Bab 5 Hutan

1036 Words
Enam tahun yang lalu. Aroma tanah segar khas datangnya hujan menguar di udara. Gerimis rintik tengah mengiringi derap langkah seorang gadis berusia sebelas tahun. Dengan gaun putih yang terbalut sempurna di tubuhnya yang mungil, rambut berwarna cokelat hazel yang dikepang bak Putri Rapunzel, serta seulas senyum menggemaskan yang tidak lepas dari sudut bibir, gadis itu sedang berlari dengan riang di taman mansion kediamannya yang luas. Kedua tangannya menjinjing rok gaun mengembang yang ia kenakan, masih dengan tawa renyah yang mengiringi setiap langkah. Gadis itu tidak menghiraukan seluruh tubuh dan gaunnya yang terbasahi oleh air hujan. Sepasang kakinya menyusuri taman yang ditumbuhi bunga-bunga tulip yang menyejukkan mata. Namun, ia tidak sedang berlari seorang diri. Terdapat seorang anak laki-laki berusia dua belas tahun yang tengah mengejarnya dari belakang. Ya, usia mereka memang hanya terpaut satu tahun. Puk! Sebuah botol plastik kecil tiba-tiba menimpuk dan mendarat mulus di kepala cantik gadis bergaun putih itu dari belakang. Gadis itu pun menghentikan langkah dengan bibir mengerucut dan alis mata bertaut. Membalik tubuh ke belakang, netra gadis itu menatap tajam pada seorang anak laki-laki yang memang gemar menimpuk kepala cantiknya. "Sampai kapan kau terus berlari, Latte? Apa kau benar-benar seorang anak perempuan? Mengapa kau tidak punya rasa lelah?" cecar si bocah laki-laki dengan napas terengah. Tubuhnya kemudian membungkuk sembari memegangi kedua lutut yang kelelahan berlari. "Cih! Dan sampai kapan kau akan terus menimpuk kepalaku, Felix? Bukankah cita-citamu adalah menjadi seorang Ksatria Kekaisaran? Mengapa begitu saja kau sudah lelah? Dasar payah!" Gadis itu memutar bola mata jengah. Ya, gadis itu adalah Latte Marie Swan. Sementara bocah laki-laki yang sedang mengejarnya adalah Felix Miller. Mereka memang telah bersahabat sejak kecil. Semua terjadi karena Felix merupakan salah satu putra dari keluarga bangsawan Duke Helios yang tidak lain adalah sahabat dekat Duke Sanchez, ayah kandung Latte. Felix yang selalu ikut dalam pertemuan dua keluarga bangsawan itu, membuatnya sering bertemu dengan Latte dan bermain bersama. Kehidupan Latte saat ini memang terasa sempurna. Selain karena sang ibu yang masih ada serta memiliki sosok sahabat seperti Felix, gadis itu juga disempurnakan dengan kasih sayang serta kemewahan bertubi-tubi dari kedua orangtuanya. Ya, itu semua karena Duke Sanchez masih belum mengenal si wanita rubah, Esmeralda. "Aku tidak akan berhenti berlari sebelum kau berhasil menangkapku, Felix. Cepat kejar aku, dasar payah!" jerit Latte dari kejauhan seraya menjulurkan lidah untuk mengejek tetapi justru terlihat menggemaskan. Di detik berikutnya, gadis itu kembali berbalik dan berlari. Felix berdecak sebal. Namun, bocah itu tetap mengejar Latte dari belakang. Ia takut jika Latte membuat ulah seperti yang telah sering dilakukan. Bahkan, baru satu minggu yang lalu Latte bermain-main dengan sihir air-nya di danau dan membuat air danau itu hampir kering. Beruntung Felix segera menghentikan dan membereskan semua masalah yang Latte perbuat. Buliran air terus membasahi wajah cantik Latte. Tanpa sadar, gadis itu terus berlari hingga keluar dari halaman mansion mewah kediaman Duke Shancez dan masuk ke dalam hutan. Kepala cantiknya berkeliling dan baru menyadari jika telah berada di hutan kala ia mulai merasa lelah. Gadis itu memutuskan untuk bersembunyi di balik pohon sembari beristirahat. Bibir mungilnya bergumam lirih sembari menyandarkan tubuh di balik pohon besar untuk berteduh. "Dasar Felix payah!" Latte memejamkan mata seraya menghirup dalam-dalam aroma hutan segar yang melebur bersama air hujan. Seluruh tubuh gadis itu perlahan mulai terasa ringan seperti kapas hanya karena menghirup hawa air. Rasa lelahnya perlahan mulai sirna. Ya, sebab Latte adalah seorang penyihir air. Energinya akan terkumpul hanya karena merasakan senyawa air yang menerpa tubuh. Berbanding terbalik dengan Felix yang merupakan penyihir api. Energi bocah laki-laki itu justru akan melemah di saat hujan seperti ini. Bagaikan api yang redup karena terguyur air. Sebab itulah Felix kalah dan tertinggal di belakang. Saat masih memejamkan sepasang kelopak mata dan merasakan hawa air, Latte tiba-tiba mendengar suara angin yang beradu dengan semak. Sontak, gadis itu berjungkit terkesiap. Dengan gerakan cepat ia membuka mata dan menoleh ke sumber suara. Latte mengernyit dan memutuskan untuk beranjak berdiri. Langkah kakinya tertuntun untuk mencari dan melihat apa yang terjadi. 'Apakah ada seekor rusa yang sedang terjebak? Atau mungkin kelinci hutan lucu yang sedang tersesat?' Latte sibuk menerka dalam hari seraya terus berjalan menghampiri. Ketika telah sampai di sekitar sumber suara, Latte mulai mengedarkan pandangan. Namun, tidak ada apapun di tempat itu. Tak lama, ekor mata gadis itu justru menangkap tubuh seorang laki-laki yang terbaring di atas rerumputan dan di bawah pohon pinus, tidak jauh dari tempatnya berdiri. Tentu saja hal itu membuat Latte melebarkan mata bulat-bulat. Gadis itu berjalan mendekat dan melihat seorang laki-laki berusia sebaya dengan Felix yang terbaring lemah tidak berdaya dan sekujur tubuh basah kuyup. Melipat kedua kaki, Latte duduk berjongkok dan memandangi wajah bocah laki-laki tersebut. Jari telunjuknya mengguncang pelan tubuh laki-laki itu berusaha untuk membangunkan, "Hey, bangunlah!" Tidak ada respon. Latte kemudian menyentuh telapak tangan laki-laki itu untuk merasakan sihir apa yang terkandung di dalam tubuh si bocah laki-laki. "Ah, ternyata kau penyihir api." Gadis itu bermonolog masih dengan memegangi telapak tangan laki-laki yang memejamkan mata. "Hei, apakah kau sedang kehabisan energi? Apa yang terjadi denganmu sebelumnya hingga kau jadi lemah seperti ini?" Latte kembali bermonolog dan bertanya-tanya sendiri walaupun ia tahu tidak akan mendapat jawaban dari sosok yang sedang tidak sadarkan diri. Tangan mungil Latte semakin mempererat genggamannya. Ia berusaha menyalurkan energi sebagai seorang penyihir air untuk mencoba menolongnya. Padahal, kekuatan gadis itu masih jauh dari kata sempurna karena ia tidak rajin berlatih dan lebih senang bermain-main. Sekian menit telah terlewati. Namun, laki-laki itu masih tetap memejamkan mata. Sepertinya usaha Latte sia-sia. "Oh astaga! Seharusnya aku menuruti kata Papa untuk terus berlatih. Melakukan hal seperti ini saja aku tidak becus. Haissh, dasar tidak berguna!" Latte menggerutu frustrasi sembari memukul-mukul ringan kepalanya sendiri dengan genggaman tangan mungilnya. "Tunggulah di sini! Aku akan memanggil Felix agar dapat menolongmu." Lagi dan lagi Latte berbicara sendiri. Latte beranjak bangkit dan segera membalik tubuh untuk pergi meninggalkan bocah laki-laki yang masih tergeletak di atas tanah dan rerumputan. Gadis itu berlari terbirit-b***t untuk memanggil Felix yang tertinggal entah di mana. Namun, saat Latte telah pergi menjauh, punggung tangan laki-laki itu perlahan mulai bergerak. Energi yang diberikan oleh Latte mulai tersalurkan, tanpa ada seorang pun yang tahu. Sepasang kelopak mata pun terbuka dan menampakkan iris berwarna biru sebiru sapphire yang indah. Bibirnya menggeram lemah, "Si-siapa gadis itu?" ~~~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD