Part 9

1569 Words
"Perempuan itu sama seperti bunga. Mereka harus diperlakukan dengan lembut, baik, dan penuh kasih sayang." -Ali bin Abi Thalib- **** Adela melipat kedua tangannya di depan d**a. Tidak mau sama sekali menoleh ke arah Rayhan yang saat ini tengah duduk di pinggiran kasur. Pria itu sudah berapa kali membujuk dan meminta maaf pada Adela mengenai dirinya yang tidak sengaja ingkar janji, namun Adela tetap saja tidak memberinya maaf. Rayhan mengusap wajahnya, bingung sekaligus heran. "Saya minta maaf, tadi saya buru-buru, adik saya sudah tiba di Bandara tapi tidak ada yang menjemput." Adela mendelik tidak suka. "Adik kamu umurnya lima tahun, huh? Kok sampai gak bisa pulang sendiri, kan jaman sekarang canggih, gak ada becak, ada angkot, gak ada angkot, masih ada taksi," balasnya asal. Rayhan menghembuskan napasnya panjang. "Iya, saya salah. Saya minta maaf. Lain kali saya janji akan menempati janji saya." "Alah! Aku gak mau lagi pegang janji kamu. Lagian aku sudah besar, bisa ke mana-mana sendiri. Jadi gak perlu lagi bikin janji sama aku." "Lain kali saya antar, ke manapun." "Anter saya ke neraka mau?" Rayhan langsung mengangkat kepalanya, matanya sedikit melebar--kaget dengan ucapan Adela. "Huts ... ngomongnya ...!" Lantas menggelengkan kepala. "Kamu lagi PMS, ya? Kok lebih sensi dari biasanya. Saya sampai bingung gimana membuat mood kamu baik lagi." "Gak perlu." "Saya belikan es krim?" "Gak!" "Saya belikan cake?" "Gak!" Rayhan mengerutkan dahi, seraya berpikir lagi. "Saya belikan baju?" Belum sempat Adela menolaknya, Rayhan lebih dulu memotong. "Saya belikan boneka, sepatu, tas? Apa aja deh yang kamu mau." Adela terdiam beberapa saat. Akal kancilnya berpikir keras untuk mengerjai Rayhan kembali. "Hm ... aku mau dipetikin mangga, langsung dari pohonnya. Tuh pohonnya ada di depan rumah tetangga." Rayhan terbelalak. Adela bercanda? "Kamu mengidam?" "Sembarang!" desis Adela. "Memangnya siapa yang mehamili? Aku belum buka segel!" "Alhamdulillah," ucap Rayhan, kemudian menghela napasnya. "Mau dimaafin gak?" "Iya mau." "Ya sudah, ayo kamu petik mangganya sekarang. Karna aku baik, aku temani deh memetiknya." Rayhan menghentikan Adela yang ingin beranjak. "Sudah malam, besok aja." "Gak bisa. Kalau besok, maaf kamu gak diterima," balasnya santai, sesantai mungkin. Ditambah dengan ekspresi tanpa dosanya. "Iya, oke. Saya petikin mangganya, sekalian sama batang pohonnya!" celetuk Rayhan sedikit kesal kedengarannya. Adela menahan tawanya. Ekspresi CEO sedang menahan marah rupanya begini, batin Adela. **** Rayhan dan Adela sama-sama mendongak ke atas, melihat tingginya pohon mangga yang ada di hadapan mereka. Setelah mendapat izin dari sang empu buah, barulah Rayhan berani memetik buah mangganya. "Ayo panjat, nunggu apa lagi? Katanya berani manjat pohon, segini mah kecil. Iyakan?" tantang Adela. Rayhan menatap Adela beberapa saat. Kalau saja tidak sayang, tidak akan mau Rayhan di suruh memanjat malam-malam begini. "Untung saya sayang kamu, Adela," gumam Rayhan sebelum memanjat pohon. Adela yang jahilnya tidak tertolong itu segera mengabadikan aksi sang CEO yang tengah memanjat pohon menggunakan kamera ponselnya. "Ngapain kamu foto saya, Adela? Ini gak lucu!" protes Rayhan yang nampak tak terima dirinya diabadikan. Adela menjulurkan lidahnya. "Suka-suka aku dong. Udah gak usah protes, panjat dan petik yang bener!" Rayhan menghela napasnya. "Mau berapa biji? Cepetan, saya digigit serangga terlalu lama di atas." "Tiga aja cukup." Setelah memetik tiga mangga, Rayhan kembali menghampiri sang empu buah, dan berterima kasih. Sesampainya mereka di rumah, Rayhan meletakkan mangga hasil petikannya tadi di atas meja makan. Lantas beranjak menuju kamar mandi untuk membasuh tangannya yang sedikit kotor dan kena gigitan serangga tadi. "Besok aja mengupasnya, malam-malam gini gak baik makan buah mangga, nanti sakit perut," tegur Rayhan pada Adela yang tengah menyiapkan wadah lantas mengambil pisau. Adela bergeming, dia tetap mengupas mangga mudanya. Rayhan menggelengkan kepala. Tidak mau berdebat lagi, Rayhan berniat ke ruang kerjanya saja. Namun, belum sempat melangkah Adela lebih dulu menahannya. "Siapa suruh kamu pergi? Sini duduk." Menepuk kursi sampingnya. Tanpa bersuara Rayhan hanya menuruti, takut-takut kalau maafnya tidak diterima lagi. Bahaya! "Saya sudah bilang, makannya besok aja. Kalau makan malam kayak gini, bisa sakit perut. Gak baik buat kesehatan perut kamu." "Yang bilang aku mau makan siapa?" Rayhan menaikkan sebelah alisnya. "Aku mau kamu yang makan." Adela menyunggingkan senyum. Tidak merasa berdosa sedikitpun atas ucapannya. "Jangan bercanda kamu Adela. Besok saya ada rapat penting. Kalau saya sakit perut gimana?" "Gak bakal sakit perut. Percaya sama aku. Nih makan." Adela menyuruh Rayhan memakan potongan mangga yang sudah dia iris kecil. Rayhan menggeleng cepat. Dia tidak bisa mengambil risiko. "Saya gak bisa. Besok saya ada rapat penting." "Ya sudah, maaf kamu gak diterima." Adela memundurkan kursi, berniat beranjak dari tempat duduknya. "Iya, oke, saya makan. Kamu tetap duduk." Senyum Adela mengembang. "Gitu dong. Aku jadi bahagia." "Iya apapun yang buat kamu bahagia akan saya lalukan." Lantas memakan potongan mangga muda yang rasanya begitu asam tersebut. Mimik wajah Rayhan berubah seketika. Pria itu langsung meminum air putih untuk membantunya menelan sisa mangga muda yang masih ada dalam mulut. "Sedikit aja, ya," pinta Rayhan. Adela tidak menyahut, dia asik memperhatikan ekspresi Rayhan. "Maaf kamu aku terima. Besok-besok jangan nyebelin lagi kalau gak mau aku marah." Sebelum beranjak, Adela menyempatkan diri mengusap lengan Rayhan, lantas bergumam, "Yang sabar ya kalau jadi suami Adela. Dapat pahala kok." **** Jam tiga malam, Rayhan mulai merasa ada yang tidak beres dengan perutnya. Tidur nyenyak dalam posisi ternyaman tiba-tiba lenyap dalam sekejap. Gejolak pada perutnya membuat rasa kantuk Rayhan hilang entah ke mana. Rayhan pikir dengan menahan gejolak pada perutnya, membuatnya kembali tertidur dengan nyenyak, namun nyatanya semua itu hanya ada dalam mimpinya. Keringat dingin membasahi daerah pelipis dan lehernya. Segera pria itu beranjak dari tempat tidur, menuju kamar mandi. Setelah sepuluh menit berada di dalam, Rayhan keluar dengan perasaan sedikit lega. Lantas kembali berbaring, menempatkan diri dalam posisi nyamannya. Baru saja matanya tertutup, gejolak itu lagi-lagi datang. Sangat menganggu, hingga membuat pria itu kembali beranjak dari tempat tidur. Ini kali kedua Rayhan memasuki kamar mandi, untuk memenuhi hajat yang kian di ujung tanduk. "Adela ... Adela," panggil Rayhan setelah keluar dari kamar mandi. Wajahnya sudah berubah, sedikit memucat. Keringat dingin masih setia membasahi daerah pelipis dan leher, atau bahkan sudah merambat sampai ke punggung. Adela merasa ada yang mengganggu tidurnya pun mendesis kesal. Wanita itu tidak berniat bangun, hanya mengubah posisi tidurnya saja. "Adela ... tolong buatkan saya teh hangat. Perut saya tiba-tiba sakit," ujar Rayhan kembali, kini sambil menggoyangkan pelan lengan Adela, agar wanita itu segera bangun. "Apa, sih?!" desis Adela nampak tak suka dengan gangguan yang ditimbulkan oleh Rayhan. "Buatkan sana teh hangat. Sebentar aja. Perut saja sak--" Belum sempat Rayhan menyelesaikan ucapannya, pria itu kembali melangkah lebar menuju kamar mandi. Ini yang ketiga kalinya. Adela yang tadinya begitu mengantuk, mau tidak mau akhirnya membuka mata juga. Dia menoleh ke arah pintu kamar mandi yang tertutup. Rasa tak tega mendominasi diri, bagaimana mungkin Adela masih tetap dalam posisi nyamannya sedangkan sang suami sedang kesakitan? Dengan mengikat rambutnya asal, Adela beranjak dari tempat tidur, menuju dapur. Usai membuatkan teh hangat, Adela kembali ke kamarnya. Dia melihat ke arah Rayhan yang tengah duduk di pinggiran kasur, sambil memegangi perutnya. Adela dapat melihat wajah pucat sang suami, rasa iba itu muncul begitu saja. "Ini teh hangatnya, diminum dulu." Rayhan mengangguk, lantas meminumnya sedikit. "Tolong ambilkan minyak angin di dalam laci nakas. Atau kamu punya obat pereda sakit perut?" Adela menggeleng, setelah itu beranjak menuju nakas. Diambilnya dengan segera minyak angin yang Rayhan maksud. "Biar aku yang membalurinya." Rayhan hanya mengangguk mengiyakan. Dia mengambil posisi berbaring. Dengan sedikit ragu, Adela menyingkap sedikit kaos Rayhan. Lantas membalurkan minyak angin ke perut pria itu. Tangan kanan Adela sedikit gemetar saat membalurkan minyak tersebut, Rayhan dapat merasakannya, namun lebih memilih diam saja. Lamunan Adela buyar ketika Rayham kembali bangun dari posisinya, kembali masuk ke dalam kamar mandi. "Astaga, apa sebegitu sakit?" tanya Adela sambil menggigit bibir bagian bawahnya. Apa sekarang dirinya harus meminta maaf atas perlakuan konyolnya tadi malam? "Arghhh ... mana besok dia ada rapat penting!" ringis Adela semakin merasa bersalah. **** Adela terjaga hingga pagi, memastikan kalau Rayhan baik-baik saja. Pria itu baru bisa tidur kembali setengah sholat subuh. Adela salut, dalam keadaan sakit pun Rayhan masih saja menyempatkan diri melakukan kewajibannya. Sekarang, Rayhan bukan hanya sakit perut, tapi juga demam. Badan pria itu tiba-tiba saja panas, dan katanya kepala pria itu juga pusing. Astaga! Ini semua gara-gara kamu, Adela! Terkutuklahhhh! Adela mengambil handur untuk mengompres Rayhan. Rasa bersalahnya semakin menjadi-menjadi. Alhasil, gara-gara ide sialannya tadi malam, Rayhan tidak bisa masuk kantor dan memimpin rapat penting. "Memang bodoh kamu, Adela!" batinnya menyumpahi diri sendiri. Semoga saja Allah mengampuni dosa-dosanya, dan tidak memecat dirinya sebagi hamba, pikir konyol Adela kemudian. Rayhan menahan tangan Adela yang akan beranjak. "Terimakasih," ucapnya terdengar begitu tulus. Adela bingung harus membalas apa. "I-iya. E-eh enggak, harusnya aku yang minta maaf ... iya, aku minta maaf. Ini semua salah aku." Rayhan tersenyum tipis, kemudian menggeleng pelan. "Hubungi Bram, bilang; tolong handle rapat hari ini. Keadaan saya tidak memungkinkan untuk masuk kantor dan memimpin rapat." Adela mengangguk cepat. "Kata sandi ponsel saya tanggal lahir saya." "Berapa tanggal lahir kamu, bulan sama tahunnya juga berapa?" tanya Adela kemudian. "Sama seperti tanggal dan bulan lahir kamu, hanya tahunnya yang beda. Saya tahun sembilanpuluh." Adela menaikkan sebelah alisnya. Lantas memasukkan kata sandi 041190, dan terbuka. "Kok bisa samaan?" bingung Adela dalam hati. Setelah menghubungi Bram, Adela segera menuju dapur untuk membuatkan bubur. Ya paling tidak, Adela dulu pernah sekali membuat bubur, walaupun nampak gagal. Hari ini dia akan mencobanya kembali. **** TERIMAKASIH SUDAH MENUNGGU DAN MEMBACA CERITA RAYHAN DAN ADELA:) Jangan lupa tap love dan komen. Salam manis, Novi❤
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD