela tak sengaja jatuh pada sosok seorang pria yang tengah duduk di ruang tengah. Mata Adela melebar sempurna. Tanpa pikir panjang, dia ingin segera beranjak kembali ke atas--tidak ingin menemui Rayhan. "Eh mau ke mana lo?!" Sebelum melangkah lebih jauh, Zafina segera menarik tangan sahabatnya tersebut. "Itu suami lo, Gobe! Sana samperin!" "Dih, o-g-a-h! Elu aja sana!" balas Adela menekan-kan ucapannya. Zafina menggertakkan giginya kesal. Bodoh bener sahabatnya ini. Suami tampan kok malah dianggurin! Setelah ini, Zafina akan menanyakan kenormalan sahabatnya tersebut. Tanpa berucap, Zafina kembali menarik tangan Adela. Menyuruh gadis itu untuk duduk. "Gue mau bikin minuman dulu, lo di sini aja!" "Tidak perlu repot. Saya ke sini cuman mau menjemput istri saya." Rayhan berucap santai, mata Adela melebar sempurna. "Istri saya? Hellow!" batin Adela. Gadis itu merasa mual dan akan muntah sekarang juga mendengar Rayhan memanggilnya dengan sebutan istri. Zafina menyenggol lengan Adela yang nampak tak berniat mengucapkan apapun. "Lo pulang sendiri aja sana! Gue masih mau di sini. Gak usah repot ngejemput, gue bisa pulang sendiri." "Itu mulut apa petasan, sih? Kalem dikit napa, Del. Ngomong sama suami lo ini, berdosa lo ngebentak-bentak gitu!" Adela mendengus. "Pulang sana. Gue ntar sore aja pulangnya." Rayhan menyunggingkan senyum. "Saya akan di sini sampai kamu mau pulang bersama saya," ucapnya masih dengan nada halusnya. Belum sempat Adela menyahut lagi, Zafina lebih dulu menghentikan dengan menyubit pahanya. "Mending lo siap-siap deh, Del! Suami yang tampannya kelewatan begini lo tolak mentah-mentah, lo sehat?" Zafina memelototkan matanya. "Hidup lo emang selalu beruntung!" bisik Zafina kemudian dengan mata berbinar. Adela menatap tajam Zafina, seolah berkata 'ogah!'. "Pulang atau gak gue izinin lagi lo ke sini?" ancam Zafina tak main-main. "Resek lo, resek!" desis Adela. Dengan kesal dia terpaksa beranjak dari tempat duduknya menuju kamar Zafina. "Kesialan apa lagi ini?!" gerutunya. Emosinya lagi-lagi naik sampai ke ubun-ubun. Untung kepalanya ciptaan yang Maha Kuasa, coba aja ciptaan manusia, sudah pecah tak berbentuk saat ini juga. **** "Jangan ikutin gue!" bentak Adela pada Rayhan yang berada di belakangnya. Pria itu benar-benar menyebalkan menurut Adela. Apalagi wajahnya itu ... sok yang paling tampan. Senyum itu juga, terlihat seperti senyum orang-orang m***m. Dasar! "Kenapa? Saya suami kamu, jadi saya berhak menempati kamar yang sama dengan kamu." Adela melipat kedua tangannya di pinggang. "Dasar pria semprul! Siapa bilang lo boleh masuk kamar gue?! Jangan harap, ya!" "Saya sudah dari semalam beristirahat di kamar kamu," balas Rayhan enteng. Yap, seperginya Adela kemarin, tak lama Rayhan beserta keluarga datang ke kediaman Adela. Rudi menjelaskan dengan tak enak hati atas kelakuan putrinya, Adela. Pria itu ingin beranjak meninggalkan Adela, namun segera dicegah oleh sang empu kamar. "Lancang sekali Anda ini, ya!" Adela menggertakkan gigi. Benar-benar kesal. "Awas aja kalau sekali lagi berani menginjakkan kaki di kamar gue! Gak boleh dan gak akan pernah gue perbolehkan!" Rayhan mengelus d**a, seraya mengucapkan 'Astaghfirullah' dalam hati. Beginikah ternyata sikap asli istrinya? "Baiklah. Saya minta maaf karena sudah lancang." Lebih baik mengalah, daripada terus berdebat yang mungkin saja akan menimbulkan keributan lebih dari ini. Adela mendengus kesal. Kemudian beranjak meninggalkan Rayhan tanpa mengucapkan kalimat pemanis seperti permisi atau kalimat sopan lainnya. Rayhan menggelengkan kepalanya. "Astaghfirullah." Adela mengunci pintu kamarnya, menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur dengan kasar. Ditatapnya langit-langit kamar yang tak pernah berubah sejak sepuluh tahun yang lalu. Tangannya meraih bingkai foto yang menunjukkan seorang anak gadis dengan ibunya sedang tersenyum bahagia ke arah kamera. Anak gadis dan seorang ibu tersebut tak lain adalah dirinya dan sang ibu. Air mata Adela mengalir melalui sudut matanya. Lagi-lagi dia merasa sesak. "Ma, Adel takut sekarang. Takut kalau nasib Adel kayak Mama. Adel gak siap. Adel gak sekuat Mama." Dipeluknya bingkai tersebut dengan segala rasa yang sulit diartikan. Antara sedih, senang, dan takut. "Adela, buka pintunya ... Ayah mau ngomong sebentar sama kamu!" ucap sang Ayah dari luar. Mengetuk berkali-kali pintu kamar Adela. "Gak! Adel pengen sendiri dulu! Sudah Adel bilang dari kemarin, Adel pengen sendiri!" "Itu suami kamu masa dibiarin istirahat di kamar tamu?" Adela menaruh kembali bingkai foto yang berada dalam pelukannya ke atas nakas. "Bodoamat! Kalau gak mau istirahat di kamar tamu, suruh dia balik lagi aja ke rumahnya! Adel juga gak nyuruh dia tinggal di sini!" balas Adela tak peduli. Dia mengubah posisi berbaringnya membelakangi pintu kamar, memeluk guling dan memejamkan mata. Berusaha masuk ke alam mimpi yang mungkin saja jauh lebih indah dari dunia nyata. Tidak Ayah, Rayhan, ataupun Zafina. Semua sama saja, membuat Adela hipertensi. **** TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA CERITA RAYHAN DAN ADELA:) SALAM MANIS, NOVI❤
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD