Bab 3 Latte Marie Swan

1327 Words
Sepanjang mata memandang, tampak pepohonan pinus yang tinggi menjulang, rerumputan basah yang membentang, serta kabut tipis yang terbang melayang. Suara tapak kuda kini memburu dan beradu menjadi satu. Seorang gadis berambut cokelat hazel tengah memacu kuda berwarna cokelat tua. Kuda itu berlari menyusuri hutan yang sepi. Sesekali gadis itu menghentakkan tali kekang kuda dengan raut wajah berkerut. Sebab, suasana hatinya memang sedang kalut. Ya, gadis itu adalah Latte yang tengah memacu kuda. Tampak jelas netra perak gadis itu sedang memancarkan guratan kecewa. Sejenak Latte mengambil napas dalam-dalam untuk menghirup aroma hutan serta rerumputan yang segar. Aroma itu menguar dan menenangkan. Setelahnya, sengaja ia mengembuskan napas dengan kasar berharap kecewa yang berdesak-desakan di d**a terhempas di udara. Menghentakkan tali kekang kuda, Latte mengulas senyuman tipis. Air muka kesedihan dan kekecewaan mustahil ia biarkan singgah dan tercetak di wajah cantiknya. Sebab ia adalah Latte Marie Swan; gadis kuat, tangguh, dan penuh semangat. Tak lama berselang, kuda itu berhenti di sebuah tempat yang cukup ramai. Banyak penduduk berlalu lalang dengan pakaian Eropa abad pertengahan. Sepanjang mata memandang, berjejer dagangan-dagangan yang tengah dijajakan. Gadis itu memilih singgah di sebuah pasar ala Romawi Kuno-Pasar Dante-pasar penduduk di Kekaisaran Deltora yang tak pernah sepi. Dengan terbungkus jubah berwarna hijau botol, gadis itu masih menunggang kuda dan menyelusuri Pasar Dante. Puk! Sebuah bola kertas tiba-tiba menimpuk dan mengenai kepala cantik Latte. Sontak gadis itu menoleh ke belakang. Seorang pria tampan tengah berdiri seraya melipat tangannya di depan d**a. Pria itu mengulum senyum saat bola kertas melayang tepat di kepala Latte. Lelaki itu adalah Felix Miller. Seorang Ksatria Kekaisaran Shadow sekaligus sahabat Latte sejak kecil. Felix adalah seorang pria tampan, lembut dan penuh dengan perhatian. Ia selalu menjaga Latte sejak kecil seperti Adik sendiri. "Ck, dasar bodoh!" gumam Latte seraya tersenyum miring. "Turunlah!" perintah Felix dengan senyuman. Latte menghentakkan tali kekang kuda dengan kedua tangannya dan membawa kuda itu ke tepian. Menurunkan tubuh, jemari lentik gadis itu kemudian mengikatkan tali kuda di sebuah pohon agar kuda cokelat tua miliknya tidak pergi kemana-mana. Sementara Felix menunggu Latte di belakang. Hingga tak lama, mereka berdua berjalan beriringan menyusuri jalanan Pasar Dante yang ramai penduduk berlalu lalang. "Apa kau ingin berlatih pedang?" tanya Felix. "Tidak, aku hanya ingin menenangkan pikiran," jawab Latte singkat tanpa senyuman. "Apakah kau usai bertengkar lagi dengan Adikmu, Sofia?" terka Felix. Latte menggeleng. "Dengan Ibumu, Esmeralda?" Felix kembali menerka. Latte tetap menggeleng. "Ah, berarti dengan Ayahmu bukan?" Latte mengembuskan napas jengah, "Ya, dia benar-benar bukan seperti Ayahku lagi. Padahal, dulu pria itu sangat menyayangiku. Hingga akhirnya Wanita Rubah itu datang dan benar-benar mengacaukan segalanya. Bukankah itu sungguh menyebalkan, Felix?" gerutu Latte bertubi-tubi seraya mengerutkan kening. Felix tersenyum, "Tenanglah! Kuyakin Duke Shancez sangat menyayangimu, percayalah!" Cih, menyanyangi apanya? Dia bahkan melemparkanku pada Pangeran Neraka. Sosok yang paling dibenci dan ditakuti di negeri ini. Apakah dia masih pantas disebut sebagai seorang Ayah? gerutu Latte dalam hati. Mereka berdua masih berjalan beriringan. Latte berjalan seraya hanyut dalam lamunan. Tak lama, Felix menoleh ke arah gadis di sampingnya dan mendapati raut wajah Latte yang dipenuhi dengan kegelisahan. Entah apa yang dipikirkan oleh gadis itu. Namun yang jelas, ia tidak suka melihat wajah gadis itu ditekuk. "Apakah kau ingin gulali? Aku akan membelikanmu itu," cetus Felix. "Ya, cepat. Belikan aku itu!" Tanpa berpikir panjang, Latte langsung mengiyakan seraya mengibaskan sebelah telapak tangan agar Felix segera membelikan gulali untuknya. Memang begitulah hubungan mereka berdua. Sudah tidak ada lagi rasa sungkan di antara keduanya. Bagai Kakak dan Adik sungguhan. Hanya dengan Felix, Latte menceritakan semua keluh kesahnya. Begitu pula sebaliknya. Hanya dengan Latte, Felix menceritakan semua keluh kesahnya. Kini, Felix tengah beranjak pergi dan menerobos masuk ke dalam kerumunan untuk membeli permen gulali. Pria itu tahu betul apa yang membuat suasana hati gadis berambut cokelat hazel itu membaik kembali, sesederhana permen gulali. Beberapa menit terlewati, Felix kembali dengan membawa permen gulali merah di tangan. Lelaki itu segera mengulurkan tangannya dan disambut dengan senyuman manis oleh sang gadis yang tengah menunggunya. "Terima kasih," ucap Latte dengan tersenyum ceria seraya menerima makanan manis yang diulurkan oleh Felix. "Tapi kurasa kau telah melupakan sesuatu, Felix," imbuh Latte secara tiba-tiba. Felix mengernyitkan dahi, "Apakah kau juga ingin minuman jelly?" "Bingo!" Latte mengangguk dengan riang. Felix memutar bola mata jengah, "Baiklah. Tunggu di sini, aku akan cepat kembali!" perintahnya seraya melenggang pergi. Sesaat senyuman Latte tergelincir. Gadis itu merasa beruntung memiliki sahabat yang sangat baik dan pengertian seperti Felix. Pria itu selalu menuruti apa yang ia inginkan. Ya, Felix benar-benar memperlakukan Latte seperti adik kandungnya sendiri. Seraya menunggu Felix kembali, kini Latte berdiri di tepi jalanan yang ramai. Sesekali gadis itu mencecap gulali yang ada di tangannya. Rasanya yang manis membuatnya meringis. Ia merasakan lezatnya permen gulali dengan senyuman di wajah. Brukh! Tiba-tiba seorang pria tanpa sengaja menabrak tubuh Latte dari belakang. Permen gulali yang ia bawa seketika terjatuh di tanah. Tanpa sepatah kata yang keluar dari mulutnya, pria itu justru melenggang pergi. Sementara senyuman mengembang yang sebelumnya menghiasi wajah cantik Latte dalam sekejap menghilang. Kedua netranya membeliak dengan kepala menunduk, meratapi jatuhnya sang gulali. Segera ia layangkan tatapan tajam pada pria yang baru saja menabraknya. Seorang pria berperawakan tinggi menjulang dilengkapi balutan jubah hitam terlihat berjalan semakin menjauh tanpa rasa bersalah. Latte menggemeratakkan gigi serta mengerutkan kening. Wajahnya memerah dipenuhi amarah. Bukan Latte namanya jika ia hanya diam. Gadis itu memutuskan untuk mengikuti pria berjubah hitam dari belakang. Namun, karena langkah jenjang pria itu yang terlalu cepat, membuat kaki kecil Latte terpaksa berlari untuk mengejarnya. Latte yang terus mengejar dari belakang tanpa sadar telah keluar dari kerumunan Pasar Dante. Gerak-geriknya sangat mencurigakan. Apakah dia adalah salah satu kelompok bandit pasar yang sedang dicari oleh Felix? gumam Latte dalam hati. Namun, saat tengah bergumam, tiba-tiba pria itu menghilang. Ya, menghilang. Latte cecelingukan mencari keberadaan pria misterius tersebut. Namun, sayangnya sepanjang mata memandang hanya tampak pepohonan pinus yang tinggi menjulang serta rerumputan yang membentang. Latte mengembuskan napas jengah, merasa kesal sebab kehilangan pria tersebut. Namun, tiba-tiba sebuah ujung benda tajam menyentuh leher bagian samping Latte. Benda itu adalah sebuah pedang. Seseorang yang mengayunkannya dari belakang. "Mengapa kau mengikutiku?" Suara yang begitu dalam dan terdengar berat dan seksi keluar dari mulut seseorang di belakang Latte. Anehnya, Latte justru menganggap suara itu sangat seksi. Suara terseksi yang pernah ia dengar. Kadar hormon testosteron pria itu sepertinya cukup tinggi. Oh astaga! Apakah Latte tidak sadar jika ujung pedang sedang menyentuh lehernya? "Gulali. Semua itu karena gulali, Tuan." Latte tersenyum miring kemudian tiba-tiba berbelok untuk menghindari pedang, disusul dengan gerakan kilat berbalik untuk menyerang. Pria yang mengayunkan pedang sedikit terkejut. Namun, malang tak dapat ditolak, dan nasi akan menjadi bubur. Terdapat sebuah batu berukuran cukup besar yang entah sejak kapan bertengger di depan kaki Latte. Hingga akhirnya, gadis itu pun tersandung dan jatuh tersungkur. Namun tampaknya, nasi yang telah menjadi bubur itu telah menghasilkan bubur dengan rasa yang nikmat dan lezat. Latte jatuh tersungkur tepat di atas tubuh pria yang sebelumnya melayangkan pedang. Jubah penutup kepala pria itu terbuka. Latte melihat seraut wajah yang begitu tampan dan tegas seperti matahari, bibir tipis yang memberikan warna cerah di kulitnya yang pucat, serta manik mata berwarna biru sebiru saphire dengan corak indah yang berkilauan. Latte seakan dibawa mengitari galaksi dengan beratus-ratus biliun bintang dari manik mata biru pria tersebut. Oh Tuhan, mengapa tulang selangkanya juga sangat seksi? Jeritan hati Latte saat netranya dengan nakal turun dan menatap leher pria berjubah hitam. Masih menatap lekat setiap detail ukiran di wajah tampan pria di bawahnya, Latte justru bergeming dan menampilkan wajah bodoh. Pria yang sedang ditindihnya seketika menukikkan sebelah alis. "Apa kau belum puas memandangi wajahku?" Latte seketika tersadar dan berjungkit terkesiap. Kedua telapak tangannya menepuk-nepuk pipi untuk menghilangkan pikiran liar yang seketika merasuk di dalam kepala cantiknya. Begitu pula dengan sang pria berjubah hitam yang segera beranjak berdiri dan kembali menangkupkan penutup kepala jubah hitam yang sempat terlepas. Latte mengingat kembali tragedi permen gulali, "Hei, kau pria bodoh! Apa kau tidak menggunakan mata ketika berjalan? Kau telah menjatuhkan permen gulaliku asal kau tahu!" ~~~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD