Bab 6 Hutan 2

1107 Words
Perlahan, hujan telah mereda. Namun, langkah kaki Latte masih belum berhenti dan terus berlari. Gadis itu berlari terbirit-b***t menuju mansion kediamannya. Belum sempat masuk ke dalam halaman mansion yang megah, bola mata Latte berbinar kala melihat Felix yang sedang berdiri di depan tembok tinggi pembatas antara mansion dan hutan. Sepasang iris mata hijau Felix bersirobok pada sosok gadis yang sejak tadi ia cari. Felix mengernyit melihat Latte yang tengah berlari dari arah hutan. Menggeleng pelan, laki-laki itu kemudian mengembuskan napas jengah lantaran tidak ada hentinya Latte membuat ulah. Pasalnya, Duke Shancez telah melarang gadis itu untuk memasuki wilayah hutan semenjak kejadian air danau yang dibuatnya hampir surut. "Mengapa hukuman Duke Sanchez tidak pernah membuatmu jera, ha?" geram Felix saat Latte telah berdiri di hadapannya. Latte sejenak mengambil napas dalam-dalam. Ia masih terengah-engah karena usai berlari kencang. Jemarinya kemudian menunjuk-nunjuk ke arah hutan. Namun, lidahnya terasa kelu lantaran kelelahan. Sedangkan Felix hanya mengernyitkan kebingungan. "Apa yang sedang kau lakukan? Apa kau usai membuat masalah lagi di hutan? Apa kau bermain-main dengan sihirmu lagi seperti sebelumnya?" Felix menerka. "Tidak!" Latte menjawab dengan cepat sembari menggeleng serius. "Lalu?" Felix kembali mengernyit. "Ada seseorang anak laki-laki yang terbaring di hutan. Tolong dia, Felix! Sepertinya dia memiliki usia yang sama denganmu! Atau mungkin dia adalah temanmu?" cecar Latte polos menyimpulkan sendiri seraya menggaruk pipinya yang tidak gatal. Di detik berikutnya, Latte kembali tersadar dan kembali menampilkan raut wajah serius. Dengan cepat Latte menyambar pergelangan tangan Felix untuk menariknya. Gadis itu menuntun Felix dan berjalan masuk ke dalam hutan. Sedangkan Felix yang tiba-tiba ditarik menjadi terkesiap dan hampir tersandung. Hujan telah terang. Latte dan Felix masih berjalan menyusuri hutan. Namun, bola mata Felix berkeliling dan sama sekali tidak melihat apapun seperti yang dikatakan oleh Latte, "Awas jika kau membohongiku." Felix mendesis datar. "Diamlah, Felix! Mengapa kau sungguh banyak bicara seperti ibu-ibu pelayan dapur? Aku tidak sedang berbohong. Apa gunanya berbohong padamu." Latte membela diri sedangkan Felix hanya menanggapi dengan memutar bola mata malas. Hingga akhirnya, sampailah mereka berdua di tempat Latte meninggalkan laki-laki yang tergeletak tidak sadarkan diri. Namun, manik mata berwarna perak Latte seketika membulat sempurna. Tidak ada siapapun di sana. Laki-laki itu sudah pergi. Latte kebingungan dan cecelingukan sendiri mencari sosok yang terbaring tadi. Sementara Felix mulai menyipitkan mata dan menatap Latte dengan lekat. Ia meneliti setiap gerak-gerik gadis yang memang selalu membuatnya tidak tenang. "Apa kau sudah puas mengerjaiku?" Felix mendesis dengan kedua tangan bersedekap di depan d**a. Latte tersentak dan semakin membulatkan mata, "Tidak! Aku tidak sedang mengerjaimu. Sungguh!" jawab Latte dengan wajah yakin. "Cih! Kapan kau akan berhenti membuatku khawatir, Latte?" Jemari Felix tiba-tiba terulur dan menjewer telinga Latte hingga menariknya menuju jalan pulang. Latte sontak memekik dengan kedua tangan yang seketika memegangi daun telinga, takut jika daun telinga itu terlepas meninggalkan gendangnya. Suara pekikkan gadis itu sontak menggema di dalam hutan. Latte terpaksa ikut berjalan pulang bersama Felix karena terbawa oleh jeweran telinga yang memang sering ia terima. Latte menjerit dan meronta di sepanjang perjalanan pulang. "Lepaskan aku, dasar Felix bodoh!" Hening. Tidak ada lagi dua bocah yang sebelumnya menimbulkan keributan di dalam hutan. Namun, diam-diam terdapat seorang laki-laki yang sedang bersembunyi di balik pohon pinus yang menjulang tinggi. Dengan wajah yang masih terlihat lemah, sebelah tangan laki-laki itu mengepal di depan d**a sembari menahan rasa sakit bukan main. Dia adalah sosok laki-laki yang terbaring tadi. Kini, kedua kelopak matanya telah terbuka dan memperlihatkan iris mata indah berwarna biru yang menghiasi wajahnya yang datar meskipun sedang menahan rasa sakit. Ya, itu adalah sebagian isi dari kotak pandora seorang gadis bernama Latte. Sebuah kotak yang menyimpan banyak kepingan puzzle masa lalu yang masih saling berserakan. Rahasia-rahasia itu masih tersimpan rapat di dalam kotak tersebut. Namun, pasti akan ada saatnya di mana satu persatu isi dari kepingan puzzle itu keluar dan menunjukkan gambaran aslinya. ~~~ Sembilan tahun kemudian. Di sebuah hamparan rumput luas yang terletak tidak jauh dari Pasar Dante, terdapat seorang gadis yang tengah menautkan kedua alis setelah baru saja terbebas dari para bandit yang hampir membunuhnya. Ya, gadis itu adalah Latte yang kini berusia tujuh belas tahun. Rahang Latte mengetat dengan kedua alis mta bertaut, merasa sangat kesal. Gadis itu kemudian berlari untuk kembali ke Pasar Dante, tempat sebelumnya ia menunggu Felix. Sesampainya di Pasar Dante, kedua kakinya berjinjit-jinjit mencari keberadaan Felix di tengah keramaian para penduduk yang berlalu-lalang dengan pakaian Eropa abad pertengahan. Bola matanya berbinar cerah kala menemukan sosok yang ia cari. Felix sedang berdiri dan membawa sebuah minuman jelly di tangannya. Pandangan pria tampan bernetra hijau itu lantas bersirobok pada Latte yang sedang melambai-lambaikan sebelah tangan di tengah keramaian. Mengembuskan napas dalam, Felix merasa lega karena sejak tadi lelaki itu memang sibuk berkeliling hanya untuk mencari Latte. Setelah merasa lega, guratan kesal timbul di wajahnya. Latte bergeming sejenak saat merasakan detik-detik kemarahan Felix yang akan menimpanya. Tentu saja Latte sudah hapal betul perihal sifat pria tersebut. Namun, gadis itu tetap berlari untuk menghampiri. Latte kini telah berdiri tepat di hadapan Felix yang memasang wajah datar dengan minuman jelly di tangannya. "Bukankah aku sudah menyuruhmu untuk menungguku?" Sebuah bibit-bibit kemarahan terlihat di wajah datar Felix. Latte mengambil napas dalam dan mengembuskannya secara perlahan untuk membebaskannya dari rasa kelelahan, "Maafkan aku, Felix! Tapi dengarkan aku dulu! Baru saja aku bertemu dengan kelompok bandit yang sedang kau cari. Salah satu dari mereka telah menjatuhkan permen gulaliku asal kau tahu. Bahkan, mereka juga hampir saja membunuhku. Apakah kau tidak marah? Ayolah, kau harus marah, Felix! Mereka baru saja mengayunkan pedang pada satu-satunya sahabat perempuanmu ini!" cerocos Latte panjang lebar. Felix hanya bergeming. Seraut wajah datar masih dipersembahkan oleh Felix. Pria itu sudah seringkali mendengar tipuan dari gadis di hadapannya. Jemari tangan Felix tiba-tiba terulur dan memberi sebuah jeweran telinga pada gadis berjubah hijau di depannya. Ya, Felix membawa Latte pergi dengan jeweran kuping layaknya seorang gadis kecil untuk kesekian kalinya. Latte pun meronta dengan cacian yang sontak keluar dari mulutnya. "Lepaskan aku, dasar Felix bodoh! Mengapa kau selalu tidak percaya padaku?" Latte memekik dan membuat beberapa penduduk pasar menoleh ke arahnya. "Dan mengapa kau selalu membuatku khawatir?" Felix berujar dengan nada datar seraya tetap membawa pergi gadis pembuat onar dengan sebuah jeweran telinga. "Hey! Kau akan membawaku ke mana, bodoh? Aku tidak ingin kembali ke mansion karena aku sedang merajuk. Dan mengapa kau suka sekali menjewerku? Apa kau begitu terobsesi pada kupingku? Bagaimana jika kupingku terlepas, Felix?" Latte masih terus memekik dan membuat penduduk pasar semakin memusatkan perhatian padanya. "Diamlah atau aku akan benar-benar membuatnya terlepas!" Gadis berjubah hijau botol itu tetap meronta dengan kedua tangan yang berusaha melepas sebelah tangan Felix, tetapi dengan mudah ditepis seperti seekor lalat di musim panas, "Dasar Felix bodoh! Cepat lepaskan!" ~~~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD