7. Desakan Menikah

1917 Words
"Nggak, ini salah bibinya, Lisa. Bibinya yang gak becus jagain keponakannya." Dimas dan Meli saling bertatapan, sedangkan Lisa hanya diam membeku menatap nasi di piringnya. "Lain kali, jangan biarin cucu-cucuku main dengan bibinya lagi. Bibinya Cuma bisa jadi pembawa sial di keluarga ini," ucap Bapak Lisa tajam dan menyakitkan. === Lisa memegang erat sendok yang digenggam tangannya ketika mendengar pernyataan menyakitkan yang dilontarkan ayah kandungnya sendiri. Catat, ayah kandungnya sendiri. Juga apa tadi ayahnya bilang? Pembawa sial? Ya Allah, Lisa tidak pernah terpikir panggilan menyakitkan itu akan terucap dari lisan ayahnya. Sebenci itukah beliau sehingga menyebut anak kandungnya sendiri sebagai pembawa sial? Lisa tahu, bapaknya sangat menyayangi Dafa dan Diva, tetapi apakah perlu menyebut dirinya sebagai pembawa sial atass apa yang terjadi dengan Diva hari ini? Lisa sendiri tidak habis pikir, apa kesalahannya di masa lalu sehingga bapak bisa sangat membencinya seperti sekarang ini. Lisa berusaha menahan sekuat tenaga agar air matanya tidak jatuh. "Pak," ucap Dimas memperingati ayahnya. Dimas mencegah ayahnya gar menyakiti Lisa lebih lanjut dengan perkataan tajamnya. "Sudah, Pak. Lisa tidak salah, insya Allah Diva sebentar lagi juga sembuh. Luka jatuh dari sepeda seeprti itu sudah biasa dialami anak seumuran Diva, jadi Bapak tidak perlu menyalahkan siapa pun," ucap Meli mencoba menengahi. Ia dan Dimas sudah dapat membaca jika bapak akan menyulut emosi Lisa dan menyakiti anak perempuan satu-satunya itu dengan perkataan yang menyakitkan. "Hmmm ... iya, maaf ya Pak, A Dimas, Teh Meli, gara-gara aku lalai, Diva jadi celaka. Lain kali aku akan lebih hati-hati jagain mereka. Sekali lagi maaf," ucap Lisa sambil memberanikan diri menatap wajah tiga orang di meja makan itu satu demi satu. "Sudah, Sa. Tidak ada yang salah dan perlu minta maaf, namanya juga kecelakaan," ucap Dimas. Suasana meja makan kemballi hening. Selera makan Lisa menguap seketika saat tadi ayahnya menyebut dirinya sebagai pembawa sial. Tetapi, ia tidak mau membuang-buang makanan yang sudah diambilnya, maka ia berusaha menghabiskannya meski sudah tidak selera. Setelah mereka menghabiskan makan malamnya, Lisa membantu Meli membereskan meja makan dan mencuci piring. "Ucapan bapak jangan kamu ambil hati ya, Sa," ucap Meli sambil mengelap sendok yang telah dicuci. "Iya, Teh. Gak aku ambil hati kok." Ucapan dusta itu ke luar dari lisan Lisa. Bagaimana bisa ia tidak mengambil hati ucapan bapaknya. Ia hanya tidak ingin membuat kakak iparnya khawatir. "Sudah, kamu tidur duluan sana, biar sisanya teteh aja yang beresin." "Bener nih, Teh?" "Iya, tinggal sedikit lagi kok." "Oke deh, aku tidur duluan ya. Nuhun Tetehku." Lisa meninggalkan Meli yang masih berada di dapur menuju kamarnya. Sebelum masuk kamarnya sendiri, ia menyempatkan diri untuk mellihat Diva. Saat Lisa membuka pintu, keponakan perempuannya itu tengah membaca buku cerita. Lisa bersyukur Dimas dan Meli tidak memfasilitasi anak-anaknya dengan ponsel canggih yang dapat membuat anak seusia mereka kecanduan bermain games. Dimas dan Meli hanya akan mengizinkan kedua anaknya bermain ponsel saat Sabtu dan Minggu ketika Dimas berada di rumah. Dimas harus mengawasi kegiatan kedua anaknya di dunia maya. Ia tidak mau menjadi ayah yang kecolongan. "Kok belum tidur, Va? Masih ada yang sakit ya?" tanya Lisa sambil duduk di pinggir ranjang Diva. "Enggak kok, Bi. Cuma belum ngantuk aja, makanya aku baca buku dulu biar ngantuk." "Oh, alhamdulillah kalo gitu. Bilang ya kalo ada yang sakit, nanti bibi suruh om kamu itu bawa lagi periksa ke rumah sakit." "Iya, Bi. Om kasep itu baik lho orangnya." Lisa hanya memutar bola matanya malas mendengar pujian Diva untuk Faraz. "Ya sudah, jangan kemalaman ya bobonya. Bibi juga mau bobo." Lisa meninggalkan Diva dan menuju kamarnya. Begitu masuk kamar, Lisa dikejutkan dengan kehadiran Dimas. "Lho, kok Aa di sini? Ada apa?" "Kamu jangan ambil hati ucapan bapak waktu tadi di meja makan ya?" Oh ya ampun, Lisa kira ada apa. Kakaknya ini benar-benar sehati dengan Meli. Benar-benar jodoh. Lisa bersyukur memiliki mereka yang masih peduli dengannya meski sang ayah terang-terangan membencinya. "Iya, Aa. Gak usah khawatir." "Oh iya, kamu belum cerita kenapa bisa putus sama Revan?" tanya Dimas penasaran. Lisa menghela napas mendengar permintaan Dimas. Tetapi ia ingat telah berjanji pada Dimas bahwa akan menceritakan semuanya ketika pulang. Lisa menceritakan semuanya pada Dimas tanpa ada yang ditutupi. "Kurang ajar tuh cowok. Kalo pas Aa lagi di sana pasti udah Aa kasih bogem tuh Revan," ucap Dimas kesal. Ia tak terima adiknya dikhianati seperti itu. "Udahlah A, gak usah bahas dia lagi, males tau gak." "Tadinya Aa pikir kamu bakalan nikah sama dia. Tadinya juga Aa pikir kamu pulang karena mau minta restu Aa dan bapak buat nikah sama dia. Tapi, nyatanya kamu malah putus." "Ya memang dia bukan jodoh Lisa, A." Lisa jadi memikirkan ucapan Dimas. Apakah ayahnya peduli jika ia akan menikah dengan lelaki pilihannya nanti? Akankah ayahnya bersedia memberi restu dan menjadi wali nikahnya? "A, kalo aku nikah nanti, Aa ya yang jadi wali nikah aku?" "Loh, kenapa Aa, kan bapak masih ada." Lisa hanya tersenyum kecut. "Aku gak yakin bapak masih peduli dan bersedia jadi wali nikah aku, A." Dimas membawa Lisa ke dalam pelukannya. "Iya, Aa ngerti kecemasan kamu. Tapi, selama ada bapak, belliau yang lebih berhak menikahkan kamu, Sa. Menurut agama, anak perempuan yang belum menikah masih milik ayahnya, masih tanggungjawab ayah sepenuhnya. Baru nanti setelah ijab qabul, tanggung jawab itu akan berpindah ke tangan suami. Kamu yang sabar ya ngadepin bapak. Jangan pernah capek buat ngedeketin bapak, insya Allah lama-kelamaan hati bapak pasti luluh." "Aamiin." Lisa jadi bersemangat untuk meluluhkan hati ayahnya lagi. Ya, Lisa tidak boleh lemah akan penolakan-penolakan yang ditunjukkan ayahnya. "Ngomong-ngomong, kamu minta Aa jadi walli nikah kamu, emang udah ada calonnya ya? Kamu udah dapat pengganti Revan?" "Ya belum sih." "Atau mau sama si Faraz ya? Anak abah Ramli. Aa pikir kallian cocok loh, sama-sama lulusan S—2, selevel lah. Kamu juga geulis (cantik), Faraz ge kasep." "Dih, ogah ya aku sama cowok nyebelin kayak dia." "Loh, kenapa? Dia itu lelaki yang baik dan sholeh loh, idaman cewek-cewek di sini. Aa pikir dia bagus jadi imam buat kamu yang susah banget diatur, disuruh pake jilbab aja susah." "Ih, Aa mah, jangan ngomong gitu atuh. Ya, kan Lisa belum siap lahir batin A buat pake jilbab. Aku rasa belum jadi perempuan yang shalihah buat nutup aurat." Dimas hanya menggelengkan kepala mendengar alasan adiknya. "Perintah menutup aurat itu kewajiban, Sa. Yang namanya perintah dan kewajiban tidak menuntut kesiapan kamu. Siap tidak siap, suka tidak suka, kamu harus menjalankannya. Lagian, emang ada perintah nutup aurat harus jadi shallihah dulu? Perasaan Aa nggak deh. Itu mah kamu aja banyak alasan." "Iya, Aaku sayang." "Jangan iya-iya aja, dijalankan ya. Aa merasa berdosa kalo membiarkan kamu mengumbar aurat, meski kamu masih berpakaian sopan, tetap saja rambut kamu ini aurat," ucap Dimas sambil mengusap rambut Lisa. Dimas tahu adiknya itu selalu menggunakan pakaian yang sopan walau belum menutup aurat secara sempurna. "Perintah berjilbab juga Ada di Al Qur'an, يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59)." "Kamu pikirin lagi ya buat berhijab, menutup aurat. Karena maut bisa menjemput Kita kapan aja, Sa. Gak nunggu kita siap atau nggak." "Iya, Aa." "Kamu juga cari jodoh ya, usia kamu di desa ini udah pada punya anak, ada yang udah nikah dua kali, bahkan udah ada yang janda. Kamu jangan mau kalah lah." "Ih, Aa masa ngomongnya gitu. Emang nikah itu lomba? Masa aku disamain sama mereka sih. Jodohku emang belum datang A, sabar aja sih." Lisa tidak terima dikatakan seperti itu oleh Dimas. "Iya, kalo gak nemu juga, biar Aa yang cariin ya." "Ya, ya. Terserah Aa aja." "Beneran loh?" "Iya bener." "Ya udah tidur sana, istirahat." "Hmm." === "Jadi berapa total panen kentang sekarang, Sep?" tanya Faraz lalu menyeruput tehnya. Udara pagi yang dingin seperti ini memang lebih nikmat jika ditemani secangkir teh hangat untung menghangatkan badan. "Hmm ... setelah dihitung teh panen ayeuna ngan aya salapan kuintal, Ras." (Setelah dihitung, panen sekarang Cuma ada sembilan kuintal, Ras.) "Hah? Sedikit banget? Jauh banget dari panen kemarin yang nyampe satu setengah ton." "Iya pan kemaren teh kena hama, Ras. Jadi gagal panen." Faraz sedikit pusing memikirkan hasil panen yang menurun. Kalau begini caranya, ia akan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pasarnya yaitu hotel, restoran dan beberapa supermarket dan pasar tradisional. "Coba kamu hubungi poktan (kelompok tani) yang lain ya, biar bisa gabungin hasil panennya untuk memenuhi kebutuhan pasar," ucap Faraz serius. Selain memiliki lahan perkebunan yang luas, Abah Ramli juga menjabat sebagai ketua kelompok petani di desa mereka. Kelompok tani itu terdiri dari puluhan petani di bawah pimpinan Abah Ramli. Mereka yang tergabung dalam kelompok tani sebagian besar adalah para pemilik lahan. "Apa perlu bilang sama Abah?" "Gak usah! Jangan dulu! Kita coba selesaikan ini dulu sendiri. Lagian pasti Abah juga udah tahu sendiri. Abah kan kayak peramal." "Kamu mah aya-aya wae, abah sendiri dikatain peramal. Beliau teh udah profesional makanya bisa tahu sendiri, lagian pasti udah banyak yang laporan," ucap Asep sambil mencomot combro yang ada di hadapannya. "Panen yang lain gimana? Aman?" "Alhamdulillah aman, Ras. Ya udah, saya coba ke kebun dulu ya sambil nunggu laporan petani lain." "Ya udah, kalo ada apa-apa hubungi ya, Sep." "Siap, Bos." Asep meninggalkan Faraz di teras rumahnya. Tak lama, ibu Faraz menghampiri anak bujangnya yang tampan itu. "Kenapa? Ada masalah ya sama panen?" tanya ibu Faraz sambiil duduk di kursi sebelah Faraz. "Eh, Ambu. Hmm...iya ada masalah sedikit, tapi gak apa-apa kok, insya Allah bisa diatasin." "Oh ya, kapan kamu mau ngenalin calon kamu sama ambu, hmm?" "Belum tahu, Ambu." "Ayo cari istri, Ras. Umur kamu udah tiga puluh lebih loh. Asep aja udah punya anak dua, kamu nikah aja belum. Ambu kan juga udah pengen punya mantu dan gendong cucu." "Iya Ambu, sabar ya." "Jangan kelamaan, Ras. Keburu tua kamu jadi bujang lapuk." "Ambu mah jahat, masa anak sendiri dikatain bujang lapuk, sih." "Iya makanya buruan nikah. Bilang aja sama abah dan ambu kalo kamu mau lamar anak gadis orang ya. Gadis-gadis di sini pasti pada suka kan sama anak ambu yang kasep dan pinter ini. Kamu pilih lah satu jadi mantu ambu, Ras. Menikah itu juga kan menjalankan salah satu sunnah Rasul, Ras. Tidak baik lelaki seperti kamu terlalu lama membujang." "Iya, iya Ambu. Masalahnya kan cari istri gak segampang itu, Ambu. Tipe Aras itu yang lembut, sopan, keibuan dan shalihah, Ambu. Aras gak mau sembarangan pilih perempuan yang akan jadi ibu dari anak-anak Aras nanti, Ambu. Kan Ambu sendiri yang ajarin Aras buat hati-hati memilih pasangan." "Iya, tapi jangan kelamaan juga, Ras. Umur Ambu dan Abah kan semakin tua. Kami takut gak ada umur lihat kamu bersanding di pelaminan, Ras." "Hus, Ambu gak boleh ngomong gitu. Insya Allah Abah dan Ambu akan selalu sehat dan panjang umur sampai nanti Aras punya anak." "Aamiin." === "Nih, ini gini cara ngambilnya," ucap Meli yang sedang mengajarkan Lisa mengambil kubis di lahan mereka yang letaknya tak jauh dari rumah mereka. Lisa dengan patuh mengikuti instruksi dari Meli. "Kalo panen hasilnya semua dijual, Teh?" "Ya nggak juga, sebagian juga ada yang buat konsumsi sehari-hari." "Kalo dijual biasanya ke mana?" "Bapak kan ikut gabung sama poktannya Abah Ramli. Nah nanti pas waktu panen, semua hasil panen petani di poktan biasanya dikumpulin baru nanti ada yang urus bagian jual ke pasarnya," jelas Meli. "Oh gitu. Batas kebun kita tuh sampai mana, Teh?" "Sampai sebelah sana. Nah disampingnya itu kebun Abah Ramli." "Wah kebun Abah Ramli luas banget, tajir banget ya juragan kebun itu, Teh." "Iya, tapi beliau baik kok, gak sombong. Malah gak kelihatan tampang orang kayanya." "Teh aku ke sana dulu ya, pengen lihat-lihat sebentar." "Iya tapi jangan lama-lama ya, bentar lagi kita harus masak lho." "Oke." Lisa berjalan menuju perbatasan kebun bapaknya dan Abah Ramli. Tanpa sadar, ia telah berjalan jauh masuk ke kebun Abah Ramli yang saat itu sedang ditanami kubis juga. Saat Lisa sedang berjalan, Faraz juga sedang berjalan meninjau kebunnya dan mereka berpapasan. "Ck, kamu lagi?" "Lo lagi?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD