Part 1

3221 Words
Harusnya aku tidak menaruh kepercayaan terlalu besar sejak awal. Sebab, ucapan manis yang pernah kau janjikan pun tak bisa kau penuhi. •••• "Jangan, Ayah, jangan lakukan ini sama Mama. Sudah ... sudah cukup Ayah," ucap gadis itu memohon dengan sangat pada seorang pria yang nampak seperti kesetanan. Seorang gadis berumur tigabelas tahun sedang memeluk erat sang ibu yang sudah tak berdaya di atas lantai. Serta, banyak terdapat memar di wajah ibunya akibat pukulan keras dari seorang pria yang disebutnya ayah. "Minggir kamu Adela!" bentak sang Ayah. Ya, nama gadis itu adalah Adela. Lebih tepatnya Adela Aznii. Gadis yang sedang duduk di bangku sekolah menengah pertama kelas tujuh. "Gak! Jangan! Ayah jangan pukul Mama lagi, Ayah bisa membunuh Mama!" Adela kembali memeluk ibunya dengan erat, tak rela jikalau sang ayah kembali melayangkan pukulannya. "Kalian berdua sama saja, tidak berguna!" Setelah mengucapkan kalimat kasar yang sama sekali tak pantas dilontarkan, pria tersebut melangkahkan kaki meninggalkan Adela dengan sang ibu yang masih sama-sama menangis di tempatnya. Adela tak merasa asing lagi dengan ucapan kasar yang keluar dari mulut sang Ayah, dia sudah sering menerima perlakuan itu sejak tiga tahun yang lalu, hingga sekarang. Miris memang. Seorang gadis yang seharusnya menghabiskan waktunya untuk bermain bersama teman-temannya, mengalami masa pahit seperti ini. Menyakitkan, tentu saja. Hinaan demi hinaan yang keluar dari mulut sang ayah membuat hatinya remuk, bagai diremas dengan sangat kuat hingga menghancurkan bentuk nan indah tersebut menjadi sebuah serpihan yang tak mungkin bisa dipersatukan kembali. Ingin sekali memberontak akan tindakan sang ayah, tapi dia bisa apa? Adela hanyalah gadis kecil, yang tak mampu berbuat apa-apa, selain melindungi sang ibu. Dia tidak dapat melakukan banyak hal yang sering orang dewasa lakukan saat menghadapi masalah berat seperti ini. Dia masih terlalu kecil. Broken home. Benar-benar membuat gadis itu tertekan. Adela adalah anak yang pintar, yang sering meraih prestasi di sekolahnya sejak dia masih duduk di bangku sekolah dasar. Namun, semua telah berubah. Prestasi anak itu tiba-tiba menurun, bahkan dia tak dapat lagi meraih ranking tiga besar di kelasnya. Padahal dahulu Adela mengatakan kalau meraih sebuah prestasi adalah hal yang mudah baginya. Kurangnya kasih sayang dan sebuah perhatian kecil. Itulah faktor utama yang menjadi kelemahannya. Dia tidak pernah lagi memikirkan tentang prestasinya, yang ada dalam benaknya hanyalah kesembuhan dan keselamatan sang ibu. Tiga tahun sudah, keluarga kecilnya terpecah. Hal ini disebabkan tak lain dan tak bukan karena adanya seorang wanita ular yang tiba-tiba masuk ke tengah-tengah mereka, dan membuat semuanya hancur secara perlahan. Ayah yang sangat dia sayangi terperdaya oleh lidah manis sang wanita ular--itulah sebutan yang pantas untuk w*************a suami orang lain, hingga lupa diri. Tidak tahu apa yang sudah diperbuat oleh wanita itu, hingga sikap ayahnya berubah seratus delapanpuluh derajat. Ayah yang tak pernah bersikap kasar kepada keluarga kecilnya, berubah menjadi seseorang yang begitu menyeramkan. Adela tidak memperdulikan perasaannya, yang terpenting adalah ibunya. Tidak ada yang lebih berharga daripada itu. "Mama ... ayo kita ke kamar. Mama harus beristirahat." Adela membantu sang ibu berdiri, dan menuntunnya sampai ke tempat tidur. Dia membaringkan ibunya, mengusap rambut wanita yang amat dicintainya tersebut. "Adel sangat menyayangi Mama, kita akan berjuang bersama, Ma. Adel janji, akan mengembalikan semua kebahagiaan kita!" Dikecupnya dengan sayang dahi sang ibu. Tak dapat menutupi raut kesedihannya. Wanita yang sangat dia sayangi kini berubah menjadi wanita tidak berdaya. Tidak sedikit tetangga yang mengatakan kalau ibunya sudah kehilangan akal, tidak waras. Dan menyuruh segera masukkan sang ibu ke dalam rumah sakit jiwa. Setelah meminum obatnya, beberapa menit kemudian wanita itu menutup mata. Dia sudah lebih tenang sekarang. "Ma, Adel ke kamar dulu. Sebentar aja, setelah itu Adel kembali lagi ke sini jagain Mama." Adela kembali ke kamarnya untuk membersihkan diri, hanya beberapa menit kemudian kembali ke kamar ibunya. "Mama!!!" teriak Adela yang langsung berlari ke arah sang ibu. "Mama bangun, apa yang terjadi? Kenapa tangan mama banyak darah kayak gini?" paniknya. Wajah Adela pucat ketika melihat pergelangan tangan sang ibu yang sudah mengeluarkan banyak darah, hingga berceceran di atas lantai. "Tolong ... tolong!!!" teriak Adela dari dalam kamar ibunya, namun tak satu orang pun yang datang menolongnya. Adela berlari keluar rumahnya, memanggil seorang satpam yang kebetulan sedang berkeliling melihat keamananan wilayah perumahannya. "Pak! Pak! Tolong ... tolong Mama saya. Tolong, Pak!" mohon Adela pada pak Satpam tersebut. Tanpa bertanya lagi, seorang Satpam tersebut mengikuti Adela yang berlari ke dalam rumahnya. Satpam tersebut begitu terkejut ketika melihat seorang wanita yang sudah tergeletak tak berdaya di atas lantai. Wajah wanita paruh baya tersebut sudah memucat seperti mayat. "Ayo, Pak, bantu saya membawa Mama ke rumah sakit." Adela menggoyangkan lengan Satpam yang nampak terdiam dengan tatapan kosongnya. "Maaf, Neng ...," ucap Satpam dengan menggantungkan ucapannya, membuat Adela menatap bingung dan sedikit takut. Takut mendengar kenyataan pahit mengenai sang ibunya. "Sepertinya ibu Neng Adel sudah bersama dengan sang Pencipta." Adela terbelalak. Dia langsung menggelengkan kepalanya. Tidak mungkin! "Bapak bercanda kan? Ini gak benar kan, Pak? Mama Adel masih hidup kan, Pak? Katakan sama Adel kalau ini cuman mimpi? Mama Adel baik-baik aja kan, Pak?" paniknya sambil menggoyangkan keras tangan satpam yang juga nampak bersedih. Satpam tersebut hanya mengelus punggung Adela, menenangkan gadis itu. "Gak, ini pasti gak mungkin! Mama masih hidup! Mama Adel masih hidup!" Adela menepis kasar tangan Satpam yang berusaha menenangkannya tersebut. Kemudian memeluk ibunya erat. "Mama ...! Mama hanya tidur kan? Mama lagi becandain Adel kan? Mama bangun! Bangun ...!" "Cuman Mama satu-satunya harapan Adel ...!" •••• "Mama!!!" teriaknya. Adela terbangun dari tidurnya. Keringat sudah membanjiri daerah dahi dan lehernya. Adela memeluk kakinya erat sambil menangis. Lagi-lagi mimpi buruk itu menghantuinya. Selama sepuluh tahun dia tak bisa hidup dengan tenang karena masih sering mendapatkan mimpi buruk itu. Seperti sebuah rekaman abadi yang terputar secara otomatis di kepalanya. Semenjak kejadian itu, semuanya berubah. Tidak ada tawa kebahagiaan yang tercipta di antara seorang Adela dan sang ayah, padahal mereka tinggal dalam satu atap. Seorang gadis yang ceria, berubah menjadi gadis pendiam yang selalu menutup diri. Bahkan selama sepuluh tahun ini, Adela hanya memiliki satu teman yang selalu bersamanya, dan selalu menyayanginya melebihin siapapun. Adela hanya percaya pada cinta sahabatnya tersebut, tidak dengan cinta yang diberikan orang lain, termasuk cinta dan kasih sayang yang diberikan oleh sang ayah. Ketika merasa lebih tenang, Adela menyibak selimutnya. Melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Keramas akan membuat dirinya lebih segar dan tenang. Adela menatap wajahnya dari pantulan cermin besar di hadapannya. Matanya sedikit merah dan kelopak matanya pun membengkak akibat menangis tadi. Kemudian mempoles wajahnya dengan make-up sederhana, tidak berlebihan. Kemudian, mengganti jubah mandinya dengan pakaian santai. Segera dia melangkahkan kaki ke lantai bawah, tak lupa membawa tas kecil miliknya yang tadi dia letakkan di atas tempat tidurnya. Pandangannya menangkap seorang pria paruh baya yang sedang duduk di kursinya sambil membaca sebuah koran, ditemani oleh secangkir kopi yang terletak manis di atas meja kaca bundar di depannya. "Mau ke mana kamu pagi-pagi seperti ini, Adel?" tanya pria tersebut dengan melipat korannya, kemudian menaruhnya di atas meja. Jangankan untuk menjawab, menoleh saja tidak. Itulah sikap Adela setelah kejadian sepuluh tahun yang lalu, ketika ibunya kembali kepada sang Pencipta. "Adela! Apa kamu tidak punya mulut untuk memjawab pertanyaan Ayah?" tanya pria tersebut, yang menyebutkan dirinya sebagai ayah dari gadis itu. Adela yang sedang berada di meja makan, memakan sepotong roti selai cokelatnya hanya diam tak berniat menjawab. Usai menghabiskan sepotong ropi dan segelas s**u hangatnya. Segera dia langkahkan kaki meninggalkan sang ayah menuju bagasi. "Adela?! Di mana sopan santun kamu sama orangtua? Ayah lagi ngomong sama kamu!" Rudi sedikit membentak ketika Adela melangkah melewatinya begitu saja menuju pintu utama. Ya, pria paruh baya tersebut bernama Rudi. Rahang Rudi mengeras ketika melihat punggung sang putrinya tersebut semakin jauh dab menghilang dari pandangannya, tanpa berniat menjawab satupun pertanyaan darinya. Benar-benar menjengkelkan. Itulah yang sering dikatakan oleh Rudi ketika kelakuan Adela seperti ini. **** Adela menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur yang tak kalah empuk dan nyaman dari tempat tidur miliknya. Terdengar helaan napasnya yang begitu panjang. Plak! Plak! Adela meringis ketika kaki mulusnya mendapat pukulan keras dari seseorang. "Lepas dulu sepatu lo, Kambing!" kesal seorang gadis yang kini tengah berkacak pinggang di depan Adela. Adela berdecak tak kalah kesal. "Memangnya berapa harga badcover lo ini, takut banget dikotorin sama gue?!" sahut Adela dengan nada sedikit menyebalkan. Tentu saja tidak merasa bersalah. "Bukan masalah harganya, Adela Aznii! Gue cuman gak suka tempat tidur gue yang nyaman ini menjadi sarang penyakit!" Gadis itu menarik paksa tangan Adela agar gadis itu bangun. "Ck! Dasar sok yang paling bersih lo, anak Ayam!" cibir Adela pada sahabatnya tersebut. Zafina Yasna. Itulah nama gadis yang saat ini sedang bersama dengan Adela. Gadis yang menjadi sahabat Adela sejak mereka masih duduk di bangku sekolah dasar. Berkisah sedikit tentangnya, dia adalah anak yatim piatu sejak kecil. Syukurlah nenek dan kakeknya tergolong keluarga yang berada, hingga membuatnya tumbuh dalam berkecukupan selama ini. Namun sayangnya, nenek dan kakeknya meninggal dua tahun yang lalu, hingga saat ini dia hanya hidup seorang diri. Adela salut pada sahabatnya itu, Zafina tak merasa takut atau bersedih ketika sendirian di rumahnya. Zafina adalah gadis pemberani untuk versi Adela. Dia juga sekarang tengah melanjutkan usaha nenek dan kakeknya di bidang kuliner. Ada beberapa cabang rumah makan terkenal di negara ini adalah miliknya. "Sudah syukur gue izinin lo masuk ke tempat gue, malah ngelunjak!" Zafina memukul kepala Adela saking kesalnya. "Dih, beraninya pakai kekerasan lo!" geram Adela yang mengusap kepalanya menahan rasa sakit. Menatap tajam ke arah sahabatnya yang kini mengambil tempat duduk pada salah satu sofa single miliknya. Begitulah kiranya kisah dua sahabat tersebut. Tidak jarang mereka saling memukul dan memarahi satu sama lain jikalau satu dari mereka melakukan hal yang tidak wajar atau salah. "Gue nginap di sini, ya, Za?" pinta Adela seraya menyalakan layar televisi di kamar Zafina. "Ogah! Kayak gak punya rumah aja lo!" balas Zafina sambil membaca novel kesukaannya. Adela memajukan bibir. Kemudian melempar kacangnya ke arah Zafina. "Heh, Kambing! Lo bisa gak, sih, jangan ngesampah di kamar orang! Perasaan setiap kali lo datang, rumah gue gak pernah beres!" Adela memutar bola matanya jengah. "Omongan lo kayak nyindir gue yang paling jorok di sini. Padahal kamar gue jauh lebih rapih daripada kamar lo! Dasar lo-nya aja yang suka melebih-lebihin keadaan." "Ngaca, Kambing! Kamar lo bersih karena pembantu lo yang kebersihin. Sedangkan gue, bersihin sendiri." "Alah, sok yang paling rajin lagi kan! Pengen gue acak-acak nih kamar." Zafina melebarkan matanya, dia menutup novelnya--mengakhiri bacaannya. Hidupnya tak akan pernah tenang kalau Adela masih berada di sisinya. Beginilah, gadis yang satu itu tak pernah membiarkannya hidup dengan tenang. "Sebelum itu terjadi, gue tendang duluan lo dari sini!" Zafina melangkah ke arah Adela, kemudian memberikan jitakan mautnya pada gadis itu. "Lo suka banget nyiksa gue, Za! Bisa gundul ini kepala gue kena jitakan sama jambakan lo setiap hari. Sakit tau!" protes Adela yang merasa tak terima dengan tindak kekerasan yang dilakukan oleh Zafina. "Baguslah kalau lo botak, biar gak ada yang ngalahin kecantikan gue." "Dih, dasar jahat lo jadi teman. Mimpi apa gue semalam, bisa nemu sahabat kayak lo begini." Zafina mengangkat kedua bahunya, tanda tidak tahu. "Ngomong-ngomong, lo gak ada makanan apa gitu buat gue, Za? Laper nih." Zafina lantas menolehkan pandangannya ke arah Adela yang berada di sampingnya. Lihatlah, sekarang gadis itu sedang menunjukkan wajah memelasnya. Menjengkelkan sekali bukan?! "Gak ada! Lo emang gak modal banget, ya, Mbing!" "Kan gue tamu, Za." Adela membela diri. "Tamu kayak gini nih yang bikin gue enek, banyak maunya. Diturutin sekali, malah ngelunjak!" Adela tertawa. Apa yang dikatakan Zafina benar. Adela selalu saja merepotkan gadis itu yang harus menuruti kemauannya. "Lagian lo mau-mau aja nurutin kemauan gue, siapa yang salah coba?" Ingin sekali dia mematahkan leher gadis di sampingnya ini kalau saja tidak ada hukum yang akan menjeratnya nanti. "Masak sendiri sana, banyak bahan masakan dalam kulkas." Zafina membenarkan posisinya, menjadi lebih nyaman. Dia mengganti channel televisi, mencari acara yang lebih berfaedah. "Lo kan tau sendiri, Za, gue gak bisa masak," keluh Adela. "Gue cuman tau cara bikin mie rebus sama telur ceplok mata sapi." "Ya sudah, hidup jangan dibuat ribet. Bikin apa yang lo bisa aja." "Tapikan, Za, mie gak baik buat kesehatan gue. Nanti lo juga yang ribet bolak-balik rumah gue kalau gue sakit." Zafina memutar bola matanya jengah. Sebenarnya dia sangat malas melakukan kegiatan di hari libur seperti ini, tapi kalau dipikir-pikir ucapan Adela ada benarnya. Zafina akan tambah malas jikalau harus bolak-balik ke rumah gadis itu untuk merawatnya. Seperti bulan lalu, selama satu minggu Zafina bolak-balik ke rumah Adela. Gadis itu mengalami gejala tifus. Bisa dikatakan kalau Zafina hampir seperti seorang ibu yang tengah mengurus anaknya. Dengan berat hati, Zafina bangun dan beranjak menuju dapur. Adela yang melihat pergerakan Zafina itu, bersorak kesenangan. "Lo emang sahabat paling baik yang pernah gue kenal, Za!" puji Adela pada sahabatnya itu. "Dan lo teman paling laknat yang pernah gue kenal!" "Yang ikhlas dong, Za. Lo beneran teman gue yang paling baik kok, suer deh. Gak pa-pa deh gue dikatain laknat sama lo. Ikhlas gue, ikhlas." "Ya iyalah lo bilang kayak gitu. Emang sahabat lo ada berapa, cuman gue seorang kan?" Adela memajukan bibirnya. Yang dikatakan gadis itu benar. Dia tidak memiliki sahabat selain Zafina. "Sudah gak usah sok merajuk gitu, muka lo amit-amit." Ini yang namanya sakit, tapi tak berdarah. Zafina orang yang paling menyebalkan di dunia ini; umpat Adela dalam hati. "Lo mau gue masakin apa, Bocah?" tanya Zafina ketika dia sudah mulai mengeluarkan sayur-sayuran yang berada dalam kulkasnya. Adela berpikir sejenak, dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan emas ini. "Lo punya daging gak?" tanya Adela ketika dia mulai mendapatkan sebuah ide. "GAK! Biarpun ada, gue ogah masakin lo daging. Yang gampangan dikit kenapa, Del!" Zafina ingin memukul Adela dengan wajan yang berada tak jauh darinya. Namun diurungkannya. Untung sahabat gue! "Lo ngelunjak ya dibaikin. Kesel gue!" Adela hanya menyengir kuda. Kemudian, menunjukkan dua jarinya yang membentuk huruf 'V'. "Ayam goreng sama lalapan deh. Gue lagi pengin makan sambal acan buatan lo." Zafina mengangguk. Segera dia mencuci sayuran yang akan dia gunakan hingga bersih, setelah itu merebusnya. "Lo bisa goreng ayam kan?" tanya Zafina pada Adela yang sedang duduk menopang dagunya di kursi bar dapurnya. Adela berpikir sejenak. Terakhir kali dia menggoreng ayam beberapa minggu yang lalu, di rumahnya. Gosong pula! "Bisa sedikit. Tapi takut kecipratan minyak panas gue, Za." "Jangan banyak gaya, lo sama cipratan minyak juga gedhean badan lo. Sana cuci dulu ayamnya, setelah itu bumbuin, baru digoreng." Adela hanya mengangguk mengiyakan, setelah itu bangkit dari tempat duduknya. Usai membersihkan dan menaburkan bumbu pada ayam tersebut hingga rata. Adela menyalakan kompor yang sudah diletakkan wajah berisi minyak goreng di dalamnya. Cipratakan minyak goreng membuat Adela mundur beberapa langkah. "Eh, Kambing! Ngapain lo mundur-mundur?" tanya Zafina ketika punggung mereka saling bertabrakan. "Lo punya helm kan, Za, gue pinjem sebentar boleh, ya?" tanya Adela ingin beranjak dari tempatnya, namun di cegah oleh Zafira. "Mau ke mana lo pinjam helm gue? Jangan pulang duluan, masakan sebanyak ini siapa yang mau habisin?" "Gue gak pulang. Ini bentuk perlindungan diri saat memasak, Za. Lo tenang aja, ini cara yang paling aman dan gak membahayakan." Zafina menautkan alisnya, bingung. Dia hanya menatap kepergian Adela menuju ruang tamu. Selang beberapa detik, gadis itu sudah kembali dengan membawa helm dan jaket panjang miliknya. Adela kemudian mengenakan kedua barang itu. "Dengan begini gue aman dari cipratan minyak panas. Gimana ide gue, cerdas kan?" tanyanya dengan menaik-turunkan alisnya. Plak! Zafina memukul keras helm itu, membuat Adela meringis menahan sakit. "Cerdas apanya, dasar bocah semprul!" Adela menaikkan sebelah bahunya, tanda tidak peduli. Yang terpenting baginya hanyalah keselamatannya. Kemudian, dia melangkah menuju penggorengan sebelum ayam gorengnya gosong. "Gue heran deh kenapa di dunia ini sampai ada manusia pemalas kayak lo begini. Masak gak bisa, nyuci pakaian gak bisa, nyapu atau ngepel gak beres. Lo bisanya apa, sih?!" Zafina menggeleng-gelengkan kepalanya heran sambil menatap ke arah Adela yang sedang meniriskan ayam yang sudah matang. "Kan gue nanti bakalan jadi seorang istri bukan jadi seorang pembantu. Jadi wajar aja-lah kalau gak bisa ngerjain pekerjaan rumah yang kayak lo sebutin tadi," jawab Adela santai. Dia melepas helm dan jaketnya, yang dirasa mulai gerah. "Gampang kok, tinggal gue bawa Mbok Jum tinggal sama gue nanti," tambahnya lagi dengan wajah tak merasa bersalah sedikitpun. "Iya kalau lo beruntung dalam memilih pasangan yang menerima lo apa adanya. Kalau sebaliknya gimana? Emang lo mau suami lo lebih terbiasa dilayani sama Mbok Jum?" "Kita liat nanti aja-lah, Za. Lo tahu prinsip gue dari awal. Kenapa malah ngomongin pernikahan kayak gini?" "Lo gak selamanya membenci ikatan suci pernikahan, Del. Percaya sama gue, banyak laki-laki di luar sana yang jauh berbeda dari kelakuan bokap lo di masa muda." Zafina menepuk bahu Adela pelan. "Gak belum pernah memikirkan hal itu, dan gak berniat memikirkannya untuk saat ini. Gue masih ingat kejadian waktu itu, masih terekam jelas di kepala gue, Za. Gue gak mau jatuh ke lubang yang sama untuk ke dua kalinya." Zafina menatap gadis itu, kemudian tersenyum. "Saat waktunya sudah tiba, lo bakal ngerasain gimana bahagianya memiliki pasangan yang sangat menyayangi lo." "Gak usah sok tahu. Lo aja sampai sekarang masih ngejomblo, pakai nasehatin gue segala!" cibir Adela. "Eh bocah, dinasehatin yang baik itu bukannya berterima kasih, malah nyolot. Pengin gue pukul muka lo pakai wajan panas ini nih biar tahu rasa." Adela terkikik. Seram juga ketika melihat mata cantik Zafina melolot seperti tadi. •••• Adela melempar tasnya sembarang tempat. Dia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidurnya. Perut kenyang, hatinya pun senang. Menjahili dan membuat Zafina marah adalah kebahagiaannya. Sangat. Tangannya menggapai remote pendingin ruangan yang berada di atas nakasnya. Pintu terbuka, mengalihkan pandangan Adela yang sedari tadi sibuk memainkan ponselnya. "Neng Adel mau makan apa hari ini?" tanya Mbok. "Adel tadi sudah makan di rumah Zafina, Mbok. Mungkin nanti malam aja makannya." Mbok Jum, itulah nama panggilan untuk wanita lanjut usia tersebut. Mbok Jum mengangguk sopan, kemudian ingin menutup kembali pintu kamar Adela, namun dicegah oleh sang empunya. "Sebentar, Mbok." Adela mencegah kepergian Mbok Jum. "Bisa minta tolong ambilkan Adel buah apel yang Adel simpan di kulkas dapur semalam?" pinta Adela dengan sopan. Sebenarnya di kamarnya ada saja kulkas kecil miliknya, namun sudah terlalu penuh dengan cemilan. Mbok Jum mengangguk. Beberapa menit, Mbok Jum kembali dengan membawakan beberapa buah apel merah yang sudah dicuci hingga bersih, dan meletakkannya di dalam piring. "Terimakasih, Mbok, maaf kalau Adel merepotkan." Mbok Jum tersenyum hangat, kemudian mengangguk. "Enggak, Neng. Mbok senang bisa membantu Neng Adel. Apa ada lagi yang harus Mbok bantu?" Adela menggeleng. "Mbok beristirahat aja. Jangan terlalu banyak bekerja, Mbok, nanti Mbok Jum bisa sakit." Mbok Jum mengangguk, kemudian berlalu meninggalkan Adela. Mbok Jum sudah bekerja puluhan tahun di rumahnya, sedari Adela masih kecil. Adela sangat mengenal baik Mbok Jum, kadang-kadang wanita itu juga bisa menjadi seorang teman untuk Adela di kala sedih, dan membutuhkan tempat untuk berbagi keluh kesahnya. Getaran pada ponselnya membuat Adela menghentikan kunyahannya pada buah apel yang berada di tangan kanannya. "Bersama Adela Aznii yang cantik di sini," ucapnya terdengar begitu percaya diri ketika sambungan teleponnya terhubung dengan seseorang di seberang sana. Seseorang yang di maksud Adela tak lain dan tak bukan adalah sahabatnya, Zafina. "Syaland!" Adela tertawa. "Kenapa nelpon, kangen?" "Dih, gak guna kangen sama lo. Gue cuman mau ngasih tau, kalau jam tangan kesayangan lo ketinggalan di kamar mandi gue. Niatnya sih mau gue jual. Laku berapa, ya?" Adela terbelalak dengan mulutnya yang sedikit terbuka. Kemudian, melirik ke arah pergelangan tangan kirinya. Benar saja, gelang jamnya ketinggalan di kamar mandi. Dia tadi melepasnya ketika ingin mencuci wajah dan pergelangan tangannya. "Jangan macam-macam, itu gelang jam sangat berharga buat gue! Berani lo jual, gue gak segan buat ngubur lo hidup-hidup!" Zafina di seberang sana tak dapat menahan gelak tawanya. Dia sudah berhasil mengerjai Adela. "Gelang tangan jelek kayak gini, masih lo simpan aja. Perasaan lo punya banyak koleksi jam tangan. Jadi gak apa-apa kan ya kalau gue jual yang satu ini, lumayan duitnya bisa gue gunain buat belanja bulanan." Sebenarnya Zafina tahu alasan Adela yang selalu mengenakan jam tangan itu, karena salah satu barang peninggalan ibunya. "Sudah gue peringatin, Za, jangan macam-macam. Itu gelang jam lebih berharga dari hidup gue sendiri." "Ah, lebay lo! Gelang jam kayak gini banyak di pasar obral, tiruannya tapi. Tinggal nyari lagi aja, Del, jangan diambil pusing." "Bacot! Pengin gue tabok mulut lo!" Adela memutuskan panggilannya secara sepihak. Dia menghela napasnya panjang. "Bisa darah tinggi gue lama-lama temanan sama tuh gadis oon!" kesalnya. Dia membuka kembali layar ponselnya ketika mendapatnya notifikasi sebuah pesan yang masuk. Zafina: Dih, baperan. Gue becanda doang tadi! **** TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA CERITA RAYHAN DAN ADELA:) Salam manis, Noviyadep
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD