6. First Impression

1626 Words
Lisa langsung terdiam begitu mengetahui lelaki di hadapannya ini. Seperti yang dibilang oleh dua keponakannya, lelaki di hadapannya ini memang kasep (tampan). Namun, ia tetap tidak mau tahu, siapa dan bagaimana pun lelaki ini, ia telah membuat keponakan kesayangannya terluka. Lisa tidak bisa membiarkannya begitu saja. "Aduh, mana yang luka, Sayang?" tanya Lisa cemas. "Sakit, Bi," keluh Diva pada Lisa sambil menangis. "Duh, kan ceuk urang ge urang weh anu mawa mobilna, Ras. Jadi nabrak anak batur kieu pan," (Duh, kata saya juga saya aja yang bawa mobilnya. Jadi nabrak anak orang gini kan) ucap seorang lelaki yang tiba-tiba menghampiri Faraz dan Lisa. "Yah, namanya juga gak sengaja, Sep. Mana lah saya sengaja nabrak anak orang. Saya nggak sejahat itu juga kali," ucap Faraz membela dirinya. "Ya udah cepet tanggung jawab, bawa ke rumah sakit atau ke puskesmas gitu. Ini ponakan gue kesakitan nih," ucap Lisa emosi. "Atuh geura dibawa aja ka puskesmas yang deket. Rumah sakit mah jauh dari sini, biar diperiksa ku dokter di puskesmas sekalian diobatin," ucap Asep. "Oke, biar Diva saya yang bawa pakai mobil ini," ucap Faraz tegas. Ia pun segera menggendong Diva dengan hati-hati. "Asep, tolong bukain pintunya," perintah Faraz pada sahabatnya Asep yang tadi ikut berada di dalam mobil tahu bulat dengannya. Faraz dan Asep membawa Diva ke puskesmas menggunakan mobil sedangkan Lisa dan Dafa mennyusul mereka dengan menggunakan sepeda. Sepeda Diva yang rusak, Lisa tinggalkan begitu saja. Ia akan meminta ganti rugi nanti pada Faraz. Tadinya Faraz menawarkan agar Lisa dan Dafa ikut di belakang mobilnya, tetapi Lisa menolak. Ia lebih memilih menggunakan sepeda meski jarak yang harus ditempuh menuju puskesmas cukup jauh. === Lisa, Faraz, Asep dan Dafa sedang menunggu di kursi tunggu depan IGD. Diva sedang ditangani oleh dokter yang berjaga di puskesmas. Lisa yang cemas berulang kali bolak-balik duduk dan berdiri. Faraz jengah melihat tingkah Lisa. "Om Kasep kok bawa mobil tahu bulat sih? Om Kasep jualan tahu bulat?" tanya Dafa polos. Faraz hanya tersenyum mendengar pertanyaan Dafa. "Nggak, Om Cuma bantuin Om Asep aja." "Tahu gini mah, saya aja yang bawa, Ras," ucap Asep. Asep memang berjualan tahu bulat di sela-sela waktunya bekerja di perkebunan Abah Ramli. Entah kenapa, hari itu Faraz memaksa Asep agar mengizinkannya membantu menyetir mobil tahu bulatnya. Asep percaya saja, toh selama ini Faraz bisa menyetir mobil dengan baik. Namun, naas hari ini Faraz tak sengaja menabrak Diva. "Makanya kalo gak bisa nyetir yang benar lain kali gak usah bawa mobil, bikin celaka orang aja," celetuk Lisa sinis. Tiga lelaki di sampingnya langsung menatap Lisa. Dafa dengan tatapan polosnya, Asep dengan tatapan herannya sedangkan Faraz dengan tatapan tidak sukanya. "Saya minta maaf. Saya gak sengaja nabrak Diva. Kok kamu kelihatannya susah banget ya nerima permintaan maaf saya?" tanya Faraz heran. "Ck. Ya iyalah. Lo udah bikin ponakan gue sakit. Mana ada bibi yang tega lihat ponakannya kesakitan gitu?" "Terus kamu pikir saya sengaja dan tega lihat Diva kesakitan kayak tadi, hah?!" ucap Faraz dengan nada agak tinggi. Faraz yang awalnya tidak mau peduli dengan tingkah sinis Lisa jadi terpancing juga emosinya. "Ssst, sudah. Kalian berdua teh kunaon jadi berantem gini? Ini teh puskesmas, gak enak atuh dilihat sama orang-orang," ucap Asep melerai Faraz dan Lisa. Faraz dan Lisa lalu mendengus. Lisa bangkit dari duduknya dan berdiri di depan pintu IGD. Tak lama dokter yang menangani Lisa keluar. "Bagaimana Diva, Dok?" tanya Lisa cemas. Dokter perempuan berhijab yang menangani Diva hanya tersenyum. "Alhamdulillah tidak apa-apa, Bu. Tidak ada luka berat dan serius. Diva hanya mengalami terkilir dan beberapa luka di tangan dan kakinya. Insya Allah, dalam seminggu ke depan sudah bisa pulih asalkan banyak istirahat dan tidak terlalu banyak bergerak dulu ya." Semua orang yang tadi menunggu Diva menghela napas lega. "Alhamdulillah," ucap Faraz dan Asep berbarengan. "Silakan, Divanya sudah bisa dilihat dan boleh langsung diajak pulang." "Baik, terima kasih banyak, Dok." Lisa, Faraz, Asep dan Dafa langsung menghamipri Diva yang terbaring di brankar. Lengan kanan dan kaki sebelah kiri gadis kecil itu diperban. "Gimana keadaan kamu, Sayang? Masih sakit?" tanya Lisa khawatir sambil meneliti seluruh bagian tubuh Diva. "Udah mendingan kok, Bi." "Syukur alhamdulillah kalo gitu." "Makasih ya Om Kasep udah nolongin Diva." "Iya, sama-sama, Diva," ucap Faraz sambil menyentuh kepala Diva dengan sayang. "Loh kok kamu malah makasih, Va? Dia kan yang udah nabrak kamu," ucap Lisa kesal. Lisa heran pada Diva, padahal Faraz yang sudah menabraknya, tetapi kenapa Diva malah berterimakasih? Lisa benar-benar bingung dan heran. Apa sekuat itu pesona Faraz di mata kedua keponakannya? Faraz menatap kesal Lisa yang berada di sebrang brankar Diva. Ia benar-benar tak habis pikir dengan Lisa. Lisa terlihat sangat tidak suka dengannya. Baru kali ini ada perempuan yang bersikap jutek pada Faraz. Pertemuan pertamanya dengan Lisa berkesan buruk bagi Faraz. "Iya kan Om kasep udah nolongin bawa Diva ke puskesmas, Bi. Lagian tadi emang sepeda Diva yang gak bisa direm, jadi gak sepenuhnya salah Om Kasep juga," ucap Diva pelan. Faraz menyeringai mendengar penjelasan Diva. Ia merasa terselamatkan dengan penjelasan dari Diva. "Tuh kan kamu dengar sendiri, memang sepeda Diva juga remnya blong. Jadi berhenti nyalahin saya sepenuhnya atas kejadian ini ya," ucap Faraz tegas sambil menatap Lisa tajam. Lisa hanya mendengus tidak suka mendengarkan pembelaan diri Faraz. "Sudah kalian teh jangan berantem terus, malu atuh dilihatin Diva sama Dafa." "Sep, tunggu di sini dulu ya, saya mau bayar administrasinya dulu." "Oke, Ras. Siap." Faraz meninggalkan ruangan IGD dan menuju bagian administrasi. Setelah beres, Faraz dan Asep mengantarkan Diva pulang ke rumah. === "Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumussalam," ucap Meli sambil membukakan pintu. Meli kaget karena melihat Faraz yang menggendong Diva dengan perban di lengan dan kakinya. "Astaghfirullahal'adzim. Ini Diva kenapa? Kok diperban gini?" ucap Meli khawatir. "Biar kita masuk dulu, Teh," ucap Lisa. "Oh iya, iya. Silakan masuk dulu." "Kamar Diva di mana ya? Biar saya antar Diva ke kamar dulu." "Oh iya, biar saya antar, Den Faraz." "Gak usah panggil Den, panggil Faraz aja, Teh." "Oh iya, ah tapi gak enak, sudah kebiasaan sama warga lain juga manggilnya Aden kok." Para warga dan pekerja kebun memang terbiasa memanggil Faraz dengan panggilan Den Faraz karena ia adalah anak juragan besar di desa itu. Padahal Faraz sudah meminta mereka untuk memanggil nama saja, tetapi panggilan Aden tetap melekat hingga sekarang. Meli menunjukkan kamar Diva pada Faraz. Setelah selesai, Faraz duduk di kursi ruang tamu rumah Lisa. Ia menyampaikan permohonan maaf pada Meli sebagai orang tua Diva. "Saya minta maaf karena tidak sengaja menabrak Diva, Teh." "Tidak apa-apa, Den. Lagian itu juga bukan salah Den Faraz sepenuhnya. Rem sepeda Diva juga memang blong. Saya sangat berterima kasih Den Faraz sudah mau bertanggung jawab membawa Diva ke puskesmas dan membayar biayanya juga. Mohon maaf merepotkan ya, Den," ucap Meli. Sebelum keluar kamar, Diva telah menceriitakan kejadian seluruhnya pada Meli. "Aduh Teh, gak usah gak enak gitu lah, itu memang kewajiban dia bertanggungjawab kok," ucap Lisa kesal. Lisa kesal pada Diva dan Meli. Ibu dan anak itu membela Faraz yang menurut Lisa jelas salah. Faraz menatap kesal pada Lisa. Untung saja Lisa perempuan, kalau dia lelaki mungkin sudah Faraz ajak adu jotos sedari tadi. "Tidak apa-apa, Teh. Itu memang sudah kewajiban saya." Faraz benar-benar kesal pada Lisa. Perempuan ini keras kepala dan tidak mau menerima permintaan maafnya. Songong banget nih cewek, udah pendatang, bahasanya lo-gue kayak di kota, benar-benar cewek yang nyebelin, batin Faraz. "Ya sudah, saya buatin minum dulu ya, Den." Meli izin pamit ke dapur untuk membuatkan minuman. "Gak usah repot, Teh. Saya sama Asep mau pamit pulang. Nanti kalau ada apa-apa sama Diva, misal lukanya masih sakit dan perlu dibawa ke rumah sakit, tolong bilang sama saya ya, Teh. Nanti biar saya yang antar." "Oh iya, terima kasih banyak, Den. Insya Allah luka kayak Diva gitu mah cepet sembuhnya." "Oh ya, jangan lupa ya, ganti sepeda keponakan saya yang rusak gara-gara lo tabrak tadi," ucap Lisa. "Iya, jangan khawatir. Tanpa kamu minta juga saya sudah berniat untuk mengganti sepeda Diva dengan yang baru," ucap Faraz tak mau kalah. "Aduh, tidak perlu, Den. Tidak perlu diganti sepedanya. Lagian memang sepedanya juga sudah rusak, kan," ucap Meli tidak enak. "Tidak apa-apa, Teh. Anggap saja hadiah dari saya buat Diva." "Saya jadi tidak enak merepotkan Den Faraz." "Santai aja, Teh. Ya sudah, saya pamit dulu, terima kasih. Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumussalam." Meli mengantarkan Faraz dan Asep hingga teras rumah sedangkan Lisa tetap duduk di kursinya, enggan mengantar Faraz seperti Meli. Faraz dan Asep meninggalkan rumah Lisa. Meli kembali masuk dan menutup pintu. "Teteh sama Diva kok belain cowok itu sih? Aku beneran gak habis pikir deh," ucap Lisa pada Meli. "Apa karena dia anak juragan kebun di sini ya kalian jadi takut gitu sama dia?" "Hus, ngomong apa kamu, Sa. Den Faraz itu baik banget loh sama warga sini dan menurut teteh kejadian tadi memang bukan salah dia sepenuhnya. Namanya juga celaka, gak ada yang mau, kan? Lagian juga dia udah tanggung jawab kok. Sudah, gak perlu dibesar-besarkan." "Huh, terserahlah." "Eh, tapi gimana? Dia ganteng kan?" ucap Meli menggoda Lisa. "Hah? Apaan sih Teh?" "Den Faraz ganteng kan? Cocok loh sama kamu, Sa." "Ogah ya, no way." "Awas loh, ogah-ogah gitu nanti jadi cinta." "Ish, jangan sampai, Teh." Lisa bergidik ngeri mendengar ucapan kakak ipar satu-satunya itu. Jatuh cinta pada Faraz? Tidak akan! Kesan pertama bertemu saja sudah buruk, apalagi untuk jatuh cinta. Lisa rasa tidak akan mungkin. === Lisa sedang membantu Meli memindahkan makanan dari dapur ke meja makan untuk makan malam. Dafa sedang menjaga Diva di kamarnya. Jadi, makan malam kali ini hanya ada orang dewasa. Bapak Lisa, Dimas, Meli dan Lisa. Mereka sudah berkumpul di meja makan dan siap menyantap makan malam yang telah dimasak Meli dengan bantuan Lisa. "Kenapa Diva bisa celaka seperti itu?" tanya Bapak Lisa. Lisa terdiam, tidak berani menjawab pertanyaan bapaknya. Akhirnya Meli yang menjelaskan kronologis kejadian berdasarkan cerita dari Diva dan Lisa. "Begitu ceritanya, Pak. Jadi itu bukan sepenuhnya salah Den Faraz, memang sepeda Diva juga yang remnya blong." "Iya, salah aku juga lupa meriksa sepeda anak-anak," ucap Dimas. "Nggak, ini salah bibinya, Lisa. Bibinya yang gak becus jagain keponakannya." Dimas dan Meli saling bertatapan, sedangkan Lisa hanya diam membeku menatap nasi di piringnya. "Lain kali, jangan biarin cucu-cucuku main dengan bibinya lagi. Bibinya Cuma bisa jadi pembawa sial di keluarga ini," ucap Bapak Lisa tajam dan menyakitkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD