Part 7

1293 Words
Saya tidak tahu ilmu apa yang kamu gunakan hingga membuat akal saya sedikit kurang baik. **** Adela menggigit bibir bagian bawahnya. Sedari tadi dia sudah dibuat gelisah--bagaimana cara meminta izin pada sang suami agar diperbolehkan berangkat ke Bandung bersama Zafina. Adela sudah menyiapkan sarapan dan pakaian kerja untuk Rayhan. Perhatian itu semata-mata hanya untuk sebuah izin. Berdosa tidak, sih? batin Adela--meringis. Pintu kamar mandi terbuka. Adela yang sedaritadi duduk di pinggiran kasur, langsung menegakkan tubuhnya. Menatap bingung dan canggung. Pemandangan seperti ini sudah tiga kali dia temui--Rayhan hanya menggunakan handuk yang dia lilitkan dipinggang. Menampilkan kesan seksi dan hot dengan perut yang terbentuk sempurna. Bodohnya, Adela pernah membayangkan meraba roti sobek itu. Ya ampun Adela, tolong dikondisikan sedikit otak horrornya. Jangan sampai bikin malu. Rayhan menaikkan sebelah alisnya--tumben sekali Adela menunggunya sampai selesai mandi. "Ada apa, Adela? Ada yang ingin kamu omongin sama saya?" Adela semakin gelagapan. Gugup sudah mendominasi dirinya. "Ah ... anu, Mas Rayhan ... sebenarnya aku mau minta izin. Iya, minta izin," ucapnya terbata-bata. Rayhan melangkah mendekati Adela. Ah, tolong berdiri di sana saja. Takutnya Adela semakin tak bisa berbicara. "Minta izin apa? Kalau izin buat bercerai, maaf saya gak bisa." Mata Adela terbelalak. "Eh--enggak kok ... enggak. Siapa juga yang mau bercerai!" gumamnya pelan di akhir kalimat. Rayhan menyunggingkan senyum. "Oh sudah gak mau bercerai, ya. Baguslah." "Aku mau ke Bandung sama Zafina. Boleh, ya?" Rayhan menautkan alis. "Melihat perkembangan salah satu cabang rumah makan punya Zafina yang ada di Bandung." "Menginap?" Adela terdiam, nampak berpikir. "Kalau menginap gak saya izinkan." Rayhan berucap lebih dulu daripada Adela. Wanita itu mendesis kesal. "Tapi kan aku mau nemenin Zafina, kesian tau dia sendirian," balasnya sambil memajukan bibir. "Saya juga sendirian." "Ish, tapikan nanti malam ada Ayah, Mbok Jum juga gak ke mana-mana, ada di rumah terus." Rayhan mengangkat sebelah bahunya. "Gak mungkin saya tidur sama Ayah kamu, apalagi sama Mbok Jum." Kemudian bergidik ngeri. "Bahaya, Adela." Adela yang tadinya merasa kesal, malah dibuat tertawa dengan ekspresi Rayhan--yang menurutnya lucu. "Yang nyuruh kamu tidur sama Ayah atau Mbok Jum siapa? Ya udah iya, nanti aku pulang malam." Senyum Rayhan mengembang. "Saya tunggu." Adela mengangguk, kemudian berniat beranjak. Namun, dengan cepat Rayhan mencegahnya. "Apa lagi? Nanti aja ngomongnya, kamu pake baju dulu!" Adela melirik ke arah handuk Rayhan. "Melorot nanti baru tahu rasa!" Sebelah sudut bibir Rayhan terangkat. "Gak pa-pa, kalau melorot yang lihat punya saya juga cuman kamu," goda Rayhan. Adela melebarkan matanya, tanpa dia sadar tangannya mencubit gemas perut Rayhan--dengan pipi merona. "Oh sekarang berani nyubit-nyubit saya? Mau saya pelorotin sekarang?" Rayhan berpura-pura mengambil ancang-ancang ingin memelorotkan handuknya. "Enggaaaaaakkkk!" Adela menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. "Mata aku masih polos ya Pak Ustadz, jangan dikotorin sama otak m***m kamu dong!" rengek Adela masih dalam posisinya menutup wajah. Rayhan terkekeh, lantas mengacak rambut Adela gemas. "Saya gak akan pelorotin handuknya ... kecuali kamu yang minta." Adela langsung menurunkan kedua tangannya--wajahnya merona padam. Wanita itu berdecak kesal. "Ya Allah ... mimpi apa aku semalam. Kok pagi ini Pak Ustadz m***m banget! Inget mati Pak ...!" ucapnya sambil bergidik ngeri. Sebelum Rayhan menyahut kembali, segera Adela beranjak dari temoatnya--meninggalkan Rayhan. **** Ketika jam makan siang, Rayhan mengecek ponselnya. Tidak ada satupun pesan atau panggilan dari sang istri--Adela. Padahal tadi pagi sebelum berangkat, Rayhan sudah mengingatkan beberapa kali; 'kalau sudah sampai Bandung telepon atau kirim pesan', dan Adela mengiyakannya. Rayhan putuskan untuk menghubungi Adela--dia mengkhawatirkan wanita itu. "Assalamu'alaikum. Adela, kamu sudah sampai Bandung apa belum?" "Wa'alaikumsalam. Udah, Mas, udah. Alhamdulillah selamat sampai tujuan. Udah dulu, ya, aku lagi makan." "Syukurlah kalau kamu sudah sampai. Saya mencemaskan kamu, kenapa gak menghubungi atau mengirim pesan pada saya?" Terdengar hembusan napas dari seberang sana. Adela memutar bola matanya jengah. "Gak usah lebay deh, Mas. Yang penting aku baik-baik aja. Udah dulu ... assalamu'alaikum." Klik. Wanita itu langsung memutus sambungan teleponnya sepihak. Rayhan menghela napas pelan. "Wa'alaikumsalam." Satu pesan dia kirimkan pada Adela, agar wanita itu selalu berhati-hati dan bisa menjaga diri di sana. Rayhan tahu Adela bukan lagi anak kecil yang harus diingatkan segala hal, namun pria itu tetap saja mengkhawatirkan Adela--wanita yang amat dia cintai setelah ibunya. Bagaimanapun sikap Adela padanya, itu hanya soal waktu. Rayhan yakin, tidak lama lagi wanita itu dapat menerimanya sebagai seorang suami sebagaimana mestinya. Rayhan beranjak dari kursi kebesarannya, keluar dari ruangan pribadi menuju kantin kantor diikuti oleh Bram--sekretaris pribadi CEO. Rayhan adalah seorang CEO di salah satu perusahaan terbesar di Jakarta yang bergerak di bidang properti--milik sang Ayah. Perusahaan besar ini tidak hanya di Jakarta, namun juga tersebar di beberapa kota besar lainnya, bahkan hingga ke Mancanegara. Bercerita sedikit, Rayhan terlahir berlima bersaudara. Empat orang laki-laki dan satu orang perempuan. Rayhan memiliki dua orang kakak laki-kaki yang kini juga tengah menjabat sebagai seorang CEO di salah satu perusahaan milik keluarganya. Kakak pertama memimpin perusahaan yang ada di Australia bagian Barat, dan kakak kedua memimpin perusahaan yang ada di Perancis. Tidak hanya kakak, Rayhan juga memiliki dua orang adik. Satu orang adik laki-laki yang tengah mengenyam pendidikan di salah satu universitas terbaik dunia--Harvard University, dan satu orang adik perempuan yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas kelas dua belas. Usai makan siang bersama Bram, Rayhan kembali ke ruangannya. Pria itu memijat pelipisnya--entah kenapa kepalanya sedikit terasa sakit. Tak lama kemudian Bram masuk--setelah beberapa saat mengetuk pintu. Bram ingin melaporkan mengenai nyonya besar--yang tak lain dan tak bukan adalah Adela. "Bos ... saat ini nyonya Adela sedang berada di pusat perbelanjaan. Mereka berbelanja baju, sepatu, alat makeup, dan terakhir sebelum pulang mereka makan di salah satu restoran yang ada di sana." Rayhan mengangguk. "Terus awasi mereka." Bram mengangguk. "Terimakasih, Bram. Silakan kembali ke ruangan kamu." Bram kembali mengangguk, lantas beranjak menuju ruangannya. Rayhan memutar kursi, membelakangi meja kerjanya. Tanpa sepengetahuan dari Adela, Rayhan telah mengirim dua orang kepercayaannya untuk mengawasi serta menjaga Adela dan Zafina di sana. Tidak ada maksud lain, Rayhan hanya mengkhawatirkan kedua wanita itu. Dari layar tabletnya, Rayhan dapat melihat ke mana saja Adela dan Zafina mampir. Beberapa foto dengan begitu jelas berhasil diambil oleh salah seorang kepercayaannya. **** Usai makan malam, dan berbincang bersama sang Ayah mertua, kini Rayhan sedang berada di ruang kerja untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan. Pandangan Rayhan fokus pada layar laptop canggih di hadapannya, dengan jemari yang begitu lincah bergerak di atas keyboard. Tak jarang Rayhan lebih memilih membawa beberapa pekerjaan untuk dia selesaikan di rumah. Bekerja sampai larut malam, bukan hal baru baginya. Pria gagah itu melirik jarum jam yang berada di pergelangan tangannya--jarum itu menunjuk ke arah angka sepuluh. Kenapa Adela belum kembali juga? batinnya. Rayhan memijat pelipisnya. Segera dia mengambil tablet, mengecek keberadaan kedua wanita itu. Dari pengawasannya, terlihat saat ini Adela dan Zafina sedang dalam perjalanan pulang. Masih ada 27 kilometer yang harus mereka tempuh--mungkin kurang lebih tiga puluh menit lagi kedua wanita itu tiba. Rayhan: Jangan mampir ke mana-mana lagi, langsung pulang saja. Saya menunggu kamu di rumah. Tidak lama, Rayhan mendapat balasan dari pesannya. Adela: Iya, bawel. Seulas senyum nampak pada bibir Rayhan. Rasanya sudah tidak sabar menunggu kedatangan sang istri tersebut. Seharian tidak bertemu, rasanya sudah kangen saja. Beginikah rasanya jatuh cinta? Kenapa begitu menyenangkan? Lamunan singkat Rayhan buyar ketika ponselnya bergetar, tanda masuknya sebuah pesan. Adela: Mau dibawakan makanan apa? Rayhan menaikkan sebelah alisnya. Benarkah pesan ini istrinya yang mengetik? Rayhan patut mencurigainya, sebab Adela tak pernah seperhatian itu sebelumnya. Rayhan: Tidak perlu. Bawakan cinta kamu saja saya sudah senang. Ketika pesan itu terkirim, Rayhan begitu penasaran bagaimana ekspresi Adela setelah menerima balasan pesannya tersebut. Yang Rayhan bayangkan, pasti saat ini wanita itu tengah mendesis kesal sambil mengerucutkan bibir. Ah ... menggemaskan. Percayalah, wanita bar-bar dan keras kepala tersebut mampu membuat CEO secerdas dan setampan Rayhan hilang akal. **** TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA CERITA RAYHAN DAN ADELA:) Jangan lupa tap love dan komen yaaaa..... Salam manis, Novi❤
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD