Part 2

2332 Words
Yakinlah bahwa pemilik semesta akan membantu hidupmu menemukan kepingannya yang hilang, jodohmu. •••• Adela dan Zafina menyandarkan punggung mereka pada sofa panjang yang berada di sebuah ruangan. Helaan napas panjang dan lelah terdengar dari keduanya. Perjalanan dari Jakarta-Bandung cukup melelahkan, apalagi di tengah-tengah perjalanan tadi mereka mengalami kebocoran ban. Cukup menguras tenaga di bawah terik matahari. Seorang pelayan datang membawakan dua gelas minuman segar dan makanan untuk mereka. "Terimakasih, Mbak," ucap Zafina sopan pada pelayan yang bekerja di salah satu rumah makan milik nenek dan kakeknya yang berada di Bandung. Sedangkan Adela, gadis itu mengulas senyum sambil mengangguk sopan. Saat ini Zafina dan Adela sedang berada di sebuah ruangan rumah makan peninggalan nenek dan kakeknya Zafina yang berada di kota Bandung. Rumah makan ini nampak sederhana, namun memiliki pengunjung yang sangat banyak. Rumah makan kepunyaan keluarga Zafina bisa dibilang tidak pernah sepi pengunjung, selalu ramai dalam setiap harinya. Rumah makan ini menyediakan beberapa menu favorite masyarakat yang selalu menjadi ciri khas dari rumah makan ini sendiri. Adela membuka pintu sedikit, mengintip ke arah luar. "Pantesan lo betah hidup sendiri begini, Za. Duit lo kayak air, mengalir deras banget. Gue saranin, mending lo gak usah nikah, hidup lo udah enak tanpa pasangan. Gak bakal jatuh miskin lo!" Zafina yang sedang menyeruput minumannya hampir saja menyembur. Bagaimana bisa gadis konyol itu mengatakan kalau dirinya sebaiknya tidak perlu menikah? Di mana-mana kalau umur sudah matang, siap lahir dan bathin maka alangkah baiknya untuk segera menikah. Zafina sendiri Insya Allah siap membina bahtera rumah tangga. "Teori dari mana itu, huh? Kalau Allah berkehendak, kapanpun bisa. Lebih banyak dari ini bisa lenyap dalam sekejap mata!" Adela mengerucutkan bibirnya. Lagi-lagi Zafina tidak sependapat dengannya. "Gue gak mau jomblo seumur hidup. Gue juga pengin punya bayi-bayi imut. Emangnya elo kagak pengen?" Adela mendengus kesal. Kenapa akhir-akhir ini sahabatnya itu tidak pernah menyetujui saran darinya? "Kapan, sih, lo setuju sama saran gue? Perasaan gak setuju mulu!" desis Adela. "Ditanya apa, jawabnya apa!" Zafina memutar bola matanya jengah. Adela membuang muka, sedikit merajuk. "Iyalah gue gak setuju, siapa coba yang setuju sama pendapat konyol lo itu. Mana ada orang yang gak mau nikah dan memiliki banyak malaikat kecil yang lucu dan menggemaskan? Gue nih ya sering banget bayangin keluarga kecil gue yang bahagia, tapi sayangnya jodoh gue aja yang belum datang." Adela menaikkan sebelah alisnya. Dia kembali duduk di sebelah Zafina. "Gue gak mau punya pasangan hidup. Gue gak siap dan gak akan pernah siap kalau nasib gue nanti kayak nyokap. Hidup begini sudah lumayan buat gue bahagia. Ya walaupun, kadang-kadang ada aja yang selalu buat gue gak memiliki alasan untuk hidup." Kemudian mengangkat sebelah bahunya, tanpa tidak terlalu peduli dengan segala permasalahan hidupnya. Zafina memukul kepala Adela hingga gadis itu meringis kesakitan. "Kenapa otak lo gak pintar-pintar, sih? Percuma lo sarjana kalau gini-gini aja cara berpikir lo. Gak bosen-bosen gue tekankan, kehidupan elo Adela Aznii belum tentu sama kayak kehidupan nyokap lo. Masih banyak laki-laki di luar sana yang jauh berbeda dari ayah lo. Buka mata hati lo, Kambing!" "Jangan buat gue marah ya hari ini. Cuaca hati gue lagi lumayan bagus." Adela mengangkat kedua bahunya dengan ekspresi tak berdosa. "Gue sudah terlalu sering sakit hati gara-gara seorang pria. Gue takut, dan gak mau sengsara kayak nyokap gue. Gue mau hidup bahagia, dan kebahagiaan itu gue sendiri yang nyiptain." "Coba aja lo buka hati sedikit demi sedikit, semua butuh proses, Del. Percaya sama gue, lo akan memiliki keluarga yang bahagia dengan pasangan lo kelak. Dari sekarang, buka hati lo dengan mencoba dekat dengan pria. Mencoba gak ada salahnya, kan?" Adela melipat kedua tangannya di depan d**a, lalu menyandarkan punggungnya pada kepala sofa. Dia mencoba memikirkan ucapan Zafina, dengan membayangkan sebuah hubungan yang begitu bahagia. Tapi, lagi-lagi dia teringat akan kejadian sepuluh tahun yang lalu, saat seorang pria yang dengan tega memukul wanitanya. Wanita itu sampai menangis memohon ampun. "Gue gak akan pernah siap memiliki pasangan, Za. Gue terlalu pengecut untuk itu. Gue udah nyaman sama kehidupan gue sekarang." "Pengecut kalau lo gak berani keluar dari zona nyaman lo!" "Gue akui, gue ini emang pengecut. Tapi gue bener-bener gak bisa maksain hati gue untuk saat ini, Za. Gue tau lo ngerti banget gimana gue." Zafina menggut-manggut saja. Dia tak mungkin memaksakan perasaan sahabatnya itu. Lambat laun, hati Adela akan terbuka dengan sendirinya. Zafina mempercayai keajaiban itu. Zafina bangkit dari tempatnya, berjalan ke arah sebuah meja terdapat komputer yang sedang menyala. Dia melihat perkembangan pemasukan rumah makan bulan ini, meninggat. "Pengunjung rumah makan gue meningkat, Del. Senang gue!" ucap Zafina dengan raut wajah bahagianya. "Alhamdulillah. Gue juga selalu berdoa buat kesuksesan usaha lo." "Hm ... makasih, ya. Jadi terharu gue." "Gak kepikiran buat bagi-bagi sama gue gitu, Za? Gue kan sahabat lo. Satu rumah makan yang ada di Jakarta buat gue, ya?" ucap Adela dengan santai tanpa adanya beban sedikitpun ketika menyuarakan keinginannya. Tidak tahu diri! Zafina mendelik. "Ngomong seenak jidat! Lo pikir minta rumah makan segampang kayak minta beliin permen?" kesalnya. "Gak usah nge-gas gitu dong. Gue cuman menyuarakan keinginan gue. Salah?" tanya Adela dengan raut tak bersalahnya. Kemudian terkikik geli. "Lo juga hidup jangan pelit-pelit banget, Za, gak dibawa mati semua harta lo!" Adela mencibir. "Siapa bilang? Nanti gue mati, di dalam kubur gue pasang listrik, bawa kasur, tv, kulkas, sama pendingin ruangan. Biar gak serba kekurangan gue di sana." Kali ini, Zafina-lah yang dengan santai menjawab ucapan Adela. Dengan kesal Adela melempat bantal kecil yang berada di dekatnya, mendarat tepat mengenai wajah Zafira. "Ngayal lo kebangetan. Gak waras lo ntar!" Zafira mengangkat kedua bahunya, tidak terlalu memperdulikannya. "Nanti kita bikin usaha berdua, modalnya bagi dua, dan hasil dari usaha itu milik kita berdua." Ide cerdas itu tiba-tiba muncul di kepala gadis itu. Mata Adela berbinar. "Ide lo bagus juga. Gue pengin punya usaha kayak lo, biar gak sia-sia kuliah gue. Dan, supaya gak dibilang pengangguran lagi sama bokap! Padahal hidup gue ini emang ditakdirin buat ngehabisin harta bokap. Kalau bukan gue siapa lagi? Bener gak, Za?" tanyanya enteng. Berasa ucapannya sudah benar adanya. Zafina geleng-geleng kepala. "Sahabat gue kok ya pinter banget begini, sih?!" herannya. Adela terkekeh. "Gue sebenarnya heran deh sama lo, Del. Kenapa gak nerusin butik nyokap lo aja, sih? Kan lumayan kalau dikembangin lagi. Lo punya penghasilan sendiri. Besar lho usaha butik nyokap lo." Adela berpikir sejenak. Sempat ada kepikiran untuk itu. Tapi dia ragu. Adela tidak ingin memiliki langkah sama dengan sang ibu. Takut kalau nasibnya juga akan sama. Kedengaran bodoh? Bukan hanya kedengarannya saja, tapi memang sudah nyata--bodoh. "Jangan bila alasan lo gak mau ngurus butik itu karna takut bernasib sama kayak nyokap?" tebak Zafina tepat sasaran. Kenapa sih otak temannya itu pinternya kebangetan?! batin Adela sedikit kesal. "Kagak!" kilahnya. Zafina tersenyum miring. "Buktiin dong. Mulai besok lo harus ke butik. Urus tuh butik nyokap lo. Gue yakin, lo bakal jadi perancang yang hebat." "Huhhh?!" Adela sedikit terkejut dengan tantangan itu. Kemudian menghela napasnya kasar. "Kita liat nanti aja deh, Za. Doain gue ya. Bingung juga kadang-kadang kenapa otak gue bisa begini. Suka gak bener." Zafira terkikik. Alhamdulillah sahabatnya itu sadar diri juga ternyata. Zafina kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya mengiyakan. "Ketawa lo itu ngejek apa gimana, sih?!" sewot Adela yang nampak tak terima dengan tawa Zafina. Terdengar sedang mengejeknya. "Oh ya, gue pegang janji lo buat kerja sama bareng gue." Zafina menatap beberapa saat sahabatnya tersebut. Dia akan memikirkannya setelah ini. Berbisnis dengan gadis cerdas seperti Adela tak akan merugikannya. Walaupun pemalasnya minta ampun dan kadang-kadang suka gesrek, sebenarnya Adela adalah gadis yang pintar dan kreatif. Zafina yakin kalau Adela adalah penerus bisnis orangtuanya kelak. **** Adela memijat leher bagian belakangnya. Rasanya penat dan pegal sekali, tetapi juga tak kalah menyenangkan. Seharian ini dia menghabiskan waktu untuk berkeliling di kota Bandung bersama dengan Zafira. Ketika lampu menyala, Adela hampir saja meloncat dari tempatnya karena melihat sosok sang ayah yang tengah berdiri tidak jauh darinya. Ekspresi pria paruh baya itu sedang tidak bersahabat padanya. Sejak kapan ayahnya berada di sana? "Dari mana saja kamu, Adela?" tanya Rudi dengan tegas dan dingin. Adela memutar bola matanya jengah. Pria itu tidak perlu tahu tentang kehidupannya, bukankah selama ini memang begitu? Adela sudah terbiasa hidup seorang diri. Tidak butuh perhatian dan kasih sayang dari sang Ayah. "Kalau ditanya sama orangtua itu dijawab, Adela. Ayah tidak pernah mengajarkan kamu untuk berlaku tidak sopan seperti ini sama orang yang lebih tua." Gadis itu masih tidak berniat menjawab. Adela menyalakan televisinya, memberikan volume yang lumayan keras. Tentu saja hal ini berniat untuk menghindari omelan sang ayah. "Habis dari mana saja kamu seharian ini? Sudah Ayah peringatkan kamu, jangan terlalu sering berteman dengan temanmu itu, dia sudah membawa pengaruh buruk buat kamu!" Deg! Ekspresi Adela berubah seketika. Dia tidak akan membiarkan siapapun mengatakan hal buruk mengenai Zafira, yang selama ini benar-benar baik dan peduli kepadanya. Bahkan lebih dari seorang sahabat. Adela mengubah posisinya. "Lalu bagaimana teman yang akan membawa pengaruh baik buat Adel, Yah?" tanya balik Adela dengan sedikit terpancing emosi. Sorot mata gadis itu menajam. "Yang suka menggoda suami dan merusak rumah tangga orang lain? Yang modelan kayak gitu, Yah?" Senyum licik tercetak di wajah Adela. Sekarang dia berbeda, gadis itu telah berubah dari sifatnya sepuluh tahun silam. Kalau dulu dia adalah gadis yang penurut dan memiliki tutur bahasa yang sopan serta lembut, maka tidak dengan sekarang. Dia telah menjelma menjadi seorang gadis pembangkang, keras kepala, dan tidak kenal aturan. "Jaga ucapanmu, Adela. Kenapa kamu seperti ini, ke mana Adel yang dulu Ayah kenal? Ke mana Adel yang selalu menjadi putri kebanggaan Ayah?" Adela tertawa hambar. "Adel putri Ayah sudah gak ada. Yang ada hanyalah Adel yang seperti ini, seorang iblis. Bukannya Ayah yang membuat Adel kayak gini, seharusnya Ayah seneng dong?" Gadis itu menyeringai. Rudi memijat pelipisnya. Sekali-kali dia bertanya kepada Tuhan, apakah dosanya di masa lalu begitu besar, hingga diberi hukuman berupa putri tersayangnya sangat membeci dirinya? Apakah tidak cukup menghukumnya selama ini, dengan memberikan jarak antara dia dan putrinya tersebut? Rugi memejamkan matanya sejenak. "Ada yang Ayah ingin bicarakan sama kamu. Kali ini, tolong dengarkan Ayah." Adela hanya diam. Gadis itu tak mengalihkan pandangannya sedikitpun dari layar televisi. "Ayah sudah pilihkan pendamping hidup untuk kamu." Deg! Tubuh Adela menegang seketika, seperti ada petir yang menyambar sekujur tubuhnya. Kejutan konyol apa lagi ini? "Ayah sudah menjodohkan kamu dengan pria pilihan Ayah. Kamu tidak akan bisa menolaknya." Tatapan Adela yang tadinya hanya memperhatikan layar televisi yang terbuka, tampak tak peduli dengan apa yang diucapkan Rudi, kini sorot matanya berubah menjadi tajam. Tidak ada tatapan bersahabat di antara ayah dan putri tersebut. Adela masih bisa mengontrol emosinya. Dia tetap diam di tempatnya, tak memberikan reaksi apapun. "Dia pria yang akan mendampingi kamu, yang akan membimbing kamu, dan yang akan selalu menjaga kamu dalam setiap langkahmu." Rudi melangkah lebih dekat dengan Adela. "Dia akan membahagiakan kamu, dia pria yang mapan dan juga dewasa. Ayah tidak akan salah memilih seseorang untuk hidup bersama dengan putri kesayangan Ayah," jelasnya kemudian. Emosi Adela sudah mencapai puncaknya. Dia menoleh ke arah sang ayah, dengan begitu murka. Dia berdiri, dan mencoba memperingati pria paruh baya yang sedang berdiri di hadapannya itu. "Apa Ayah sudah gak waras?!" Adela meninggikan intonasinya. Dia tidak habis pikir dengan jalan pria paruh baya yang dia sebut Ayah tersebut. "Apa Ayah gak cukup membuat hidup Adel menderita selama ini? Apa Ayah sudah kehilangan akal, sampai tega menjodohkan putri Ayah sendiri dengan pria yang bahkan gak dikenalnya sama sekali?! Ayolah Ayah ini bukan waktunya bercanda, Adel gak tertarik sama lelucon ini!" tegasnya. Dia ingin berlalu meninggalkan Rudi, namun cekalan pria tersebut menghentikan langkahnya. "Dengarkan Ayah sekali ini saja, Ayah hanya ingin yang terbaik untuk kamu. Ayah sangat menyayangimu, sebab itu Ayah tidak mau kamu salah dalam memilih pasangan hidup. Ayah tak selamanya bisa menemani kamu, mengingat umur Ayah yang sudah tak muda lagi," jelas Rudi dengan tatapan penuh kasih sayang pada putrinya. "Yang terbaik kata Ayah? Yang seperti apa yang terbaik untuk Adel, Yah? Apa yang Ayah tau tentang Adel? Apa Ayah gak pernah berpikir sekali aja untuk ketenangan hidup Adel tanpa adanya aturan dari Ayah? Adel ini manusia, bukan barang atau boneka yang bisa Ayah mainkan dan kendalikan sesuka hati!" Adela memejamkan matanya, rasanya ingin sekali berucap lebih tidak sopan daripada ini, namun dia masih memiliki rasa hormati-nya pada pria tersebut. "Setelah ini, Adel akan mengurus pembatalan perjodohan itu." Pembatalan perjodohan? Sekarang Rudi-lah yang sangat terkejut dengan ucapan sang putri. "Bagaimana bisa kamu mengucapkan ingin mengurus pembatalan perjodohan ini, sedangkan kalian saja belum saling menganal?" bentak Rudi mencoba menahan putrinya untuk mendengarkan ucapannya. "Lantas, kenapa Ayah menjodohkan Adel dengan pria itu, bukannya Ayah tahu kami gak saling mengenal? Sudah Adel bilang kalau Adel gak menginginkan sebuah hubungan, apalagi dengan ikatan pernikahan! Adel gak akan pernah mau!" teriak Adel, emosinya sudah melewati batas kewajaran. "Ayah memilih dia untuk membimbing kamu. Dia akan segera menjadi suami kamu. Pernikahan akan segera dilaksanakan, Ayah sudah mengurus semuanya." Adela merasakan pijakannya mulai melemas, namun masih mampu menahan tubuhnya agar tak ambruk ke atas lantai. Hidupnya sudah hancur sekarang, dan ayahnya-lah yang telah membuatnya hancur. Lagi dan lagi. "Adel ingin pergi!" putusnya dengan suara lemah. Dia melangkah melewati Rudi. "Mau ke mana kamu, ini sudah malam?" Tidak memperdulikan Rudi yang mencoba menghentikan langkahannya, meminta untuk tetap bertahan di rumah karena besok akan ada acara makan bersama untuk menyambut kedatangan keluarga calon suami Adela. Adela melepaskan cekalan sang ayah pada pergelangan tangannya, kali ini tidak dengan kekerasan. "Tolong, Yah. Kali ini aja, biarkan Adel pergi. Mungkin Adel akan menginap ke rumah Zafina." Untuk pertama kalinya Adela mengucapkan izin pada pria itu. Tanpa sadar Rudi tersenyum tipis. Ada sebongkah sebahagiaan mendengar kalimat sang putri. "Jangan pernah berniat untuk menjemput Adel di sana, kalau sudah tenang Adel akan pulang sendiri. Adel berangkat, Assalamu'alaikum." Adela tidak tahu kapan perasaannya akan membaik. Dia sama sekali tidak menginginkan perjodohan konyol ini. Bagaimana bisa seorang ayah akan menikahkan putrinya dengan seorang pria yang bahkan sama sekali tak dikenalnya. Yang lebih membuatnya murka, perjodohan itu dilakukan tanpa sepengetahuannya. "Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh." **** TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA CERITA RAYHAN DAN ADELA:) Salam manis, Noviyadep.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD