Satu-satunya hubungan yang dijamin tidak akan membuatmu tersakiti adalah hubungan yang terjalin antara kamu dan Allah.
-Anonim-
****
"Mau ke mana, pagi-pagi kok sudah rapih?" tanya Rayhan bingung melihat penampilan Adela yang terlihat berbeda dari biasanya. Wanita itu mengenakan sheath dress, membuat tubuhnya semakin indah.
Adela tersenyum. "Mau ke butik. Kayaknya mulai hari ini aku mau ngurus butik Mama. Kamu gak keberatan kan?"
Rayhan diam beberapa saat, kemudian mengangguk. Senyum Adela mengembang. Sebenarnya Rayhan lebih senang kalau sang istri diam di rumah. "Iya, saya izinkan. Tapi ...."
"Tapi apa? Jangan kebiasaan ngegantung ucapan gitu, aku gak suka!"
"Tapi tidak untuk waktu yang panjang, dengan kata lain tidak untuk selamanya. Ketika kamu hamil nanti, saya ingin kamu di rumah saja."
Adela melebarkan matanya. Hamil? Hellow ... dia saja belum memikirkan sampai sejauh itu.
"Kenapa kamu diam? Jangan bilang kalau kamu tidak ingin mempunyai anak bersama saya?"
"Eh--enggak ... enggak, gak gitu. Ya sudahlah, deal!"
Rayhan tersenyum atas kemenangannya. Semakin ke sini, semakin terlihat perubahan demi perubahan pada seorang Adela.
"Bagus gak aku pakai sheath dress ini?" tanya Adela, kemudian memutar tubuhnya agar Rayhan dapat melihat keseluruhan tubuhnya dengan balutan dress itu. Rayhan meletakkan jari telunjuknya di dagu, nampak berpikir.
"Bagus. Tapi saya lebih suka kalau kamu memakai jilbab dan khimar. Pasti akan terlihat lebih cantik lagi," jujur Rayhan, lantas tersenyum begitu tulus.
Adela mengantup bibirnya rapat-rapat, sambil menatap dalam ke arah Rayhan. Sedang Rayhan yang paham betul perubahan raut wajah sang istri tersebut lantas mengusap puncak kepala Adela.
"Sudah gak usah terlalu dipikirkan, saya gak memaksa kamu."
Perlahan Adela menganggukkan kepalanya.
"Ya sudah ... ayo kita sarapan. Hari ini saya yang antar kamu. Kita berangkat bareng."
Adela mendongak, menatap Rayhan. "Gak usah. Aku bawa mobil sendiri aja."
"Gak pa-pa, saya akan lebih senang kalau kamu mau berangkat sama saya. Gimana?"
Adela diam beberapa saat. Rasanya tidak enak jikalau dirinya menolak. "Boleh deh."
Senyum Rayhan mereka. Tangannya terangkat mengusap puncak kepala Adela, kemudian menepikan helaian rambut yang menutupi dahi istrinya tersebut. "Saya senang kamu menurut."
Adela merasa pipinya menghangat. Kenapa selalu saja begini ketika pria itu berkata lembut padanya? Ada apa sebenarnya dengan dirinya? "Ohhhh, Adela ... ayolah. Jangan buat malu depan suami!" rontaan batinnya.
****
Zafina mengunjungi butik yang tengah dikelola oleh sahabatnya. Jam makan siang sebentar lagi, sekalian makan bareng di luar.
"Lagi repot, Del?" tanya Zafina.
Adela mengalihkan pandangannya-- menatap Zafina, kemudian menggeleng. "Enggak, gue menikmatinya. Siapa tahu hidup gue lebih terarah setelah ini. Doain, ya ...," kekehnya padahal tidak lucu sama sekali.
Zafina mengangguk mantap. Tentu saja dia mendoakan dan akan selalu mendukung Adela, selagi itu dalam jalur yang benar.
"Makan keluar?" tawar Zafina kemudian. Mata Adela berbinar.
"Boleh. Lo yang telaktir, ya."
Bibir Zafina sedikit maju. "Katanya lo orang kaya, kok selalu minta telaktiran sama gue?!" cibirnya.
"Yeee ... kan yang kaya bokap gue. Nanti besok gantian, gue yang telaktir elu deh. Gimana?"
"Oke."
Adela tersenyum penuh kemenangan. Segera dia beranjak dari tempat duduknya, meninggalkan ruangan yang mulai dari hari ini hingga nanti akan menjadi ruangan favoritnya. Adela baru merasakan kenyamanan itu. Dia merasa lebih dekat dengan sang ibu saat duduk di kursi di mana dulu sering diduduki oleh ibunya tersebut. Tanpa ada orang lain yang tahu, wanita itu telah membuat janji dalam hati. Hanya dia, dan Tuhan yang tahu.
****
Adela terkesiap ketika melihat Rayhan yang tiba-tiba datang ke ruangannya. Wanita itu melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, menunjukkan pukul lima sore. Adela heran, tumben sekali pulangnya lebih cepat dari biasanya.
"Sudah selesai?" tanya Rayhan. Pria itu duduk di salah satu sofa tamu di ruangan itu--menyandarkan punggungnya di kepala sofa.
Adela mengangguk. "Tumben kamu pulangnya lebih cepat dari biasanya. Gak banyak kerjaannya?"
Rayhan menyunggingkan senyum. "Sebagian saya bawa ke rumah. Nanti malam saya selesaikan. Mau pulang sekarang?" Adela kembali mengangguk.
Ketika dia dan Rayhan sama-sama melangkah menuju mobil, beberapa pasang mata melihat ke arah mereka. Ada yang menatap takjub, ada juga yang menatap bingung. Adela sedikit merasa canggung ditatap demikian.
"Mau langsung pulang atau makan dulu?" tanya Rayhan memulai obrolan di antara mereka. Adela menoleh, diam beberapa saat untuk berpikir.
"Pulang aja deh, Mas. Gimana kalau nanti malam kita keluar, aku mau ada yang dicari sekalian. Kamu gak pa-pa kalau keluar lagi nanti malam?"
Rayhan mengangguk. Dia senang sekali, hari ini Adela nampak berbeda dari biasanya. Wanita itu lebih lembut dan tidak gampang marah seperti biasanya.
"Hari sabtu nanti, saya mau ngajak kamu ke rumah Mama. Kita mampir ke sana, sekalian menginap satu malam. Kamu bisa?"
Adela kembali diam beberapa saat, memikirkannya. "Insya Allah, aku usahain nanti." Lantas menyunggingkan senyum. Rayhan seperti mendapat sebongkah kebahagiaan mendengarnya.
"Kamu gak lagi kenapa-kenapa kan?"
Adela mengerutkan dahi, bingung. "Kenapa gimana?"
"Saya lebih senang kamu kayak gini, gampang di atur, dan gak gampang marah. Saya jadi gak sungkan buat ngobrol sama kamu."
Adela tertawa kecil. "Makanya Mas Rayhan juga jangan mancing-mancing aku buat marah."
"Memangnya saya pernah mancing kamu marah?"
"Iyalah, setiap hari gak pernah absen."
Rayhan terkekeh. "Saya gak nyadar."
Adela mencibir. "Sekali nyebelin, tetap nyebelin."
"Orang nyebelin ini yang nantinya kamu kangeni."
Mata Adela melebar. "Tu kan ... jangan buat aku sebel!" peringatnya kemudian. Adela memalingkan wajahnya ke sebelah kiri dirinya--enggan menatap Rayhan kembali. Laki-laki itu benar-benar!
"Saya bercanda, kamu yang terlalu sensian. Gak bisa diajak bercanda sedikit, marah. Nanti cepet keriput, mau?"
Adela memberengut. "Walaupun aku keriput tetap cantik. Jadi gak masalah," balasnya tak mau kalah. Sebal rasanya dikatai keriput.
"Iya saya percaya kok, kan memang udah cantik dari sananya."
"Aku baru tau Mas Rayhan pinter ngegombal kayak gini. Untung aku orangnya gak cepet baper."
"Yah, padahal saya berharapnya kamu baper."
Adela menoleh lagi ke arah Rayhan, menatap pria itu dengan memicing. "Udah ngegombalnya. Fokus nyetir aja, nanti keserempet baru tahu rasa!" komentarnya sedikit tajam.
"Ucapan itu doa, jadi ucapkan yang baik-baik aja."
"Ceramah lagi!" batin Adela mencibir. Dia memejamkan mata. "Nanti kalau aku ketiduran, bangunin ya."
"Tidak boleh tidur jam segini."
Adela hanya memutar bola matanya malas.
****
Usai membersihkan diri dan melakukan kewajiban maghribnya, Adela segera bersiap ke dapur untuk makan malam. Sedari tadi Adela tidak melihat Rayhan, ke mana pria itu?
"Malam Mbok Jum," sapa Adela, lantas duduk di salah satu kursi bar dapurnya.
"Malam Neng Adel." Mbok Jum menyunggingkan senyum.
Adela memperhatikan mbok Jum yang tengah memasak. "Nanti ajarin Adel masak ya, Mbok," ucapnya. Mbok Jum sedikit terkejut mendengarnya. Adela ingin belajar memasak? Apa dia tidak salah dengar?
"Tumben Neng Adel ingin belajar masak," canda mbok Jum sambil terkekeh. "Biasanya Mbok ajak masak selalu nolak."
Adela ikut menyengir. "Gak pa-pa, sih, Mbok. Cuman mau belajar aja. Siapa tahu sejago Mbok Jum nanti."
Mbok Jum tersenyum hangat. "Siap, Neng. Nanti Mbok ajarin sampe jagonya melebihi Mbok."
Adela tertawa lagi.
"Ayah sudah pulang, Mbok?"
"Sudah, Neng sebelum maghrib tadi." Adela mengangguk.
"Kalau Mas Rayhan ke mana ya, Mbok, kok gak kelihatan dari tadi?"
"Oh kalau Den Rayhan lagi ke rumah Mamanya. Katanya tadi mau sekalian ngejemput adiknya di Bandara."
Adela menaikkan sebelah alisnya. "Kok gak bilang-bilang!" batinnya sedikit jengkel. "Ya sudah, Bi."
Usai makan malam bersama sang Ayah, iya hanya berdua dengan Ayah-nya. Sedangkan sang suami, Adela belum tahu kapan pria itu akan pulang. Adela segera mengganti pakaiannya. Malam ini dia akan membeli beberapa kebutuhan dirinya yang sudah menipis.
Adela kesal dengan Rayhan yang tak bisa menempati janjinya untuk mengantar Adela. Sebenarnya diantar atau tidak, itu bukan jadi masalah kalau sebelumnya pria itu tidak membuat janji padanya. Adela paling anti dengan seseorang yang menghilang tanpa kabar, padahal dia sudah membuat janji. Kalau memang tidak bisa, kenapa harus berjanji? Itu pertanyaan Adela sekarang.
Hanya membutuhkan waktu setengah jam untuk berbelanja, selanjutnya Adela melajukan mobilnya menuju rumah Zafina. Rasanya malas saja pulang ke rumah, dan bertemu sang suami menyebalkannya.
"Eh, Adel, sama siapa ke sini?" tanya Zafina kaget melihat sahabatnya yang tiba-tiba datang. Padahal baru saja mereka bertemu siang tadi.
"Sendirilah, memangnya mau sama siapa lagi?"
"Siapa tahu sama suami lo, gitu ...," kekeh Zafina kemudian. Adela memutar bola matanya malas.
"Habis dari mana lo malam-malam begini?" tanyanya yang sudah duduk di sambil Adela.
"Belanja bulanan."
"Dih kok gak bilang-bilang, gue mau ngikut padahal. Sekalian beli bahan dapur yang sudah menipis."
"Lo gak bilang, sih, mana gue tahu!"
Zafina terkekeh. "Bener juga, sih."
Ponsel Adela bergetar, membuatnya mengalihkan pandangan.
Rayhan: Kamu di mana?
Adela menggerutu dalam hati. Tentu saja dia tidak berniat membalas pesan itu.
"Kalu ada yang bertamu habis ini, jangan dibukain. Itu pasti Mas Rayhan."
"Kenapa? Kalian berantem lagi, ya? Kok setiap hari, gak bosen lo berantem mulu?"
Adela menaikkan sebelah bahunya. "Orangnya nyebelin gitu."
Zafina menghembuskan napasnya. Untung Rayhan pria yang sabar dengan sikap elu, Del! batinnya.
****
TERIMAKASIH SUDAH SABAR MENUNGGU DAN MEMBACA CERITA RAYHAN DAN ADELA:)
Jangan lupa tap love dan komen;)
Salam manis,
Novi❤